Sunat Perempuan: Rahasia Gelap Singapura
7 Agustus 2021Saza Faradillah sudah menginjak usia 22 tahun ketika dia diberitahu dirinya telah menjalani sunat saat masih bayi.
Meski dikenal modern dan kosmopolitan, budaya konservatif masih mengakar kuat di masyarakat Singapura, dan sunat perempuan punya tradisi panjang di kalangan muslim.
"Saya merasa dikhianati,” kata Saza. Dia baru mengetahui nasib tersebut saat memprotes niat keluarga menyunat seorang saudara perempuannya. "Saya sangat terkejut dan benar-benar merasa dilecehkan.”
"Ibu mengatakan saya disunat karena dia tidak ingin saya menjadi nakal, karena sunat itu bersih dan karena bagian dari agama,” imbuhnya.
Sunat perempuan dilakukan dengan memotong bagian klitoris pada alat reproduksi. Praktik ini diyakini perlu untuk menundukkan syahwat perempuan. Namun dunia medis dan pegiat HAM sepakat sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
WHO bahkan mendeklarasikan sunat perempuan sebagai salah satu bentuk "diskriminasi gender yang ekstrem.”
Saza sendiri akhirnya bergabung dengan kelompok perempuan muslim lain yang rajin mengampanyekan penolakan dan mematahkan mitos seputar sunat perempuan.
Larangan sunat perempuan hanya memperburuk situasi
Saat ini sebanyak 10 persen penduduk Singapura berstatus muslim. Menurut penelitian Saza dkk. sebanyak 75 persen perempuan yang disurvei mengaku disunat.
Padahal Dewan Islam Singapura sendiri sudah mengharamkan sunat perempuan. "Fatwa kami adalah semua prosedur medis yang membawa kerusakan, termasuk sunat perempuan, harus dihindari,” kata seorang juru bicara.
Namun begitu Saza dan kelompoknya masih sering didamprat tidak Islami atau bukan muslim sejati. Mereka juga mengeluhkan tradisi diam yang menaungi isu sunat perempuan di kalangan warga muslim Singapura.
Para pegiat tidak menginginkan larangan sunat perempuan, karena mengkhawatirkan hanya akan mendorong warga melakukannya diam-diam. Namun sikap bungkam pemerintah yang ditengarai tidak ingin memprovokasi umat muslim, justru dianggap tidak mempermudah tumbuhnya kesadaran.
Otoritas kesehatan Singapura menolak berkomentar saat dihubungi AFP.
Zubee Ali, salah seorang pegiat anti sunat perempuan, juga harus menjalani prosedur tersebut saat masih balita. Kini perempuan berusia 59 tahun itu menolak menyunatkan kedua anak perempuannya.
"Sunat perempuan adalah tradisi tanpa faedah yang tidak membantu pertumbuhan anak perempuan sama sekali,” katanya merujuk pada trauma psikologis yang ia alami. "Saya tidak akan pernah tahu bagaimana dulu rasanya ketika masih alami dan utuh. Hal itu direnggut dari saya.”
rzn/ts (afp)