Terusir dari tanah air. Terhambat tak boleh pulang. Kisah ini marak di zaman Orde Baru. Reformasi telah lama bergulir, kita harusnya bisa menarik pelajaran agar sejarah lama tidak terulang. Blog Andibachtiar Yusuf.
Iklan
Sebuah kilas balik ke tahun 2006. Hari itu 17 Agustus di Kedutaan Besar Indonesia di Hongaria di Budapest, saya melihat sosok tua itu dari kejauhan. Saya ingat benar ia terlihat sedang berbicara cukup tegas pada orang-orang yang lebih muda di hadapannya. Walau berbicara dengan volume yang tidak tinggi, terlihat urat leher bapak itu agak menegang ,sementara mereka yang mendengarkannya terlihat lebih santai dan kadang tersenyum.
Itulah pertama kali saya mengenal lelaki yang lalu saya panggil sebagai Pak Permadi. Seseorang yang dirampas kebangsaannya oleh negara yang sungguh ia cintai. “Pada hari itu mereka meminta saya untuk menanda tangani pernyataan mendukung Suharto, saya menolak karena Sukarno adalah ayah saya!!” tegas lelaki yang saat itu sudah berusia sekitar 76 tahun.
Pak Permadi datang ke Budapest sebagai seorang mahasiswa jurusan engineering. Ia datang tahun 1959 dan kita tahu, sentimen anti komunis kala itu masih amat kencang. Hongaria saat itu adalah blok timur yang komunis. Dia tak pernah bisa kembali ke negerinya sampai tahun 2001. Keluarganya datang menyusul ke kota yang indah itu di sekitar tahun 1972 dengan cara yang cukup sulit “Saya ingat saat itu naik becak dari stasiun Gambir langsung ke bandara di Kemayoran, kata ibu supaya tak terlacak,” jelas putra keduanya yang sangat saya ingat wajahnya namun terlupa namanya.
Si bapak, istri dan kedua putranya tinggal di Budapest selama berpuluh tahun. Menjadi warga negeri itu bertahun kemudian, fasih berbahasa Magyar tentu saja dan mampu melakukan apa yang mungkin tak mungkin bisa mereka lakukan di kampung halaman yaitu….menjadi atlet nasional bulutangkis! Tapi baginya Indonesia adalah tanah airnya. Pak Permadi selalu berkata ingin dimakamkan di negeri tersebut, di kampungnya yang tak jauh dari Candi Mendut.
Ia begitu senang saat paham saya beribukan Minangkabau dan ayah Jawa “Itu adalah cita-cita Bung Karno! Indonesia harus menjadi sebuah bangsa sendiri, bukan lagi etnis yang terpencar,” Layaknya banyak orang tua, ia senang bercerita dan saya sangat menikmati apapun yang ia ceritakan. Mulai dari apa yang terjadi di fase setelah proklamasi sampai nasionalisasi di tahun 1955 dan segala hal yang ia lihat dengan mata kepala sendiri dan rasakan dengan inderanya….bukan sekedar baca dari buku-buku sejarah nasional yang selalu kita perdebatkan kebenarannya itu.
Hari-hari di Budapest itu, saya menikmati cerita-cerita tentang sebuah bangsa baru bernama Indonesia dari mulutnya. Bangsa yang saat ia tinggalkan, belumlah jadi seperti saat ini yang semakin berani mengklaim sebagai bangsa yang bisa menghargai perbedaan—padahal beda pilihan presiden aja bisa berantem—itu.
Rekaan dalam film
Kegetiran yang sama bisa saya rasakan pada diri Pak Jaya, tokoh rekaan Angga Sasongko dalam karya terbarunya Surat Dari Praha. Seorang klayaban dengan nasib paling tragis yang pernah saya tahu. Menjadi tukang pel sebuah gedung opera, tak mampu bergerak maju dari cintanya yang tertinggal di tanah air, kehilangan kebangsaannya dan kehilangan masa muda yang ceria.
Jaya menjadi begitu dekat dengan saya, karena apa yang ia rasakan sangat nyata bagi saya. Praha di Ceko adalah analog dengan Budapest di Hongaria. Seolah memutar ruang waktu melihat Pak Permadi yang tersenyum senang mendengarkan musik barat berlirik Jawa dari Jogja Hip Hop Foundation sembari ia bergumam “Seperti ini ya sekarang bangsa saya, modern”. Sementara Jaya selalu mendengarkan kembali Sabda Rindu atau lagu-lagu dari masa mudanya yang dilantunkan oleh Sam Samiun yang ia sebut sebagai “Nat King Cole nya Indonesia,”
Jaya yang kesepian bertemu Larasati yang baginya adalah potongan kenangan masa mudanya di tanah air. Dengan prilaku yang sama seperti yang saya lihat pada Pak Permadi dengan musik atau segala potongan Indonesia masa kini yang semakin berubah…..dan bisa saja tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan pada masa lalu, saat pertama kali meninggalkannya.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.