1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suriah Gelar Referendum Perubahan Konstitusi

26 Februari 2012

Suriah hari Minggu (26/02) menggelar referendum perubahan konstitusi yang kontroversial, tanpa mengindahkan kondisi mirip perang sudara di sejumlah wilayah. Pihak oposisi memboikotnya.

Foto: Reuters

Rancangan perubahan konstitusi yang diajukan rezim presiden Bashar al Assad, antara lain menjanjikan akan dimulainya pluralisme politik, dengan diakhirinya monopoli kekuasaan Partai Baath yang sudah berlangsung hampir lima dekade. Selain itu, masa jabatan presiden dibatasi, menjadi maksimal dua kali tujuh tahun.

Warga mulai berikan suara dalam referendum konstitusi.Foto: AP

Jika rakyat dalam referendum menyetujui perubahan konstitusi, dijanjikan dalam waktu 90 hari akan digelar pemilu multi partai. Sekitar 14,6 juta rakyat Suriah dipanggil untuk memberikan suaranya. Di seluruh negeri dibuka 14.000 bilik suara mulai pukul 7 pagi hingga pukul 19 petang waktu setempat.

Oposisi memboikot

Pihak oposisi menilai perubahan konstitusi hanya pulasan kosmetik di permukaan. Karena itu para penentang Assad menyatakan memboikot referendum. Disebutkan, dengan perubahan konstitusi itu, kekuasaan presiden tetap tidak akan dapat dibatasi, dan ia akan terus memiliki hak prioritas nyaris absolut.

Para aktivis menyatakan kekhawatirannya, bahwa di masa depan, hanya kelompok-kelompok yang pro rezim yang akan diizinkan mendirikan partai baru. Juga menimbang terus berlanjutnya aksi kekerasan militer di kubu oposisi, terutama di kota Homs, para aktivis memperkirakan, rakyat tidak akan pergi ke bilik suara.

Internasional bereaksi skeptis

Masyarakat internasional juga bereaksi skeptis menanggapi rancangan perubahan konstitusi yang diajukan rezim Assad. Dalam konferensi Suriah yang digelar di ibukota Tunisia, Tunis, dengan dihadiri perwakilan 60 negara juga dilontarkan tuntutan segera diakhirinya aksi kekerasan dan sanksi lebih berat terhadap rezim Assad.

Konferensi kelompok kontak Suriah di TunisFoto: REUTERS

Menteri luar negeri Jerman, Guido Westerwelle mengatakan : “Kami pikir, waktunya sudah lewat. Assad harus mundur. Dan dengan itu sebuah reformasi damai di Suriah dapat dimungkinkan. Masyarakat internasional mengenai hal itu sudah kompak.“

Tapi Menlu Jerman itu juga memperingatkan, jangan mempedebatkan intervensi militer internasional ke Suriah. “Hal itu akan memicu meluasnya konflik di kawasan, yang pada akhirnya juga akan melibatkan Rusia dan Cina“, kata Westerwelle.

Jerman akan menetapkan sanksi lebih berat pada sektor keuangan dan penerbangan Suriah Senin (27/02). Juga Uni Eropa, hari Senin di Brussel akan menetapkan perluasan sanksi ekonomi terhadap rezim di Damaskus.

Kelompok oposisi Suriah menyatakan kecewa atas hasil konferensi di Tunis, yang tidak menegaskan secara konkrit langkah penerapannya. Ketua kelompok oposisi Dewan Nasional Suriah, Burhan Ghaliun menyatakan : “Kami tidak mengharapkan dari siapapun, bahwa mereka berperang untuk kami. Tapi kami mengharapkan dukungan. Terutama untuk menentang mereka, yang memerangi kami dari luar.“

Serangan militer berlanjut

Referendum perubahan konstitusi yang digelar hari Minggu (26/02), dilaporkan dibayangi serangan baru ke kota kubu penentang Assad, Homs. Militer menembakkan sejumlah granat ke kawasan Baba Amr dan kawasan lain. Serangan militer hari Sabtu (25/02) disebutkan menewaskan sedikitnya 100 orang.

Organisasi pengamat hak asasi Suriah yang bermarkas di London melaporkan, dua wartawan barat yang terluka, tetap terkepung di Homs. Juga dari kota Hama, Deir el Zour, Daraa dan Idleb dilaporkan dilancarkannya serangan militer.

Agus Setiawan (ap,rtr,dpa,afp,dapd)

Editor : Ayu Purwaningsih