Pengungsi dan pemohon suaka jauh lebih mungkin menjadi korban kejahatan rasial di kawasan Jerman bagian timur daripada di bagian barat. Para peneliti ingin menjelaskan mengapa.
Iklan
Para pencari suaka di Jerman timur 10 kali lebih mungkin menjadi korban kejahatan rasial dibandingkan dengan mereka yang tinggal di barat, kata sebuah studi yang dipublikasikan hari Minggu (24/2). Para peneliti dari Leibniz Center for European Economic Research (ZEW) meneliti 1.155 kekerasan rasial yang terjadi antara 2013 dan 2015.
Studi ini menemukan bahwa tindakan rasialis paling sering terejadi di distrik administratif di Osterzgebirge di negara bagian Sachsen dekat perbatasan ke Ceko, dengan 9,76 serangan per 100 orang selama periode tiga tahun.
Sedangkan serangan terburuk terjadi di Uckermark di negara bagian Brandenburg dekat perbatasan Polandia. Kawasan kritis ketiga adalah distrik Saalekreis di negara bagian Sachsen-Anhal dekat kota Leipzig.
Kurang akrab dengan wajah-wajah asing
Ketiga wilayah tersebut berada di bagian Jerman yang dulunya menjadi bagian negara sosialis Jerman Timur, dan yang secara tradisional memiliki lebih sedikit imigran daripada Jerman Barat.
Menurut penelitian itu, ada 118 distrik di seluruh Jerman yang tidak punya catatan tentang serangan rasialis. Dari jumlah tersebut, hanya empat distrik yang terletak di bagian timur Jerman.
Para penulis penelitian itu mengatakan, jumlah imigran di distrik tertentu bukanlah faktor penentu dalam tingkat kejahatan rasial. Yang lebih penting, kata mereka, adalah pengalaman yang dimiliki warga dengan warga asing.
Di bagian barat Jerman, penduduk telah lama memiliki lebih banyak pengalaman dengan warga asing, misalnya dengan para pekerja dari Turki yang ramai-ramai berdatangan tahun 1960-an.
Masalah ekonomi
Kondisi ekonomi di suatu kawasan juga hanya memainkan peran kecil bagi sikap bermusuhan, kata para penulis. Tindakan kejahatan dan kebencian terhadap warga asing "pada dasarnya tidak memiliki motif ekonomi," kata para penulis.
Para peneliti menekankan, alih-alih masalah ekonomi, yang dibutuhkan adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dan toleransi penduduk setempat ketika menghadapi para pencari suaka yang punya pengalaman menyedihkan dan harus lari dari tanah airnya.
Para penulis juga mengatakan, kejahatan rasial lebih mungkin terjadi di daerah-daerah di mana pelanggaran yang sebanding telah dilakukan di masa lalu dan di mana "pandangan xenofobia tampaknya mengeras."
Penelitian itu menyebutkan, kejahatan rasial termasuk juga ujaran kebencian, coretan-coretan ofensif, serangan fisik, dan aksi pembakaran. (hp/ml)
Foto Ikonik Krisis Pengungsi Di Eropa
Jutaan pengungsi hijrah ke Eropa antara tahun 2015 dan 2016. Pemberitaan migrasi gelap dan penderitaan para pengungsi beberapa tahun terakhir turut mempengaruhi opini publik di Eropa.
Foto: picture alliance/AP Photo/E. Morenatti
Upaya mempertahankan hidup
Pengungsian dan penderitaan: Ratusan ribu orang, kebanyakan berasal dari Suriah, masuk ke Yunani dari Turki tahun 2015 dan 2016. Sekitar 10.000 orang terdampar di pulau Lesbos, Chios dan Samos. Tahun 2017, tercatat sudah lebih dari 6.000 pengungsi yang datang dari Januari sampai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/A. Messinis
Berjalan kaki menembus Eropa
Tahun 2015 dan 2016, lebih satu juta orang mencoba mencapai Eropa Barat dari Yunani atau Turki melalui rute Balkan - lewat Makedonia, Serbia dan Hungaria. Aliran pengungsi hanya terhenti ketika rute ini ditutup secara resmi. Saat ini, sebagian besar pengungsi memilih rute Mediterania yang berbahaya dari Libya ke Eropa.
Foto: Getty Images/J. Mitchell
Kemarahan global
Gambar ini mengguncang dunia. Mayat bocah Aylan Kurdi berusia tiga tahun dari Suriah hanyut di pantai di Turki, September 2015. Foto ini tersebar luas dengan cepat lewat jejaring sosial dan menjadi simbol krisis pengungsi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/DHA
Kekacauan dan keputusasaan
Kerusuhan di menit-menit terakhir: Ribuan pengungsi mencoba masuk ke dalam bus yang sudah penuh sesak dan kereta api di Kroasia setelah mengetahui rute melalui Eropa akan segera ditutup. Pada Oktober 2015, Hongaria menutup perbatasannya dan membuat kamp penampungan tempat pengungsi tinggal selama proses pendaftaran suaka.
Foto: Getty Images/J. J. Mitchell
Perbatasan ditutup
Penutupan resmi rute Balkan bulan Maret 2016 menyebabkan kondisi kacau-balau di seberang perbatasan. Ribuan pengungsi yang terdampar mulai marah dan putus asa. Banyak yang mencoba menyeberangi perbatasan dengan segala cara, seperti para pengungsi ini di perbatasan Yunani-Makedonia tak lama setelah perbatasan ditutup.
Seorang anak berbalut debu dan darah: Foto Omran yang berusia lima tahun mengejutkan publik saat dirilis tahun 2016. Ini menjadi gambaran kengerian perang saudara dan penderitaan rakyat di Suriah. Setahun kemudian, gambar-gambar baru Omran beredar di internet dalam kondisi yang sudah lebih baik.
Foto: picture-alliance/dpa/Aleppo Media Center
Belum tahu tinggal di mana
Seorang pria Suriah membawa putrinya di tengah hujan di perbatasan Yunani-Makedonia di Idomeni. Dia berharap bisa hidup aman dengan keluarganya di Eropa. Menurut peraturan Dublin, permohonan suaka hanya bisa diajukan di negara pertama tempat pengungsi menginjak Eropa. Yunani dan Italia menanggung beban terbesar.
Foto: Reuters/Y. Behrakis
Mengharapkan pertolongan
Jerman tetap menjadi tujuan utama para pengungsi, meski kebijakan pengungsi dan suaka di Jerman sejak munculnya arus pengungsi diperketat. Tetapi Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan Jerman tetap terbuka bagi pengungsi. Sejak 2015, Jerman telah menerima sekitar 1,2 juta pengungsi. Kanselir Merkel jadi ikon harapan bagi banyak pengungsi baru.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Situasi darurat di penampungan
Di utara Prancis, pihak berwenang membersihkan "hutan" yang terkenal di Calais. Kamp itu terbakar saat dilakukan evakuasi bulan Oktober 2016. Sekitar 6.500 penghuninya disalurkan ke tempat-tempat penampungan lain di Perancis. Setengah tahun kemudian, organisasi bantuan melaporkan banyak pengungsi anak-anak yang menjadi tunawisma di sekitar Calais.
Foto: picture-alliance/dpa/E. Laurent
Tenggelam di Laut Tengah
Kapal penyelamat organisasi bantuan dan pemerintah setempat terus melakukan pencarian kapal migran yang terancam tenggelam. Meski pelayaran sangat berbahaya, banyak pengungsi tetap berusaha melarikan diri dari konflik dan kemiskinan. Mereka berharap menemukan masa depan yang lebih baik di Eropa. Pada tahun 2017 ini saja, sudah 1.800 orang meninggal di perjalanan. (Teks: Charlotte Hauswedell/hp,rn)