1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Survei: Mayoritas Penduduk Bumi Dukung Aksi Iklim

23 Februari 2024

Di tengah ramainya disinformasi, konspirasi, dan aksi protes, mayoritas penduduk Bumi tetap mendukung aksi perlindungan iklim. Namun, untuk mencapai perubahan setiap orang harus menyadari bahwa mereka tidak sendirian.

Protes Extinction Rebellion di London, Inggris
Demonstrasi iklim kelompok Extinction Rebellion di London, InggrisFoto: Henry Nicholls/REUTERS

Mulai dari penolakan petani terhadap kebijakan iklim Uni Eropa, derasnya lobi industri dan disinformasi kaum konspirasi hingga tekanan ekonomi di tengah inflasi, gagasan perlindungan iklim seakan sedang terdesak di penjuru dunia.

Kenyataannya justru berkata sebaliknya, menurut sebuah survei yang melibatkan 125.000 orang di 125 negara di dunia oleh Universitas Bonn, Institut Leibniz untuk Riset Keuangan, dan Universitas Kopenhagen.

Dalam jajak pendapat tersebut, sebanyak 86 persen populasi dunia mendukung aksi-aksi perlindungan iklim. Sekitar 89 persen bahkan menuntut kinerja yang lebih baik dari politik.

Survei dilakukan antara tahun 2021 dan 2022 melalui percakapan langsung atau telepon.

"Penduduk dunia siap menyambut transformasi," kata Theo Schnarr, pegiat iklim Jerman, mengomentari hasil survei. "Masyarakat dunia sudah sadar bahwa kita bisa hidup lebih baik. Mereka tahu ada yang keliru, bahwa gaya hidup kita bermasalah," kata dia kepada DW.

Greta Thunberg Diinterupsi Saat Demo

00:37

This browser does not support the video element.

Mayoritas remehkan dukungan bagi aksi iklim

"Suara mayoritas harus diamplifikasi," kata Madalina Vlasceanu, asisten guru besar psikologi di Universitas New York. Kepada DW, dia mengeluhkan betapa persepsi publik acap digerakkan oleh diksi negatif di media massa. "Anda tidak mendengar suara mayoritas. Yang Anda dengar adalah suara-suara ekstrem yang nyaring."

Tendensi untuk selalu fokus pada hal negatif memengaruhi sikap publik terhadap perlindungan iklim. Karena meski sebanyak 69 persen mengaku rela menyumbangkan setidaknya satu persen pendapatan bulanan untuk aksi iklim, hanya 26 persen responden yang percaya bahwa warga lain akan mengikuti langkah serupa.

"Mispersepsi sistematik terhadap kesediaan orang lain berkontribusi kepada aksi iklim bisa menjadi hambatan dalam perang melawan perubahan iklim," kata Armin Falk, guru besar ekonomi di Bonn, yang ikut terlibat dalam riset. "Mereka yang acap meremehkan dukungan publik terhadap aksi iklim justru sendirinya kurang mau berparitisipasi."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Diskoneksi antara individu dan masyarakat

Menurut Patrick Kennedy-Williams, salah seorang pendiri Climate Psychologists, sebuah lembaga konsultan iklim di Inggris, sikap tersebut banyak didorong ketidaktahuan dan paparan konten bernada negatif.

"Jelas ada diskrepansi antara pemikiran, perasaan dan motivasi kita secara individual dengan apa yang kita persepsikan dari masyarakat di sekitar. Dan ini mengarah pada rendahnya rasa keefektifan kolektif," ujarnya kepada DW.

Sebuah studi oleh lembaga nirlaba ecoAmerika pada 2023 silam menemukan, sebanyak 42 persen warga Amerika Serikat mengaku "sangat khawatir" terhadap perubahan iklim, tapi cuma 14 persen yang meyakini warga lain berbagi kekhawatiran yang sama.

Survei yang sama mencatat empat dari 10 warga AS tidak tahu apa yang dilakukan komunitas lokal untuk memitigasi atau beradaptasi dengan perubahan iklim. Kennedy-Williams meyakini, diskoneksi mencuatkan ketakutan iklim, rasa panik dan bersalah, serta memperburuk pandangan kita tentang orang-orang di sekitar."

Diam oleh hasutan dan disinformasi

Repotnya, di banyak negara perubahan iklim kini menjadi medan ideologi bagi kedua spektrum politik untuk memobilisasi dukungan.

"Iklim sudah dipolitisasi di banyak wilayah di dunia," kata Li Shuo, Direktur China Climate Hub di  Asia Society Policy Institute di Washington, AS. Akibatnya, masyarakat membahas isu krusial seperti transisi energi atau dampak bencana cuaca ekstrem seakan sebuah isu partisan, yang akhirnya menghambat perubahan.

"Disinformasi masih menjadi alat utama untuk menunda aksi iklim, imbuhnya. "Selama Anda bisa membuat publik kebingungan, menciptakan sedikit keraguan," cukup memberikan alasan bagi penduduk untuk urung bertindak.

Li Shuo menilai, disinformasi dan "polarisasi keyakinan yang meningkat" akan terus menghambat aksi iklim di masa depan.

Dorongan menuju transformasi

Salah satu cara mengatasi pesimisme, kata Li, adalah mengaitkan fenomena perubahan iklim dengan keseharian masyarakat. Dengan cara itu, orang akan faham bagaimana masa depan mereka akan bisa membaik dengan dekarbonisasi ekonomi, semisal udara yang lebih bersih.

"Itu adalah cara yang progresif untuk menghadapi tantangan yang besar dan terkadang tanpa harapan," kata dia.

Kennedy-Williams bersepakat, meski mewanti-wanti terhadap aplikasi teknologi baru seperti energi terbarukan lantaran ongkos yang tinggi.

"Mereka tidak melihat dirinya terlibat dalam percakapan ini dan sebab itu tidak melihat dirinya sebagai bagian dari solusi juga," tuturnya. "Kampanye terbaik yang selama ini dibuat adalah yang berbicara langsung dengan penduduk lokal dan berusaha menjawab kebutuhan lokal pula."

(rzn/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait