Lembaga survei Y-Publica menempatkan pasangan calon Joko Widodo dan Ma'ruf Amin jauh mengungguli Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Elektabilitas KH. Ma'ruf bahkan mengalahkan Sandiaga.
Iklan
Lembaga survei Y-Publica merilis hasil survei terhadap elektabilitas capres dan cawapres di Pilpres 2019. Hasilnya pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih unggul dibandingkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Survei dilakukan pada 13-23 Agustus 2018 dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of eror (MoE) 2,98 persen, mewakili 34 provinsi di Indonesia.
Survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka dengan responden terpilih menggunakan kuisioner dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
"Elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapat suara 52,7 persen, sementara elektabikitas Prabowo-Sandi sebesar 28,6 persen. Ini hampir dua kali lipat," kata Direktur Eksekutif Y-Publica, Rudi Hartono, di Bakoel Koffie, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat, Senin (3/9/2018).
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Untuk elektabilitas Capres sendiri, Presiden Joko Widodo juga jauh mengungguli Prabowo Subianto. Jokowi memperoleh 53,9 persen, Prabowo 28,8 persen.
"Khusus elektabilitas capres, Joko Widodo masih unggul dengan memperoleh 53,9 persen. Sedangkan Prabowo Subianto hanya mendapat 28,8 persen. Sisanya 17,3 persen memutuskan tidak menjawab," imbuh dia.
Baca Juga: <a href="https://p.dw.com/p/33SM6/" target="_blank"> LSI: Ma'ruf Bikin Pemilih Nonmuslim dan Milenial Tinggalkan Jokowi</a>
Sementara itu, mengenai elektabilitas cawapres, KH Ma'ruf Amin memperoleh suara yang beda tipis dengan Sandiaga, meskipun tetap saja Ma'ruf lebih unggul dibanding Sandiaga.
"Ketika ditanya 'jika pemilu presiden digelar hari ini, siapa di antara dua calon wakil presiden yang akan dipilih sebagai wakil presiden?' Perolehan KH Ma'ruf Amin dan Sandiaga beda tipis. Kyai Ma'ruf medapat 40,6 persen sementara Sandiaga mendapat 36,8 persen, yang belum menjawab ada 22,6 persen," tutur dia.
Berulangkali manuver Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyudutkan Presiden Joko Widodo. Sang jendral ditengarai memiliki ambisi politik. Inilah sepak terjang Nurmantyo membangun basis dukungan jelang Pemilu 2019.
Foto: Reuters/Beawiharta
Wacana Tentara Berpolitik
Ambisi politik Gatot Nurmantyo sudah tercium sejak akhir 2016 ketika dia mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Menurutnya prajurit saat ini seperti "warga asing" yang tidak bisa berpolitik. Ia mengaku gagasan tersebut cepat atau lambat akan terwujud. "Ide ini bukan untuk sekarang, mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Petualangan di Ranah Publik
Bersama Nurmantyo, TNI berusaha kembali ke ranah sipil. Lembaga HAM Imparsial mencatat Mabes TNI menandatangani "ratusan" kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, tetapi juga pertanian dan pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua.
Foto: Imago/Zumapress
Menggoyang Otoritas Sipil
Februari silam Nurmantyo mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam hal pengadaan senjata. Pasalnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan peraturan yang mengembalikan kewenangan pembelian sistem alutsista pada kementerian. Dengan ucapannya itu Nurmantyo dinilai ingin mengusik salah satu pilar Reformasi, yakni UU 03/2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Polemik Dengan Australia
Akhir Februari Nurmantyo secara mendadak membekukan kerjasaman pelatihan militer dengan Australia. Keputusan Mabes TNI dikabarkan mengejutkan Istana Negara. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap mendukung keputusan Nurmantyo dan ikut memperingatkan Australia. Namun sejumlah pejabat tinggi di Canberra menilai kasus tersebut selayaknya diselesaikan tanpa keterlibatan publik.
Foto: Imago/Zumapress
Genderang Xenofobia dari Cilangkap
Bukan kali pertama Nurmantyo membidik Australia. Oktober 2016 dia menyebut negeri jiran itu terlibat dalam "perang proxy" melawan Indonesia di Timor Leste dengan tujuan "memecah belah bangsa." Ia juga mengklaim ancaman terbesar terhadap Indonesia akan berasal dari kekuatan asing yang "berebut energi dari negara equator yang kaya sumber daya alam."
Sejak berakhirnya Pilkada DKI Nurmantyo juga aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengklaim kepolisian menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Nurmantyo mengatakan dirinya "tersinggung, karena saya umat muslim juga." Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang "cinta Indonesia."
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Teladan di Astana Giribangun
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif dan sejumlah tokoh seperti Kivlan Zein dan Amien Rais disambut Nurmantyo dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru Pengkhianatan G30-S PKI. Setelah melontarkan wacana tersebut, Nurmantyo mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto yang menurutnya patut menjadi "tauladan" prajurit TNI
Foto: picture-alliance/dpa
Peluru Panas ke Arah Istana
Polemik terakhir yang dipicu Panglima TNI adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5500 pucuk. Ia mengklaim laporan tersebut berasal dari data akurat dinas intelijen. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Namun Nurmantyo enggan meluruskan pernyataannya tersebut. (rzn/yf-sumber: antara, detik, cnnindonesia, kompas, tempo, aspi, ipac)