1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaIndonesia

Susy Susanti dan Harapan Tradisi Medali Emas Bulu Tangkis

28 Juli 2021

Dari peluang raih emas di Olimpiade Tokyo, kesejahteraan atlet di masa tua, hingga ke bisnisnya yakni Astec. Simak pembicaraan legenda bulu tangkis Susy Susanti dengan DW Indonesia.

Kevin Sanjaya dan Markus Fernaldi Gideon dari Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020
Kevin Sanjaya dan Markus Fernaldi Gideon dari Indonesia berlaga di Olimpiade Tokyo 2020. Foto diambil pada 24 Juli 2021Foto: Leonhard Foeger/REUTERS

Olimpiade Tokyo 2020 yang tengah berlangsung sangat berbeda dengan sebelumnya karena dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Selain berbagai aturan ketat, Olimpiade juga tak dihadiri penonton internasional dan sepi penonton lokal.

Legenda bulu tangkis Indonesia, Susy Susanti menceritakan mengenai pengalamannya mendapatkan emas Olimpiade Barcelona 1992. Kala itu, Susy Susanti dari nomor tunggal putri berhasil merebut emas pertama Indonesia di ajang pertandingan nomor satu dunia itu.

Tak tanggung-tanggung, suaminya yang kala itu masih berstatus pacar, atlet Alan Budi Kusuma juga berhasil 'mengawinkan' emas Olimpiade di nomor tunggal putra bulu tangkis. Sejak saat itu tradisi emas menjadi langganan Indonesia di cabang bulu tangkis.

Bagaimana peluang Indonesia di masa pandemi? Akankah Indonesia kembali memboyong medali emas? Dalam wawancara eksklusif dengan DW, Susy Susanti berbagi pengalaman termasuk cerita tentang bisnisnya, Astec (Alan Susy Technology) yang berdiri sejak tahun 2003.

Deutsche Welle: Bisa ceritakan pengalaman antara Olimpiade saat masa pandemi dengan yang sebelumnya?

Susy Susanti: Sangat berbeda. Euforia Olimpiade itu 'kan sangat luar biasa namun gema Olimpiade kali ini terasa kurang. Situasi pandemi membuat peraturan dan keadaan menjadi sulit, terutama biasanya (stadion) dipenuhi penonton dari seluruh dunia datang untuk mendukung tim negaranya masing-masing. Nah, pandemi ini membuat semua itu berubah karena keterbatasan penonton yang hadir. Tanpa penonton pasti sangat berbeda sekali ya suasananya.

Apa ketiadaan penonton sangat berpengaruh terhadap atlet Indonesia di sana?

Pengaruh pasti ada karena semakin banyak penonton maka dukungan pasti akan semakin banyak. Atlet merasa dengan didukung mereka tidak sendiri. Apalagi 'kan suporter Indonesia itu dikenal sangat heboh dan punya ciri khas sendiri. Pengaruhnya cukup banyak ya seperti kurang greget kalau enggak ada penonton. 

Legenda bulu tangkis Indonesia, Susy SusantiFoto: Privat

Kembali ke Olimpiade Barcelona 1992, bisa ceritakan lagi pengalaman Anda...

Dulu itu yang saya rasakan sangat meriah sekali. Waktu itu normal ya, jadi sangat ramai, saat kita di tempat makan, di pertandingan dan pembukaan ramai sekali. Kita bisa berkumpul dengan atlet lainnya.

Saat ini, bagaimana Anda melihat peluang Indonesia untuk mendapatkan medali dari cabang bulu tangkis?

Saya optimistis dan melihat semua punya peluang, karena selama satu setengah tahun tidak ada pertandingan. Jadi secara peta kekuatan tidak bisa melihat secara detail. Kami tidak bisa melihat kekuatannya. Misalnya kekuatan Denmark, Cina seperti apa 'kan pasti ada perubahan dalam setahun ini. Semua punya kesempatan menang.

Saya rasa atlet yang menang itu pastinya yang punya persiapan terbaik dan bisa menerapkan strategi dengan kesiapan yang baik. Saya percaya adik-adik dapat mengemban tugas sebaik mungkin, harapannya tradisi medali emas Olimpiade yang terus diberikan bisa terus berlanjut. Semoga bisa tampil all out, maksimal dan berikan yang terbaik. Saya yakin dan positif.

Adakah persiapan khusus yang dilakukan atlet Indonesia dalam menghadapi Olimpiade di masa pandemi?

Untuk Indonesia, pelatnas berjalan terus, karantina berjalan terus, persiapan sampai terakhir untuk atlet Indonesia cukup bagus sekali dan konsisten karena Indonesia punya pemusatan latihan yang tidak berhenti. Meskipun ada pandemi, kita memusatkan latihan dan program latihan harian berlanjut terus.

Persiapan juga sudah dilakukan baik fisik, teknik, dan strategi. Kelemahan dan kelebihan lawan sudah dianalisis semua. Sehingga pada saat bertanding, disiplin, kerja keras, fokus, konsisten konsentrasi dan ketenangan sangat diperlukan karena lawan tidak mudah. Siapa pun yang bisa mengatasi itu, yang lebih tenang dan (punya) strategi terbaik, pasti jadi juara.

Seperti apa kekuatan tim putri bulu tangkis Indonesia saat ini? Apa yang harus ditingkatkan?

Saya melihatnya atlet Indonesia masih butuh jam terbang. Jadi sebetulnya faktor kematangan atlet itu berbeda-beda, di junior bisa mencapai prestasi tertinggi namun di senior beban lebih berat. Jadi masih butuh kerja keras, jam terbang. Saya berharap PB PBSI bisa lebih ekstra keras dalam membina tim putri. Bibit tim putri memang tidak sebanyak tim putra, jadi tugas ekstra keras PB PBSI agar ke depannya bisa lebih baik dan tim putri Indonesia bisa kembali seperti dulu lagi. 

Susy Susanti (kanan depan) bersama atlet junior di cabang olahraga bulu tangkisFoto: Privat

Dengan latihan sekeras itu, apa langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah untuk menghargai atlet Indonesia?

Saat ini memang untuk bonus jauh lebih baik dari zaman dulu. Tapi kita juga berharap, tidak hanya saat juara dapat bonus tetapi jaminan masa depan saat atlet itu (ketika) sudah pensiun harus lebih diperhatikan. Menjadi juara itu tidak mudah. Jangan sampai penghargaan dikasih bonus miliaran, tapi itu tidak menjamin kehidupannya di masa depan. Alangkah baiknya, jaminan itu berupa kepastian masa tua, seperti dana pensiun dan pekerjaan. 

Rendahnya perhatian kepada atlet akan membuat generasi muda dan para orang tua berpikir dua kali untuk membolehkan menjadi atlet karena tidak ada jaminan di masa depan. Menjadi atlet itu harus siap kehilangan masa remaja termasuk sekolah, pertaruhan dan pengorbanan besar. Jangan sampai hanya dihargai saat menjadi juara tapi tidak dianggap jika masanya sudah selesai. Masyarakat menjadi ragu untuk mempercayakan anaknya menjadi atlet karena tidak ada jaminan masa depan.

Ada program pengangkatan sebagai PNS bagi para juara. Apakah itu cukup?

Kurang tepat karena banyak atlet yang tidak punya prestasi pendidikan sehingga tidak bisa masuk jadi PNS. Misal juara dunia tapi hanya lulusan SMP, standar PNS-nya hanya disesuaikan pendidikannya otomatis gajinya kecil sekali. Sebaiknya untuk atlet jangan disandingkan dengan akademis tapi prestasi. Rata-rata atlet Indonesia itu jarang ada lulus sampai SMA, kalaupun lulus itu pasti nilai jelek karena jadi atlet itu harus ada salah satu yang dikorbankan. Di Indonesia seperti atlet angkat besi, dayung, itu banyak yang tidak sekolah jadi bagaimana mau jadi PNS? 

Anda sendiri juga mengembangkan bisnis sendiri, yakni Astec (Alan Susy Technology). Bisa ceritakan tentang ini?

Saya awalnya itu mulai bisnis untuk bulu tangkis dan harapannya bisa diterima, tidak hanya Indonesia tapi juga di dunia. Sebagai mantan atlet, saya juga harus melanjutkan hidup saya, seperti kita tahu penghargaan atlet dulu sangat kurang. Saat pensiun, kita harus menentukan lagi (cara) mencari uang.

Bisnis ini sangat diterima oleh masyarakat sebagai brand lokal Indonesia dan cukup bagus. Meskipun pandemi dan penjualan pasti menurun, saat ini kami sudah bekerja sama dengan Sport Station (MAP) di seluruh Indonesia. Kami ada beberapa cabang juga di Indonesia dan sudah ada cabang agen pemasaran di luar negeri seperti di Thailand, Filipina, Swedia, dan Korea Selatan. Sekitar lima negara.

Saat ini sudah cukup berkembang karena kita tidak hanya menjual produk bulu tangkis, tapi juga ke soccer, running, walking dan life style dan menyesuaikan juga membuat baju olahraga untuk perempuan muslim.

Harapan Anda untuk merk ASTEC?

Sebagai brand Indonesia, kita berharap sekali bisa mendapat dukungan pemerintah Indonesia dan saya belajar banyak dari atlet Cina, Li-Ning, yang berhasil dengan branding-nya. Dia atlet peraih medali dari cabang senam yang berbisnis dan berhasil karena didukung pemerintah. Brand Li-Ning sudah mendunia sekarang. Saya berharap bisnis saya bisa berkontribusi dalam memajukan dunia bulu tangkis di Indonesia, dan generasi muda.

Saya tidak melulu cari keuntungan dan selalu menyisihkan keuntungan untuk membina atlet sebagai sponsor utama membuat kejuaraan yang disebut Astec Open dan sudah berjalan 15 tahun. Astec Open itu kejuaraan sejak dini: anak-anak (11), pemula (13 tahun), dan junior (15-17 tahun) dengan harapan dengan kejuaraan yang saya adakan itu, bibit akan muncul dan memudahkan PB PBSI memantau dan menjaring atlet yang akan mengharumkan nama Indonesia(ae)

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Tria Dianti dan telah diedit sesuai konteks.

Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait