1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suu Kyi dan Para Jenderal

27 Maret 2013

Aung San Suu Kyi bergabung dengan para jenderal di acara parade militer yang digelar pertama kalinya, sebagai sebuah pamer kekuatan di tengah meluasnya kekerasan sektarian berdarah di Myanmar.

Foto: Reuters

Parade Hari Angkatan Bersenjata hari Rabu (27/3) di ibukota Naypyidaw penuh simbol.

Momen ini digelar di tengah pergulatan Presiden Thein Sein untuk menghentikan kekerasan sektarian antara kelompok Buddhis-Muslim terakhir, yang menyebabkan 40 orang tewas pekan lalu dan mendorong bekas jenderal itu mengumumkan keadaan darurat serta mengirimkan tentara untuk memulihkan ketertiban.

Hanya beberapa jam setelah parade, sebuah mesjid dan beberapa rumah kaum Muslim dihancurkan oleh ratusan orang di kota Zeegone, sekitar150 kilometer utara Yangon, yang merupakan kota utama Negara itu.

“Tentara dan polisi melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan massa,” kata seorang warga melaporkan.

Parta aktivis mengekspresikan kekecewaan kepada Suu Kyi, pemenang Nobel yang pernah dipenjara selama 15 tahun oleh junta, dan hingga kini masih membisu atas sejumlah episode kekerasan sektarian yang terjadi sejak tahun lalu.


Suu Kyi di barisan depan


Suu Kyi ditempatkan pada barisan depan selama parade, yang melibatkan ribuan tentara dan kendaraan militer -- yang diantaranya membawa rudal – sementara jet tempur mengaum di udara.

Pemimpin pro demokrasi itu terlihat bercakap-cakap dengan sejumlah jenderal termasuk Zaw Win, wakil menteri untuk urusan perbatasan.

Hubungan tokoh pembangkang yang kini menjadi anggota parlemen itu dengan militer, menjadi perhatian banyak kalangan, seiring persiapannya untuk pemilihan umum 2015. Kehadiran Suu Kyi dalam parade ini akan dilihat sebagai tanda hubungan yang semakin hangat dengan militer.

Saat ditanya kenapa Suu Kyi memilih untuk datang dalam parade, juru bicara Partai Liga Nasional untuk Demokrasi NLD hanya mengatakan: “Dia hadir karena memang diundang.“

Ayah Suu Kyi, pahlawan kemerdekaan Negara itu Aung San, adalah orang yang membentuk angkatan bersenjata dan memimpin perjuangan melawan pemerintahan kolonial Inggris.

Januari lalu, Suu Kyi mengaku bahwa dia masih “menyukai“ militer, meski ada tuduhan bahwa tentara terlibat pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik etnik Myanmar, termasuk pemerkosaan dan penyiksaan di negara bagian utara Kachin.


Militer tetap berpolitik


Sebuah konstitusi kontroversial yang dibuat oleh junta pada tahun 2008 -- yang saat ini sedang dikaji ulang parlemen -- menyediakan 25 persen kursi parlemen bagi personel angkatan bersenjata.

Komandan Angkatan Bersenjata Myanmar, telah menegaskan kembali soal keterlibatan militer dalam politik.

Berbicara di hadapan sekitar 6 ribu tentara, Jenderal senior Min Aung Hlaing mengatakan bahwa militer memainkan sebuah “peran dalam politik nasional sesuai dengan keinginan rakyat pada saat bangsa menghadapi konflik etnik atau perjuangan politik.“

Dia menambahkan: “Kami akan tetap berbaris untuk memperkuat jalan demokratik yang diinginkan rakyat.”


Problem kekerasan komunal

Kekerasan komunal adalah pengingat gamblang tentang tantangan yang kini dihadapi pemerintah Myanmar, seiring upaya mereka untuk mereformasi negeri itu, setelah selama beberapa dekade hidup di bawah tangan besi junta militer.

Tahun lalu, dua peristiwa kekerasan sektarian antara Buddhis-Muslim meluas di sebelah barat negara bagian Rakhine dan meninggalkan sedikitnya 180 korban tewas dan membuat lebih dari 110 ribu orang mengungsi.

Kerusuhan terakhir dipicu oleh sebuah perdebatan di sebuah toko emas satu pekan lalu, yang kemudian berubah menjadi kerusuhan yang menjalar dan menyebabkan mesjid-mesjid dibakar, rumah-rumah dihancurkan dan tubuh-tubuh yang hangus terbakar dibiarkan tergeletak di jalanan.

Namun para pengamat mencatat bahwa kekerasan itu tampaknya terorganisir dengan baik.

Utusan PBB Vijay Nambiar, yang baru-baru ini mengunjungi kota Meiktila yang dilanda kerusuhan mengatakan bahwa rumah-rumah kelompok Muslim telah dijadikan target dengan cara yang “efisien brutal”.

Jam malam telah diberlakukan di sejumlah kota di pusat Myanmar bersamaan dengan upaya pemerintah untuk memadamkan kekerasan yang telah mendorong Amerika untuk mengeluarkan peringatan kepada warganya agar tidak bepergian ke sejumlah tempat di Negara itu.

AB/ HP (afp/dpa/ap)