1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialKorea Utara

Taedonggang, Bir Korea Utara Hasil Andil Jerman dan Inggris

14 Juli 2022

Korea Utara berpesta merayakan ulang tahun ke-20 produksi pertama bir Taedonggang yang menjadi andalannya. Meskipun apresiasi itu gagal mengakui pengaruh Barat di Korea Utara.

Warga Korea Utara menikmati bir Taedonggang
Orang Korea Utara bangga dengan bir nasional mereka tanpa mengetahui tentang warisan asingnyaFoto: Wong Maye-E/AP Photo/picture alliance

Dengan hasil akhir yang "garing dan bersih", Taedonggang sangat populer di pasar bir Pyongyang pada musim panas, meskipun para penikmatnya tidak tahu bahwa rasanya yang khas adalah dari warisan asing.

Kantor Berita Pusat Korea yang dikelola pemerintah menerbitkan sebuah cerita baru-baru ini di mana mereka merayakan dua dekade pembuatan bir Taedonggang di Pyongyang. Pemerintah Korea Utara menekankan bahwa pabrik itu "dibangun di bawah perawatan Ketua Kim Jong Il," ketika konstruksi dimulai pada tahun 2000.

Dalam laporan berita itu disebutkan bahwa Kim Jong Il "memulai pembangunan pabrik baru yang memproduksi bir dengan kualitas terbaik untuk rakyat." Dia juga memilih lokasi untuk pabrik, KCNA melaporkan, dan "menunjukkan perhatian yang mendalam untuk pembangunannya."

'Rasa dan kualitas'

Putra dan pewaris Kim Jong Il, Kim Jong Un, memantau kemajuan pabrik produksi bir dan mengunjungi tempat tersebut beberapa kali untuk "mendorong para pejabat dan pekerjanya agar lebih meningkatkan rasa dan kualitas bir, dan dengan demikian meninggikan derajat kehormatan pabrik sebagai salah satu yang populer di tengah masyarakat," menurut media pemerintah.

Pabrik itu menghasilkan 70.000 kiloliter bir per tahun, memanfaatkan mata air alami di distrik Milim serta jelai dan hop yang ditanam di wilayah utara. Bir Taedonggang memiliki kandungan alkohol 5,7%, sangat tinggi untuk bir yang diproduksi di Asia Timur, tetapi juga merupakan ciri khas dari bir itu.

Bir Taedonggang Korea Utara memiliki rasa yang lebih mirip dengan bir InggrisFoto: Wong Maye-E/AP Photo/picture alliance

Pada tahun 2000, hubungan antara Korea Utara dan seluruh dunia berada dalam keadaan yang jauh lebih positif. Hal ini membuat arus pembiayaan asing mengalir ke negara itu. Saat itu, pemerintah di Pyongyang memutuskan bahwa mereka menginginkan tempat pembuatan bir. Tanpa memiliki banyak pengetahuan, pemerintah memutuskan cara paling sederhana untuk mencapai tujuan itu dengan membeli fasilitas pembuatan bir asing.

Melalui koneksi di Jerman, Korea Utara meminta broker bisnis, Uwe Oehms, untuk mengembangkan tempat pembuatan bir yang sesuai. Setelah menjelajahi Eropa untuk mencari pabrik yang cocok, Oehms menemukan bahwa pabrik yang telah dioperasikan oleh pembuat bir Inggris Ushers di kota Trowbridge, Wiltshire, baru-baru ini ditutup dan peralatannya dijual.

"Semuanya mengejutkan ketika kami mendengar bahwa itu dijual ke Korea Utara," kata Gary Todd, yang telah menjadi kepala pembuat bir sampai pabrik itu ditutup.

"Suatu hari, pejabat pemerintah Korea Utara dan beberapa pembuat bir tiba, meskipun sangat jelas bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang pembuatan bir," kata Todd kepada DW. "Ada juga beberapa insinyur Rusia yang terlibat dan karena (kendala) semua bahasa, itu adalah proses yang sangat rumit."

Mengajarkan keterampilan membuat bir

Dengan cepat Todd perlu memandu pembuat bir di Korea Utara, apalagi negara itu tidak berpengalaman untuk melalui setiap langkah dalam proses yang diperlukan untuk mengubah bahan mentah menjadi bir. Kursus kilat dalam pembuatan bir itu memakan waktu lima bulan, di mana tempat pembuatan bir dan semua perlengkapan dikemas dengan hati-hati dan disiapkan untuk pengiriman ke Korea Utara.

"Mereka sangat terkesan dengan pengaturan Ushers dan tampak bersemangat bahwa mereka akan dapat memindahkan semuanya ke Korea Utara dan mengatur semuanya lagi," katanya. "Mereka benar-benar menginginkan semua yang ada di gedung itu. Mereka menginginkan semua gelas plastik dari mesin penjual minuman otomatis karena mereka bilang tidak bisa membawanya pulang.”

"Mereka menginginkan kursi toilet, saya ingat seseorang berjalan-jalan dengan kursi toilet di lehernya dan baut di lantai," tambahnya. "Mereka mengambil ubin dari dinding satu per satu dan mengambil semuanya."

Menjelang akhir proyek, pihak Korea Utara mengejutkan Todd.

"Mereka mengatakan kepada manajemen bahwa mereka ingin saya pergi ke Korea Utara untuk mengatur segalanya dan memulai proses pembuatan bir, tetapi itu akan menjadi komitmen dua tahun setidaknya, dan saya memiliki keluarga muda pada saat itu dan saya tidak melakukannya, tidak ingin pergi."

Namun, dia tetap bisa menikmati sebotol bir Taedonggang beberapa tahun kemudian ketika seorang jurnalis yang mengunjungi pabrik di Pyongyang membawakannya suvenir perjalanan.

"Itu sangat bagus, jauh lebih baik dari yang saya harapkan, dan saya terkesan," katanya. "Birnya renyah dan dengan hasil akhir yang bersih." Orang Korea Utara juga bangga dengan bir nasional mereka.

"Saya ingat terkejut mengetahui betapa 'dalam' rasanya, setidaknya dibandingkan dengan bir Jepang," kata Chung Hyon Suk, seorang warga Korea Utara di Jepang yang telah melakukan perjalanan reguler kembali ke tanah airnya di masa lalu.

Populernya kebun bir tepi sungai

"Ada banyak taman bir di sepanjang Sungai Taedonggang di pusat Pyongyang dan orang-orang akan pergi ke sana setelah bekerja di musim panas untuk bersantai dan bertemu teman-teman mereka," ungkap Chung Hyon Suk kepada DW.

"Teman-teman saya memberi tahu saya bahwa itu adalah kegiatan favorit mereka ketika cuaca panas dan itu sangat populer di kalangan orang muda dan perempuan," tambahnya.

Sayangnya, sanksi internasional terhadap Korea Utara sekarang membuat hampir tidak mungkin untuk membeli bir Taedonggang di luar negeri, sementara penutupan perbatasan dengan Cina karena pandemi virus corona telah mempersulit pencarian bir di luar negeri.

"Saya ingat warnanya lebih gelap daripada bir Jepang dan dengan rasa yang lebih mirip dengan bir Inggris," katanya.

(rs/ha)

 

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.