"2021 Jadi Tahun yang Berat bagi Gerakan Perempuan"
Riri Wahyuni (Medan)
22 Desember 2021
Maraknya kasus pelecehan seksual dan kekerasan membuat banyak perempuan Indonesia cemas dan bertanya: Adakah tempat yang aman bagi saya baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan?
Iklan
Lima tahun sudah pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU-PKS) ditunda, termasuk RUU tindak pidana kekerasan seksual. Tahun depan, RUU PKS rencananya akan lanjut dibahas di sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Januari 2022, setelah batal dilaksanakan 22 Desember 2021.
Keadaan itu berbanding berbalik dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat, angkanya sudah mencapai ribuan di Indonesia hingga September 2021.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, mengatakan penundaan pembahasan di tingkat parlemen menunjukkan bahwa RUU PKS dan RUU TPKS seolah tidak dianggap sebagai prioritas.
Darurat kekerasan seksual
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat dua kali lipat menjadi 4.500 kasus sampai dengan September 2020, dibandingkan tahun sebelumnya dalam periode yang sama.
Kasus kekerasan predator seksual terbaru yang terjadi di Indonesia yaitu pemerkosaan puluhan santri pondok pesantren di Bandung oleh seorang guru, pencabulan anak-anak panti asuhan yang dilakukan seorang biarawan gereja di Depok, hingga bunuh diri mahasiswi NW di Mojokerto, Jawa Timur.
"Padahal korban banyak yang berjatuhan, apalagi sebulan ini banyak data menujukkan bahwa di tempat pendidikan hingga asrama yang bermuatan agama, justru di situ terjadi impunitas terhadap predator seksual," ujar Mike Verawati Tangka kepada DW Indonesia.
Atas hal itulah, Mike mempertanyakan mengapa RUU PKS tidak dijadikan kepentingan bersama di parlemen. "Padahal ini menyangkut performa negara, mau sampai kapan kita hadapi angka mencengangkan. Kasus kekerasan seksual yang tinggi, termasuk persoalan yang memalukan, karena merendahkan martabat. Indonesia jangan sampai dianggap sebagai negara yang tidak serius menangani," terangnya.
Lebih lanjut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia ini meminta pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo untuk mengambil alih dengan mengeluarkan pernyataan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Mike berharap, agar pemerintah tidak hanya sebatas menunggu, tapi bergerak cepat, karena korban predator seksual terus meningkat.
Ia mencontohkan bahwa kehadiran Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menjadi langkah maju, karena perguruan tinggi termasuk dalam tempat yang sering terjadi pelecehan seksual.
Iklan
Beban perempuan kian berat
Mike mengatakan banyak masalah yang belum terselesaikan terkait pemenuhan hak dasar perempuan hingga akses terhadap hak tersebut, bahkan sejak sebelum pandemi. Masalah tersebut antara lain yaitu ketidaksetaraan gender di dalam keluarga yang mengakibatkan tingginya angka kematian ibu.
Persoalan lain yakni terbatasnya jangkauan akses layanan kesehatan, terabaikannya hak pangan perempuan, minimnya akses ke air bersih, perkawinan anak, hingga kasus stunting. Ditambah kehadiran pandemi menjadi pukulan berkali lipat dirasakan perempuan.
Pandemi COVID-19 menjadi momen membuka mata banyak orang, bahwa sistem yang berjalan saat ini masih bias gender, ujar Mike. Contohnya saat proses pembagian bantuan, tidak diberikan berdasarkan kebutuhan berbasis gender, sesuai dengan kelompoknya, seperti disabilitas, anak-anak, perempuan, laki-laki, dan lainnya.
"Pandemi ini kita jadi tahu, sistem perlindungan sosial dan penguatan ekonomi belum melihat kelompok rentan perempuan dan lainnya, itu yang harus jadi perhatian dari negara ini," tuturnya.
Kekerasan Terdokumentasi dalam 16 Benda Sehari-Hari
Berkaitan dengan 16 hari kampanye PBB demi pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, Dana Penduduk PBB (UNFPA) mengumpulkan 16 benda dari kasus kekerasan dan penganiayaan di berbagai negara.
Foto: UNFPA Yemen
"Ini Patahan Gigi Saya, Setelah Suami Memukuli Saya"
Ameera (bukan nama asli) baru 13 tahun ketika ia dinikahkan dengan seorang pria tua di Yaman. Suatu hari, karena ia terlambat membangunkan suaminya yang sedang tidur siang, suaminya memukulinya dengan sapu, hingga hidungnya retak dan sebagian giginya patah. Ameera kini tinggal di rumah penampunya yang didukung dana UNFPA. Ia menyimpan patahan gigi sebagai bukti di pengadilan.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Diteruskan ke Generasi Berikutnya
Omar (bukan nama sebenarnya) di Maroko merusak piano mainannya ini, saat berusaha menjaga ibunya dari pukulan tangan ayahnya. Ketika itu Omar baru berusia enam tahun. Ibunya mengatakan dengan keselamatan anaknya. "Saya ingin masa depan lebih indah bagi anak-anak saya."
Foto: UNFPA Morocco
"Kami Pertaruhkan Nyawa Tiap Hari Karena Kumpulkan Kayu untuk Memasak"
Di kawasan yang dilanda krisis kemanusiaan, perempuan jadi target empuk. Zeinabu (22) diserang milisi Boko Haram ketika mengumpulkan kayu bakar di dekat kamp pengungsi di bagian timur laut Nigeria. Banyak perempuan lainnya juga diperkosa, diculik atau dibunuh ketika mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Ini foto seikat kayu kering yang dikumpulkan Zeinabu.
Foto: UNFPA Nigeria
Tali Yang Digunakan Ayah Setiap Kali Memperkosa Anaknya
Inilah tali yang digunakan ayah Rawa (bukan nama asli) setiap kali memperkosanya. Perang bisa sebabkan kondisi berbahaya bagi perempuan, bahkan di rumah sendiri. Di Yaman, salah satu negara dengan bencana kemanusiaan terbesar di dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lebih dari 60%. Salah satu penyebabnya stres berat. Sementara kasus Rawa tidak bisa dimengerti sama sekali.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Sebabkan Sakit, Trauma atau Berbuntut Kematian
Martha dirawat dengan obat dan perban untuk pertolongan pertama setelah dipukuli suaminya di Lusaka, Zambia. "Wajahnya babak belur," kata pembimbing di tempat penampungan. "Ia juga menderita luka di punggung. Martha mengatakan, kalau ia tidak melarikan diri, suaminya kemungkinan akan membunuhnya." Dua pertiga korban kekerasan rumah tangga adalah perempuan dan anak perempuan.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Bayangan Gelap Kekerasan Berdampak pada Seluruh Keluarga
Keluarga Tatiana di Ukraina terpecah belah akibat suaminya yang meneror dengan kekerasan. Sekarang Tatiana sudah terlepas dari suaminya. Tetapi ia dan enam anaknya masih berusaha membangun hidup baru di rumah yang sempit. "Saya sekarang hidup bagi anak-anak saya," katanya.
Foto: UNFPA Ukraine/Maks Levin
Penyiksaan Psikologis Juga Bentuk Kekerasan
Di Bolivia, pacar Carmen (bukan nama asli) selalu menertawakan penampilannya. Ia mengejek baju dan gaya Carmen. Oleh sebab itu, Carmen selalu bersembunyi di toilet di universitas, termasuk yang tampak pada foto. Perlakuan seperti itu dampaknya dalam, katanya. Itu berefek pada keyakinan diri dan bisa mengubah seseorang.
Foto: UNFPA Bolivia/Focus
Jejak Kaki Saat Melarikan Diri
"Saya ditampar kemudian diseret suami saya." Begitu cerita Sonisay (bukan nama sebenarnya) di Kamboja. Ini foto telapak kaki Sonisay di pekarangan rumah, saat lari dari suaminya. Secara global, sepertiga perempuan mengalami kekerasan, dalam bentuk apapun. Dan itu kerap disebabkan oleh seseorang yang dikenalnya.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Penn
"Ia Didorong ke Tempat Tidur kemudian Dicekik"
Kekerasan seksual bisa mengubah hidup perempuan sepenuhnya akibat teror, stigma, penyakit atau kehamilan. Di Yordania, seorang perempuan pergi ke klinik untuk minta bantuan medis. Di sana ia lega setelah diberitahu tidak hamil. "Tapi ia tetap syok dan sedih," kata Dr. Rania Elayyan. Seperti halnya banyak orang lain yang selamat dari serangan. Perempuan ini memilih tidak melaporkan nasibnya.
Foto: UNFPA Jordan/Elspeth Dehnert
Perempuan Berusaha Minimalisasi Kekerasan
Di kawasan krisis, perempuan juga menghadapi kesulitan mencari tempat yang bisa didatangi, juga berpakaian untuk minimalisasi ancaman kekerasan. Kekerasan seksual merajalela di kalangan Rohingya yang lari dari krisis di Myanmar. Ini foto gundukan pakaian di luar kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditolak perempuan karena dianggap bisa menyulut perhatian yang tidak diinginkan dari pria.
Foto: UNFPA Bangladesh/Veronica Pedrosa
"Ia Membawa Saya Ke Rumahnya"
Di Zambia, Mirriam (14) mengunjungi pusat konseling setelah dipaksa menikah dengan pria berusia 78 tahun. "Rasa sakit hampir tidak tertahan," kata Mirriam. "Ia mengatakan saya harus melakukannya karena saya sekarang istrinya." Di negara berkembang, rata-rata satu dari empat anak perempuan dipaksa menikah. Namun pernikahan anak-anak juga bisa ditemukan di negara berkembang.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Mutilasi Berujung Penderitaan
Seorang perempuan yang biasa melakukan mutilasi genital atau FGM (Female Genital Mutilation) di Somalia kini menyadari bahayanya. “Anak perempuan saya jatuh sakit setelah melalui FGM,” demikian diakuinya. Tapi ia memperkirakan, FGM tidak bisa dihapuskan dengan mudah.
Foto: Reuters/S. Modola
Perampasan Hak Finansial Juga Suatu Kekerasan
Hakim di Nikaragua mengeluarkan keputusan hukuman terhadap ayah Sofia (bukan nama sebenarnya), yang memukuli istrinya, dan tidak memberikan dukungan finansial kepada Sofia. Ia menghentikan sokongan saat Sofia mengandung di usia 14. Hakim memutuskan, ayahnya harus memberikan sokongan sampai ia berusia 21 tahun.
Foto: UNFPA Nicaragua/Joaquín Zuñiga
"Kami Dikurung Sejak Kecil selama 20 Tahun"
Sejumlah kasus mengerikan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak perempuan dirampas kebebasannya. Contohnya Balqees (bukan nama asli) di Yaman. Sejak berusia 9 tahun, ia dan saudara perempuannya dikurung di kamar ini. Saudara laki-laki mereka merasa, saudara perempuan mereka akan memalukan keluarga jika berbaur dengan masyarakat. Akhirnya, mereka ditinggalkan sepenuhnya dan ditolong tetangga.
Foto: UNFPA Yemen
Pria dan Anak Laki-Laki Harus Ikut Serta Menghapus Kekerasan
Ry di Kamboja mengatakan, ia sering melakukan kekerasan terhadap istrinya di rumah ini. Tapi ia kemudian ikut "Good Men Campaign" (Kampanye Pria Baik), yaitu inisiatif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sekarang ia bertekad bersikap lebih baik. "Kalau bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan bertengkar dengan istri saya. Malah lebih mencintai dan menghormatinya," kata Ry.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Pen
Kekerasan Tidak Boleh Diselubungi
Kisah kekerasan harus diungkap agar cakupan masalah bisa dilihat semua orang, dan jalan keluar bisa ditemukan. Di Belarus, seorang perempuan yang selamat dari KDRT menggambar bunga dalam kelas terapi. Tujuannya adalah agar mereka bisa memproyeksikan dan menangani rasa takut, dan belajar dari pengalaman. Topik kelas ini adalah "open to live" (terbuka untuk hidup). Ed.: ml/hp (Sumber: UNFPA)
Foto: UNFPA Belarus/Dina Ermolenko
16 foto1 | 16
Mike menilai, beban yang dipikul perempuan semakin tinggi karena ada banyaknya ketidakadilan masih terjadi. "Yang paling menyedihkan adalah angka kekerasan seksual berkali lipat, apalagi kekerasan berbasis online," jelas Mike.
"Pada 2021 jadi tahun yang cukup berat untuk gerakan perempuan. Kita menghadapi gerakan perempuan yang melawan kekerasan seksual, tapi kita dihadapkan gerakan menolak RUU PKS, dan sedihnya ditolak oleh kelompok gerakan perempuan sendiri," tandasnya.
Jangan sekadar jadi peringatan
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verwati Tangka, mengutarakan jika peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember 2021 di Indonesia bisa menjadi momen untuk berjuang agar perempuan mendapatkan hak untuk merasa aman.
"Tanpa RUU PKS, ke depan masih akan berat tantangan yang dihadapi," tandasnya. Hari Ibu menjadi momen penting untuk saling rangkul dan sinergi dengan seluruh elemen masyarakat, dan sama-sama menyuarakan jika Indonesia darurat kekerasan seksual, ujarnya. (ae)