1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Nadiem Ganti UN Jadi Asesmen Kompetensi dan Survei Karakter

Detik News
11 Desember 2019

Mendikbud Nadiem Makarim memutuskan mengganti format Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mulai tahun 2021. Untuk 2020, siswa tetap mengikuti ujian nasional seperti biasa. 

Schülerin in Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham

Ujian Nasional dihapus akan diganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mulai 2021. 

Pengumuman soal penggantian ujian nasional ini disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim saat Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia. Nadiem memastikan tolok ukur bagi para siswa harus tetap ada tapi hal yang diukur akan diubah. 

"Asesmen kompetensi minimum adalah kompetensi yang benar-benar minimum di mana kita bisa memetakan sekolah-sekolah dan daerah-daerah berdasarkan kompetensi minimum. Apa itu materinya. Materinya yang bagian kognitifnya hanya dua. Satu adalah literasi dan yang kedua adalah numerasi," papar Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019). 

Nadiem menjelaskan 'literasi' bukan sekadar kemampuan membaca, tapi juga kemampuan menganalisis suatu bacaan serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan 'numerasi' adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka. Dia menekankan 'literasi' dan 'numerasi' bukan mata pelajaran bahasa atau matematika, melainkan kemampuan murid-murid menggunakan konsep itu untuk menganalisis sebuah materi.

"Ini adalah 2 hal yang akan menyederhanakan asesmen kompetensi yang dilakukan mulai dari tahun 2021. Bukan berdasarkan mata pelajaran lagi. Bukan berdasarkan penguasaan konten materi," ucapnya. 

"Ini berdasarkan kompetensi minimum kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar apa pun materinya. Ini adalah kompetensi minimum yang dibutuhkan murid untuk bisa belajar apa pun mata pelajarannya," sambung Nadiem. 

Baca jugaPentingnya Pergerakan Guru dalam Reformasi Pendidikan

Survei karakter

Terkait survei karakter, Nadiem mengatakan selama ini pemerintah hanya memiliki data kognitif dari para siswa tapi tidak mengetahui kondisi ekosistem di sekolah para siswa. 

"Kita tidak mengetahui apakah asas-asas Pancasila itu benar-benar dirasakan oleh siswa se-Indonesia. Kita akan menanyakan survei-survei untuk mengetahui ekosistem sekolahnya. Bagaimana implementasi gotong royong. Apakah level toleransinya sehat dan baik di sekolah itu? Apakah well being atau kebahagiaan anak itu sudah mapan? Apakah ada bullying yang terjadi kepada siswa-siswi di sekolah itu?" ujar Nadiem.

Nadiem menuturkan survei ini akan menjadi panduan untuk sekolah dan pemerintah. Survei karakter itu diharapkan jadi tolok ukur untuk bisa memberikan umpan balik bagi sekolah dalam melakukan perubahan. 

"Survei ini akan menjadi tolok ukur untuk bisa memberikan umpan balik, memberikan feedback pada sekolah-sekolah untuk melakukan perubahan-perubahan yang akan menciptakan siswa-siswi yang lebih bahagia dan juga lebih kuat asas-asas Pancasilanya di dalam lingkungan sekolahnya," ungkapnya.

Baca jugaPeringkat 6 Terbawah, Indonesia Diminta Tinggalkan Sistem Pendidikan 'Feodalistik' 

UN terakhir di 2020

Lebih jauh Nadiem menuturkan bahwa keputusan mengganti format ujian nasional ini berdasarkan survei dan diskusi dengan orang tua, siswa, guru, hingga kepala sekolah. Hasilnya, materi ujian nasional dinilai terlalu padat sehingga fokusnya justru mengajarkan dan menghafal materi, bukan terkait kompetensi pelajaran.

"Kedua, isunya adalah ini jadi beban stres bagi banyak sekali siswa, guru, dan orang tua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal maksudnya ujian berstandar nasional adalah untuk mengakses sistem pendidikan, yaitu sekolahnya maupun geografinya maupun sistem penduduknya secara nasional," papar Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019). 

Selain itu, Nadiem menyebut ujian nasional hanya menilai 1 aspek, yaitu kognitif. "Belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," sambungnya. 

Oleh sebab itu, dia mengambil keputusan untuk mengubah format ujian nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter mulai 2021. Untuk 2020, siswa tetap mengikuti ujian nasional seperti biasa. 

"Untuk 2020, UN akan dilaksanakan sesuai seperti tahun sebelumnya. Jadi 2020, bagi banyak orang tua yang sudah investasi buat anaknya belajar mendapat angka terbaik di UN, itu silakan lanjut untuk 2020," ucap Nadiem. 

"Tapi itu hari terakhir UN seperti format sekarang diselenggarakan," tegasnya. 

Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) juga akan diganti

Nadiem memastikan arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN pada 2020 akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. 

"Untuk 2020, USBN itu akan diganti, dikembalikan kepada esensi UU Sisdiknas, kepada semua setiap sekolah untuk menyelenggarakan ujian kelulusannya sendiri, dengan tentunya mengikuti kompetensi-kompetensi dasar yang sudah ada di kurikulum kita," papar Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).

Kendati demikian, Nadiem mengatakan kebijakan ini tidak memaksa sekolah untuk langsung mengubah sistem kelulusannya. Sekolah dipersilakan tetap memakai format USBN tahun lalu. 

"Ini harus ditekankan. Ini tidak memaksakan sekolah untuk harus berubah tes kelulusannya. Kalau sekolah itu masih belum siap untuk melakukan perubahan, kalau ingin menggunakan format seperti USBN yang tahun lalu, itu dipersilakan," ujar Nadiem. 

Dia menjelaskan, tiap sekolah yang ingin mengubah sistem USBN juga diperbolehkan. Ujian untuk menilai kompetensi siswa ini dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya). 

"Tetapi bagi sekolah-sekolah yang ingin melakukan perubahan, bagi sekolah-sekolah yang ingin melakukan penilaian dengan cara lebih holistik, itu diperbolehkan. Sehingga bisalah ini menimbulkan dan menciptakan kesempatan bagi sekolah-sekolah melakukan penilaian di luar hal yang cuma pilihan ganda, seperti esai portofolio dan penugasan-penugasan lain, seperti tugas kelompok, karya tulis, dan lain-lain," jelasnya.

"Jadinya ini kita memberikan kemerdekaan bagi guru-guru penggerak di seluruh Indonesia untuk menciptakan konsep-konsep penilaian yang lebih holistik, yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita. Bukan hanya pengetahuan atau hafalan saja," sambungnya.

Selain itu, Nadiem menyarankan, apabila sudah ada penganggaran untuk USBN, anggaran itu bisa dimanfaatkan untuk hal lain. Misalnya, untuk peningkatan kapasitas guru dan kualitas pembelajaran. 

"Bagi Bapak-bapak di sini yang telah menganggarkan bujet untuk USBN, ini bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas guru dan kualitas pembelajaran, yang memang beberapa daerah sudah ada yang menganggarkan ini. Tapi, 2020, bagi sekolah-sekolah yang ingin menciptakan asesmen yang lebih holistik, ini adalah kesempatan," kata pria lulusan Harvard University ini. (Ed: gtp/rap)

 

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

Gantikan UN, Apa Itu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter?

UN Diganti Asesmen Kompetensi-Survei Karakter, Versi 2020 Jadi yang Terakhir

Ujian Nasional Dihapus Mulai 2021, Kebijakan Soal USBN Juga Diganti