Pemimpin Cina dan Taiwan siap gelar pertemuan resmi pertama sejak Taiwan menyempal tahun 1949. Situasi politik di Taiwan jelang pemilu parlemen kini terbagi dua tanggapi rencana pertemuan di Singapura itu.
Iklan
Presiden Cina Xi Jinping dan rekan sejabatnya dari Taiwan Ma Ying-jeou akan menggelar pertemuan resmi pertama di Singapura hari Sabtu (07/11/15). Ini merupakan pertemuan bersejarah dari dua pimpinan negara yang terlibat perseteruan sengit sejak 66 tahun silam. Taiwan menyempal dari Cina pada tahun 1949 setelah perang saudara berkpanjangan.
Kedua pihak akan membahas isu menjaga perdamaian di kedua sisi selat Taiwan. Beijing hingga kini memandang Taiwan sebagai wilayah kedaulatannya yang “membelot”. Cina bahkan pada tahun 2005 mengesahkan undang-undang anti –pemisahan dan mengancam tindakan militer, jika Taiwan berniat memisahkan diri. Sebagai simbol dari ancaman serangan militer itu, Cina mengarahkan 1000 peluru kendalinya ke arah Taiwan.
Sementara ini sentimen politik di Taiwan menjelang digelarnya pemilu parlemen bukan Januari tahun depan juga makin panas. Partai nasionalis Taiwan, Kuomintang, dalam jajak pendapat terbaru diramalkan akan kalah oleh partai oposisi Partai Demokratik Progresif (DPP). Presiden Ma sesuai aturan masa jabatan presiden, tidak bisa lagi mencalonkan diri pada pemilu mendatang. Sejumlah media di Jerman menanggapi hati-hati dan skeptis pada pertemuan itu.
Presiden Ma Ying-jeou selama masa jabatannya dikenal getol mendorong kerjasama ekonomi dengan Cina daratan. Ia menandatangani kesepakatan penting dalam tema bisnis dan pariwisata. Namun sejauh ini tidak ada pertanda kemajuan dalam sengketa politik antara Taipeh dengan Beijing. Sikap warga Taiwan menanggapi rencana pertemuan itu terbagi antara pro dan kontra. Partai oposisi menuding pertemuan hanya bertujuan mendongkrak popularitas partai Kuomintang yang merosot belakangan ini. Aksi protes menentang pertemuan di Singapura itu juga marak di Taiwan,
Dalam pertemuan di Singapura Sabtu ini, juga tidak akan ada penandatanganan kesepakatan atau publikasi pernyataan bersama di akhir pertemuan. Walau begitu para pejabat tinggi di Beijing menyebut pertemuan ini sebagai monumen bersejarah dalam hubungan kedua pihak. “Ini pertemuan pragmatis untuk membahas perbedaan pandangan politik diantara dua pihak yang terpisah oleh Selat Taiwan serta salah satu aspek dalam prinsip Satu Cina,“ ujar Zhang Zhijun direktur departemen Taiwan-Cina di Beijing. Juga pemerintah Amerika Serikat, yang menjadi mitra tradisional Taiwan, menyambut positif rencana pertemuan di Singapura.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.