Tajikistan: Kemiskinan Perempuan Suburkan Praktik Poligami
Madina Shogunbekova
24 Agustus 2023
Himpitan ekonomi mendorong semakin banyak perempuan Tajikistan untuk berpoligami, terutama setelah perceraian. Fenomena tersebut memperkuat stigma sosial dan dikhawatirkan bisa menormalisasi diskriminasi lintas generasi.
Iklan
Amina, perempuan muda dari Isfara di Tajikistan, dinikahkan kedua orang tuanya ketika masih berusia belasan.
"Mereka memilihkan suami untuk saya. Saya sendiri tidak mengenal wajahnya, tapi saya tahu dia dua tahun lebih tua,” kata Amina. Tidak lama setelah pernikahan, sang suami bertolak ke Rusia untuk bekerja.
"Awalnya dia datang setahun sekali. Namun, kemudian tidak datang lagi. Akhirnya, saya tahu dia sudah menikah lagi dan hidup bersama keluarganya yang baru. Saya harus menceraikannya karena dia sudah tidak lagi menginginkan saya dan anak-anak saya,” tuturnya.
Amina akhirnya setuju menjadi istri ketiga seorang pria berusia 46 tahun, yang "dengan senang hati membantu” secara finansial. Suaminya menghadiahkan sebuah apartemen dan mobil, serta membantu Amina membuka usaha salon dan pakaian.
Lebih Baik Tanpa Suami Daripada Dipoligami
Menjadi istri bukan berarti tidak punya pilihan. Sebaliknya, para perempuan ini membuktikan mereka berani menentukan jalan hidup mereka walau harus hidup menjanda. Para perempuan ini memilih bercerai daripada dipoligami.
Foto: Privat
Lebih Baik Mundur Daripada Mengharapkan Orang Berubah
Pernikahan lima tahun Rere berakhir pada tahun 2017. Ia memilih bercerai ketika suami ingin menikah lagi. Kini Rere menghidupi dirinya dan anak tunggalnya yang berusia delapan tahun dengan membuka usaha label dan menerima jahitan pakaian dan tas di rumahnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Beruntung, ia bergabung dengan komunitas orangtua tunggal Spin Motion Indonesia yang menjadi tempat berbagi.
Foto: Privat
"Mending" Hidup Sendiri Daripada Dipoligami
Kunindarsih sudah menikah dua puluh tahun saat suami hendak menikah lagi. Meski tanpa pekerjaan, iya memilih bercerai pada tahun 2005. “Poligami menurut saya kurang nyaman ya, apa lagi bermain dengan perasaan. Lebih baik hidup sendiri daripada poligami.” Kunindarsih mencari nafkah dengan berjualan apa saja di Pacitan, Jawa Timur.
Foto: Privat
Saya Tidak Menolak Konsep Poligami, Tapi Saya Tidak Mau Dipoligami
Tiga tahun lalu suami Ati, bukan nama sebenarnya, mengabarkan ingin menikah lagi. Ati sebenarnya tidak menolak poligami, namun karena sikap suaminya yang ia kurang berkenan, Ati memilih bercerai dan membawa anak-anak dari rumah. “Saya tidak menolak poligami, tapi saya tidak mau dipoligami.” Meski ia mau bercerita pengalaman pahit hidupnya, ia menolak menampilkan foto dirinya.
Foto: Privat
Memilih Bercerai Daripada Dipoligami
Kartika Ekasari berani mengambil keputusan bercerai daripada dipoligami karena belajar dari pengalaman ibunya sendiri yang dipoligami. Sempat kuliah di Jerman selama lima tahun, perempuan pekerja di Surabaya ini berpesan, “Jadilah perempuan yang bebas dan bermartabat, layak dicintai, layak untuk bahagia tanpa harus mengorbankan harga diri dan memenjara diri dalam hirarki laki-laki.”
Foto: Privat
Tidak Ada Perempuan Yang Mau Dipoligami
Adhe Retno, seorang akademisi dan blogger yang produktif menjadi pemberi testimoni yang paling irit bicara. Ia hanya menjawab, “Tidak ada perempuan yang mau dipoligami. Saya juga tidak mau.” Meski begitu, ia bersedia memberikan fotonya.
Foto: Privat
Jangan Takut Hidup Tanpa Suami
Menikah selama 23 tahun tidak membuat Titin Handayani menjadi bergantung pada suami. Ia berani minta cerai saat suami mau menikah lagi dan merawat kedua anaknya dengan menjadi perias pengantin Jawa di Trenggalek, Jawa Timur. Pria tidak mungkin adil, katanya Lebih baik tanpa laki-laki, tegasnya. Ia mengaku semakin kuat setelah bergabung dengan Pekka atau Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga.
Foto: Privat
Kebahagian dari Allah SWT
Eti Sumiati memilih bercerai tahun 2004 daripada dipoligami. Bersama kedua anaknya, Eti bertahan hidup sendiri di Bandung hingga sekarang. “Bagi ibu terserah masing-masing orang jika ingin poligami. Bagi yang ridho, ok. Bagi ibu, seorang muslim, kebahagiaan dari Allah SWT saja.”
Foto: Privat
Daripada Hidup Dimadu, Lebih Baik Sendiri
Waode Alma menikah selama sebelas tahun dan bercerai tahun 2002 ketika suaminya punya istri baru. “Kenapa tidak mau dipoligami, Bu?”, tanya saya lewat sambungan telepon ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Perempuan pengurus dana desa ini tertawa. “Kalau rukun bagus, tapi saya daripada hidup dimadu, lebih baik sendiri.” “Saran saya, cerai saja daripada hidup susah,” kata ibu empat anak ini.
Foto: Privat
8 foto1 | 8
Poligami sebagai pilihan
Angka pernikahan poligami sedang meningkat sejak beberapa tahun terakhir di Tajikistan. Di sana, ikatan poligami direstui agama, tapi tidak diakui oleh negara.
Iklan
Penyebabnya kebanyakan adalah kondisi ekonomi, yang turut mendorong kaum pria mencari nafkah untuk keluarga di luar negeri.
Sebanyak satu dari sembilan juta populasi Tajikistan saat ini tercatat bekerja di negeri orang. Hasil devisa dari pengiriman tenaga kerja ke luar negeri rata-rata mewakili antara 20-30% pada pendapatan tahunan negara, menurut data Bank Dunia dan Forum Ekonomi dunia (WEF).
Menurut pegiat hak perempuan, hak pria menikah lebih dari sekali memang acap didukung kaum perempuan yang sedang menjanda. Sebagian besar melihat pernikahan sebagai jalan untuk membiayai diri dan anak-anak.
Adapun mereka, yang menghendaki poligami, rata-rata berasal dari kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi.
Pemerintah Tajikistan cenderung mendiamkan poligami karena mengkhawatirkan kemiskinan. "Jika ada upaya serius untuk menghentikan poligami, banyak perempuan yang akan jatuh ke bawah garis kemiskinan,” kata pegiat perempuan dan ahli psikologi, Firuza Mirzoyeva.
Perempuan Asia: Makna Pernikahan
15:30
Ancaman kemiskinan
Menurut direktur yayasan kesehatan publik dan HAM di Tajikistan itu ada beberapa alasan kenapa praktik poligami kembali marak. "Bagi banyak perempuan di pedesaan yang tidak mendapat akses pendidikan tinggi, menjadi milik pria adalah satu-satunya cara bertahan secara finansial.”
Pernikahan poligami menjamin "keselamatan” dan status sosial bagi perempuan menjanda. "Masyarakat punya pandangan negatif terhadap perempuan lajang atau janda, serta merendahkan mereka sebagai ‘babu tua'. Bahkan jika perempuan bisa sukses dan independen, masyarakat tetap tidak akan mengakui.”
Poligami tetap diminati meski tidak memberikan perlindungan hukum bagi perempuan. "Hanya anak-anak hasil pernikahan saja yang bisa diakui dan mendapat tunjangan,” dalam kasus perceraian, kata Mirzoyeva.
Terlebih, "satu generasi anak-anak yang lahir di keluarga poligami akan selamanya dihantui prasangka sosial.”
Namun begitu, "nasib tidak memberi pilihan lain,” kata Manizha, janda 19 tahun di kawasan Hisor di barat Tajikistan. "Keluarga dan masyarakat tidak lagi menerima saya,” ujarnya.
"Itulah tradisi, jika Anda menjanda, Anda hanya pantas untuk menjadi istri kedua.”