1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Musharraf Terrorismus

Thomas Bärthlein21 Agustus 2008

Banyak pihak khawatir, mundurnya Presiden Musharraf berarti kemunduran dalam perang melawan terorisme dan Taliban di Pakistan dan Afganistan. Tapi kekuatiran itu tidaklah tepat.

Foto: AP

Di barat terutama, ada anggapan bahwa Pervez Musharraf adalah penyelamat tunggal Pakistan dalam menghadapi ekstremisme dan terorisme. Kenyataannya tidak begitu, seperti yang ditulis media-media Pakistan hari-hari ini dalam evaluasi politik Musharraf.

Setelah 11 September Musharraf memang berjuang keras bersama AS dalam perang melawan teror, tapi ia selalu menjalankan permainan ganda. Pada musim gugur 2001 Musharraf mengatur agar ribuan pejuang Taliban yang dikepung di Kunduz bisa mundur ke wilayah Pakistan, dimana mereka kemudian merancang serangan dari wilayah suku masuk ke Afganistan. Musharraf mengijinkan agar pemimpin Taliban Afganistan bermukim di Pakistan. Musharraf jugalah yang paling tidak membiarkan kaum radikal Mesjid Merah di Islamabad, merajalela.

Penting untuk memahami, mengapa Musharraf bersikap demikian. Di satu pihak, itu merupakan manuver taktis untuk memelihara kelompok ekstrimis sebagai ancaman di balik layar, sementara di atas panggung Musharraf menonjolkan diri sebagai sosok liberal dan sangat diperlukan. Di pihak lain, dukungan bagi Taliban Afganistan adalah pilihan bebas politik luar negeri untuk memelihara pengaruh Pakistan di negara-negara tetangga.

Dampak samping politik ini ibarat bencana. Rakyat Pakistan tidak menganggap perang melawan Taliban dan terorisme sebagai urusan mereka, melainkan sebagai sesuatu yang dipaksakan dari luar. Mereka menyaksikan dinas rahasia sebagai aktor utama dalam perang tersebut. Dinas rahasia yang bertanggungjawab atas hilangnya ratusan orang yang lalu dibawa ke Guantanamo atau tempat serupa. Tambahan lagi, tak ada yang tahu, apakah para agen rahasia sendiri tidak bercampur dengan militan.

Bärthlein Thomas, editor DW dan pakar politik Pakistan

Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman tahun-tahun lalu untuk memerangi Taliban? Bagi semua yang ingin menghindari kebangkitan baru radikal Islam, harus memperhatikan tiga hal. Debat terbuka, menghormati hak asasi menusia dan respek terhadap minat serta kepentingan yang sah dari semua pihak di kawasan, terutama Pakistan.

Pertama, perdebatan harus dilakukan secara terbuka. Terutama di Pakistan sendiri, dan untuk itu demokratisasi adalah kemajuan besar. Bertahun-tahun Pakistan menutup mata bahwa Talibanlah masalahnya. Tapi pelan-pelan ini berubah. Media semakin terbuka mengangkat debat mengenai ekstrimisme dan pemberantasannya.

Kedua, ini kaitannya erat, dimanapun diperlukan aksi polisi dan militer untuk melawan ekstrimis, harus ada jaminan bahwa mereka tidak menyasar orang tak bersalah. Pembentukan kembali pengadilan yang independen di Pakistan akan memberi sumbangan luar biasa bagi transparansi dalam perang anti teror.

Ketiga, Pakistan tidak boleh diisolasi terkait politik luar negeri. Pemerintah baru Pakistan akan memainkan peran kunci untuk perang melawan Taliban. Pemerintah mulai bertugas Februari tahun ini dengan janji akan mengupayakan kembali dialog dengan kelompok militan. Naif mungkin, tapi Pakistan harus menemukannya sendiri. AS mulai menambah tekanan untuk menyerang posisi-posisi militan di Pakistan. Sementara semua perundingan gagal lagi.

Kemajuan melawan Taliban di Afganistan hanya akan tercapai jika Pakistan mengijinkannya. Dan kemajuan yang tahan lama di Pakistan tergantung pada dibukanya ruang gerak yang dibutuhkan untuk itu oleh AS, daripada menetapkan keberhasilan militer jangka pendek. Pakistan juga harus merasa bahwa kepentingannya dianggap serius, jika tidak, Pakistan tak akan menghentikan taktiknya untuk mengulur-ulur waktu. (rp)