1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAmerika Utara

Tajuk: Diktatur Arab Khawatirkan Kekalahan Trump 

Taqadum Al-Khatib
3 November 2020

Kemenangan kandidat Demokrat, Joe Biden, dalam Pilpres AS, akan membuka babak politik baru di dunia Arab. Para otokrat di Timur Tengah punya segudang alasan untuk merasa cemas, tulis akademisi Mesir, Taqadum al-Khatib. 

Presiden AS, Donald Trump
Presiden AS, Donald TrumpFoto: Leah Millis/REUTERS

Di bawah presiden Donald Trump, Amerika Serikat terjerumus ke dalam spiral kemunduran politik, moral dan profesional. Trump berpolitik layaknya seorang makelar properti, ketimbang negarawan yang memahami kekuatan dan status negaranya di dunia, atau yang memahami prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia. 

Mungkin latar belakang Trump dan bagaimana dia mendaratkan diri di Gedung Putih – yakni sebagai pendatang baru di ranah politik, tanpa afiliasi kuat terhadap Partai Demokrat atau Republik – bisa menjadi contoh terbaik tentang krisis kepemimpinan yang sedang terjadi di Amerika Serikat. 

Sejak Donald Trump berkuasa mulai 2016 lalu, wajah dunia berubah secara dramatis. Ekstremisme kanan menguat, didorong oleh retorika rasis ala Trump, dan Timur Tengah kini menjadi tempat yang lebih gelap ketimbang sebelumnya. 

Trump berkutat di luar konvensi politik dan diplomasi dari dekade terakhir. Dia memperdalam perpecahan di kawasan Teluk dengan mendukung blokade terhadap Katar. Dia memberi lampu hijau kepada rejim despot untuk melancarkan perang dan kehancuran, untuk membunuh atau memenjarakan oposisi, dan berusaha menutupi kejahatan mereka secara terbuka. 

Kasus wartawan Arab Saudi, Jamal Khashoggi, yang dibunuh dan dimutilasi di gedung konsulat Saudi di Istanbul, Turki, dan perang di Yaman adalah contoh paling lantang bagaimana Trump memberikan dukungan bagi rejim opresif di dunia Arab untuk melakukan tindak represi, pembunuhan dan pelanggaran berat hak asasi manusia, sesuka hati, tanpa takut diminta pertanggungjawaban oleh Amerika Serikat atau sekutunya. 

Mendemonstrasikan tangan besi dalam tema keamanan, rejim-rejim ini memanfaatkan payung yang disediakan Trump untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan melucuti kekuatan hukum. Mereka juga mengubah konstitusi agar bisa berkuasa lebih lama. Inilah yang sudah dilakukan Presiden Mesir, Abdul Fattah al-Sisi, yang kini bisa menjabat hingga 2030. 

Ketakutan terhadap kembalinya hak asasi dan demokrasi 

Itu sebabnya pemilihan umum presiden di AS pada 3 November membuat rejim-rejim otoriter di Arab menjadi gugup. Jajak pendapat menempatkan kandidat Partai Demokrat, Joe Biden, jauh di depan presiden petahana, dan ini berarti Biden sangat mungkin menjadi presiden baru AS. Jika ini terjadi, tiang gawang di Timur Tengah bisa dipastikan akan bergeser. 

Penarikan mundur militer AS dan menguatnya pengaruh Rusia mengubah konstelasi politik di Timur Tengah, tulis Taqadum al-Khatib. (Gambar: pangakalan militer AS di Timur Tengah)

Kemenangan Biden dan prospek hak asasi manusia yang kembali mendominasi kebijakan presiden AS, adalah ancaman nyata bagi rejim autokrat Timur Tengah. Di Mesir misalnya, Presiden al-Sisi melakukan ragam pelanggaran HAM sejak berkuasa pada 2014. Dia memenjarakan puluhan ribu warga, membungkam debat publik dan mengontrol media. Dia juga memperkuat kekuasaannya terhadap lembaga eksekutif dan dalam proses legislasi melalui amandemen konstitusi yang mulai berlaku tahun lalu. 

Taktik represif al-Sisi mengikuti keyakinannya pribadi, bahwa sejumput kebebasan yang diberikan kepada kaum oposisi sebelum 2011, termasuk izin operasi bagi organisasi HAM, pada akhirnya memicu revolusi dan penurunan paksa bekas Presiden Hosni Mubarak, Februari 2011 silam. Bagi presiden al-Sisi, keyakinannya itu menjadi obsesi dan menggerakkan tindak tanduknya di pucuk kekuasaan.

Dalam kasus ini, dia dibantu oleh Trump dengan ganjaran berupa konsesi politik, atau dukungan atas perjanjian politik, seperti pada apa yang disebut ‘kesepakatan abad ini’ antara Palestina dan Israel.  

Kemenangan Joe Biden tidak diragukan bakal berdampak pada kebijakan presiden Mesir. Sisi akan mendapat tekanan internasional dari AS dan sekutunya. Lebih dari itu, ada lembaga-lembaga di dalam tubuh pemerintah yang memantau situasinya dengan seksama, dan mungkin akan mengintervensi untuk menjatuhkan presiden. Militer misalnya adalah satu-satunya lembaga yang mampu memaksakan perubahan di Mesir. 

Dalam perspektif ini, kabar burung yang beredar tentang bagaimana al-Sisi menyumbangkan uang untuk pundi-pundi kampanye Trump, dengan harapan agar dia terpilih kembali, terdengar sangat kredibel. Bagaimanapun juga, kemenangan Trump akan melanggengkan posisi al-Sisi, memberikannya kesempatan untuk membuat konsesi-konsesi baru di atas kepentingan keamanan nasional dan posisi regional Mesir, yang banyak menyusut selama kekuasaannya. 

Arab Saudi bersiap hadapi era post-Trump 

Di Arab Saudi, kisah serupa berulang dengan aktor lain, Pangeran Muhammad bin Salman, yang menjadi pewaris tahta di bawah persetujuan Trump.  

Dengan Trump di sisinya, bin Salman menggeser Muhammad bin Nayef sebagai pewaris tahta dan menjadikan diri calon penerus penguasa kerajaan, bertentangan dengan Dewan Kesetiaan yang bertanggungjawab atas proses nominasi. Bin Salman menangkap sepupunya, bekas pewaris tahta Arab Saudi, dan menempatkannya dalam penjara rumah. Hal yang sama dilakukannya terhadap

Pangeran Ahmed bin Abdulaziz, yang dianggap sebagai rival utama bin Salman dalam perebutan tahta. 

Urusannya tidak berhenti di sana. Bin Salman memerintahkan pembunuhan terhadap wartawan Saudi, Jamal Khashoggi, di gedung konsulat di Istanbul, dalam sebuah kejahatan yang mengguncang dunia. Dukungan Trump memungkinkan bin Salman untuk melepas tanggungjawab atas kejahatan keji itu tanpa ada tindakan apapun dari dunia internasional. 

Pukulan bagi Muhammad bin Zayed di Abu Dhabi 

Sementara untuk Uni Emirat Arab dan pewaris tahtanya, kekalahan Trump akan menjadi bencana bagi lobi UEA di Washington yang digalang oleh Duta Besar Yusef al-Otaiba. Emirat di Teluk itu punya jaringan relasi yang kuat di Washington, namun kini beredar kabar tentang campurtangan UAE pada pilpres AS 2016 lalu. Kemungkinan munculnya penyelidikan bisa melahirkan dakwaan terhadap bin Zayed. 

Kekalahan Trump diyakini akan menyusutkan pengaruh bin Zayed, penguasa de facto UAE yang berambisi menjadi pemimpin regional, menggeser Mesir yang sedang sekarat. Kemenangan Biden sebaliknya akan menjadi pukulan telak bagi kekuatan kontra-revolusi di kawasan, dan kemungkinan besar akan mengakhiri perang di Yaman yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. 

Sejak kemunculan gelombang perlawanan di Timur Tengah – yang kini dikenal dengan nama Musim Semi Arab – kawasan ini mengalami perubahan dalam konstelasi kekuasaan, termasuk penarikan mundur militer AS dan menguatnya pengaruh Rusia, melalui Suriah. 

Penarikan mundur militer AS di bawah Trump bernilai lebih siginfikan ketimbang kebangkitan kekuatan regional seperti Turki atau Iran. Sementara di sisi lain, ada sifat mengerikan sejumlah rejim Arab. 

Atas alasan ini, kemenangan Joe Biden akan membuka babak baru di kawasan. Dan, tidak diragukan lagi, akan mengawali perubahan pada kebijakan luar negeri AS. 

---

Taqadum al-Khatib adalah peneliti Mesir yang menyelesaikan gelar doktornya di Freie Universität Berlin dan University of Princeton. Dia bekerja sebagai analis politik, menulis untuk media-media Arab dan pernah menjadi pejabat urusan politik di Asosiasi Nasional untuk Perubahan di Mesir. 

Diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Chris Somes-Charlton dan disadur ke dalam bahasa Indonesia sesuai konteks.

rzn/as 

© Qantara.de 2020 


 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya