1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Tajuk: Hentikan 'Rasisme Corona' terhadap Warga Cina

4 Februari 2020

Mereka yang berwajah Asia dan mengidap flu berpotensi menjadi korban rasisme seputar virus Corona. Sikap saling curiga yang berujung diskriminasi ras itu tidak membantu memerangi wabah virus, tulis editor DW Dang Yuan.

Japan Osaka Menschen mit Masken wegen Coronavirus
Foto: picture-alliance/AP Images/Yomiuri Shimbun/T. Kikumasa

Suasana gaduh sempat mewarnai sebuah penerbangan Lufthansa dari Cina, Rabu (29/1) pekan lalu, ketika seorang penumpang asal Cina mulai batuk-batuk. Menurut pengakuan sendiri, pria tersebut sempat menyambangi Wuhan dua pekan sebelumnya. Kota itu ditempatkan di bawah karantina massal sejak beberapa pekan terakhir.

Sontak para penumpang yang lain gelisah. Meski demikian kapten pesawat bersikeras melanjutkan perjalanan. Baru di bandara tujuan petugas medis memeriksa semua penumpang dan kru pesawat, tanpa bisa memastikan adanya penularan virus Corona.

Antara Kewaspadaan dan Reaksi Panik

Wabah Corona membuat resah masyarakat dunia. Pemberitaan luas media-media internasional membuat mereka waspada akan bahaya yang mengancam. Namun batas antara kewaspadaan dan reaksi berlebihan terkadang membaur: individu berwajah Asia yang kedapatan batuk sering mengundang kecurigaan, seakan-akan penduduk satu benua mengandung virus mematikan itu di tubuhnya.

Di Frankfurt, kecurigaan tersebut berujung tindakan rasis.

"Kamu mengidap virus Cina?" begitu bunyi pertanyaan yang sering terlontar jika seseorang berwajah Asia mengidap flu. Istilah "virus Cina" itu pada dasarnya menukar peran pelaku dan korban: Karena lebih dari negara lain di Bumi, Cina bergulat menghadapi wabah Corona dan membuka keran informasi terkait virus tersebut untuk menghadang rantai penularan.

Di Cina sendiri penduduk cendrung menolak istilah populer "virus Wuhan" lantaran menempatkan warga satu kota dalam kecurigaan. Tidak semua penduduk Wuhan menularkan virus ini atau reaksi panik yang muncul setelahnya, melainkan virus itu sendiri, yang juga bisa muncul di mana pun di muka Bumi. Di Wuhan, di mana pemerintah melarang warga meninggalkan rumah, jutaan penduduk membuktikan tingkat disiplin yang tinggi dan mengorbankan kebebasan pribadi untuk melawan wabah penyakit.

Video yang muncul di internet menunjukkan warga sebuah pemukiman di Wuhan yang saling melontarkan kalimat penyemangat lewat pengeras suara.

Wabah Tidak Mengenal Ras dan Batas Embarkasi

Langkah perlindungan terbaik melawan virus Corona adalah antara lain dengan menjaga kebersihan tangan sesering mungkin. Namun langkah itu hanya menimalisir risiko. Perlindungan sempurna tidak mungkin terwujud, terlebih di dunia maju yang kian terglobalisasi, di mana manusia dan barang, serta wabah penyakit, bisa secara cepat mengelilingi dunia.

Adapun menghindari seseorang, hanya karena dia bertampang Asia, sebaliknya tidak menjamin perlindungan yang lebih baik. Karena virus Corona tidak membutuhkan visa untuk masuk dan menyebar di sebuah negara.

Adalah solidaritas yang dibutuhkan manusia saat ini. Sebelum kita mampu merekonstruksi kelahiran virus Corona, sikap saling menyalahkan, panik atau tindakan rasis terkait persepsi miring terhadap kebersihan warga Cina, sama sekali tidak menolong. Menurut pengetahuan saat ini, virus Corona tidak lebih berbahaya ketimbang gelombang flu yang biasa menghampiri Jerman setiap tahun.

Maka mari kita melampaui hambatan psikologis, mempelajari situasinya dengan kepala dingin dan bijak, serta menyimpulkan tindakan yang harus diambil. Karena tidak percuma Jerman berarti "De Guo" dalam bahasa Cina, yakni negeri moral.

rzn/gtp