1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Myanmar Sedang Berkembang Jadi 'Poros Kejahatan'

11 Agustus 2009

Aung San Suu Kyi divonis tiga tahun penjara dan kemudian diubah menjadi 18 bulan tahanan rumah. Dalam 20 tahun terakhir Suu Kyi menghabiskan 14 tahun dalam penjara atau tahanan rumah.

Grahame LucasFoto: DW

Dengan hukuman itu, penguasa militer di Yangon berhasil merintangi Aung San Suu Kyi berpartisipasi dalam pemilu tahun depan. Pemilu yang digelar junta militer atas desakan dunia internasional itu, akan merupakan pemilihan bebas pertama sejak tahun 1990. Ketika itu pemenangnya adalah Aung San Suu Kyi. Tetapi kudeta militer tidak memungkinkan Suu Kyi memegang jabatan pemerintahan. Guna mencegah kembalinya aktivis demokrasi itu ke ajang politik Myanmar, adalah tujuan dari proses pengadilan yang digelar. Pihak militer tentu menyadari, pemilu yang bebas dengan partisipasi Suu Kyi, kemungkinan besar akan berakhir dengan kemenangan pihak oposisi. Oleh sebab itu gugatan diajukan hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa tahanan rumah bagi penerima hadiah Nobel Perdamaian yang kini berusia 64 tahun. Gugatan dan perkara pengadilannya sendiri merupakan proses yang mengada-ada. Seorang warga Amerika yang tidak waras, merasa harus menyampaikan pesan dari Tuhan kepada Suu Kyi. Dia berhasil memasuki halaman rumah Suu Kyi dan dengan demikian melanggar peraturan larangan berhubungan dengan orang luar, yang diberlakukan. Pihak militer akhirnya punya alasan yang dicari sejak berbulan-bulan. Vonis "bersalah" dari pengadilan sudah ada sejak semula. Perubahan menjadi tahanan rumah hanyalah kosmetik belaka. Kiranya dunia barat tidak dapat menerimanya begitu saja.

Tapi masalahnya tidak hanya menyangkut Suu Kyi. Fakta bahwa pengadilan menjatuhkan hukuman kerja paksa selama tujuh tahun terhadap John Yettaw, pria Amerika yang memasuki rumah Suu Kyi, menunjukkan bahwa penguasa di Myanmar telah belajar dari Korea Utara. Pihak militer hendak menunjukkan, mereka tidak bersedia berkompromi dengan pihak barat, karena membahayakan kelanjutan kekuasaan mereka. Seperti halnya tahun 2007, ketika junta militer itu melanggar HAM dan menumpas pemberontakan para biksu Buddha dengan kekerasan. Begitu pula tahun 2008 ketika berbagai organisasi internasional dilarang memasuki Delta Irrawaddy setelah terjadinya badai topan Nargis. Ribuan orang tewas sis-sia. Dan sekarang, Washington meresahkan, bahwa sejak berbulan-bulan penguasa Myanmar itu mengembangkan keemampuan nuklir berkat bantuan Korea Utara. Menurut laporan surat kabar, dalam lima tahun Yangon dapat membuat bom atom. Sebagai konsekuensinya, India menghentikan sebuah kapal Korea Utara yang berlayar menuju Myanmar.

Jadi apa yang harus dilakukan menghadapi sikap tak kenal kompromi itu? Mengingat kemiskinan warga di Myanmar, tidak ada manfaatnya memberlakukan sanksi yang hanya membuat mereka semakin menderita. Dapatkah dunia barat berharap bahwa Cina sebagai mitra terdekat rejim militer itu menggerakkan mereka ke arah HAM dan demokrasi? Boleh dikatakan mustahil. Dapatkah negara-negara tetangga di kawasan itu membawa Myanmar keluar dari isolasi internasional? Kiranya ini merupakan suatu peluang, bila ASEAN memahami diri sebagai aliansi politik regional seperti halnya Uni Eropa. Jadi, dunia barat hanya bisa terus melancarkan protes. Tetapi dalam kasus Myanmar harus disadari, bahwa sarana politik internasional yang seperti biasanya tidak berfungsi. Dunia barat harus pula menyadari, bahwa secara perlahan-lahan Myanmar berkembang menjadi sebuah negara "poros kejahatan".

Grahame Lucas / Dewi Gunawan-Ladener
Editor: Renata Permadi