Tajuk: Penanganan Pilih Kasih Terhadap Pengungsi Irak
19 Maret 2009Sejak tahun 2002 Irak dilanda pertumpahan darah yang menyebabkan warganya melarikan diri atas dasar berbagai alasan. Misalnya kekuatiran akan keselamatan diri mereka, keputus-asaan atau karena sudah tidak punya apa-apa lagi. Jumlahnya berkisar pada 2,5 juta orang, dan mayoritasnya mengungsi ke Yordania atau Suriah. Sebagian berhasil mencapai Eropa. Di Uni Eropa, termasuk Jerman, mereka diterima untuk sementara. Kalau status mereka sebagai pemohon suaka tidak diakui, mereka terancam dideportasi. Sedangkan para pengungsi yang baru tiba Kamis (19/03) kemarin, langsung memperoleh ijin tinggal penuh, karena termasuk dalam kontingen pengungsi di bawah PBB. Keistimewaan lainnya, mereka berhak untuk belajar bahasa, memperoleh ijin kerja dan juga dampingan sosial dari gereja dan negara.
Menerima orang-orang yang memerlukan perlindungan, tentunya baik, dan Jerman membuktikan diri sebagai bangsa beradab. Bahwa yang diterima adalah warga kristen, tentunya hal yang lumrah saja. Di Irak mereka terutama menjadi korban pengejaran. Tetapi penanganan yang pilih kasih, tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kelompok yang satu beragama Kristen dan punya gereja sebagai pelindung, sedangkan yang lainnya ditelantarkan. Itu tidak fair.
Hak untuk memperoleh suaka harus berlaku bagi tiap orang, apakah dia beragama Islam, Kristen atau bahkan atheis sekali pun. Dengan menampung secara resmi warga Kristen Irak, Jerman menunjukkan solidaritas dan sikap mengasihi sesama. Tetapi adalah juga keyakinan dan norma-norma Kristen, untuk memberikan bantuan dan simpati kepada semua orang yang terancam keselamatannya, tanpa memperhatikan agama yang dianut, bila mereka mengetuk pintu. Dan dalam soal Irak, ketukan pintu itu memang beralasan.
Argumen, bahwa warga Syiah dan Sunni dapat diterima di wilayah Irak lainnya, tidak masuk akal. Mereka yang melarikan diri ke Eropa, punya alasan sendiri. Misalnya, sudah ada sanak keluarga atau teman yang tinggal di Eropa, atau karena kebuntuan yang dihadapi di negara asal.
Dalam kasus Irak, penanganan yang berbeda sulit dipahami, karena Jerman sejak semula melancarkan kritik terhadap perang Irak atas alasan moral yang kuat. Menurut ukuran moral itu, Jerman sepatutnya bukan hanya menerima 2.500 pengungsi, melainkan sepuluh kali lipat. Jumlah itu sama dengan 'manusia perahu - boat people' yang ditampung Jerman tahun 1980-an. Banyak di antara mereka juga bukan penganut agama Kristen, dan warga Jerman menunjukkan solidaritasnya. Di antara para pengungsi Irak, hanya 20 persen yang beragama Kristen. Dari jumlah itu pun hanya sebagian kecil saja yang hendak ditampung, yaitu sekitar 10.000 orang. Mungkin pada masa krisis ekonomi yang berkesinambungan sekarang ini, juga sulit untuk menerima lebih banyak pengungsi.
Tetapi yang sudah pasti harus dilakukan adalah menyamakan status hukum bagi semua pengungsi dari Irak. Tidak boleh ada pengungsi kelas satu dan kelas dua. Itu tidak boleh terjadi di sebuah negara hukum apalagi berdasarkan alasan agama. Justru karena warga Jerman adalah bagian dari norma-norma Kristen, hendaknya semua orang diperlakukan sama rata, tanpa memandang jenis kelamin, agama atau asal usulnya. Pemahaman itu harus berlaku pula bagi para pengungsi dari Irak. (dgl)