Tajuk: Ukraina dan Georgia Diminta Bersabar
4 April 2008Pertemuan puncak NATO yang diselenggarakan di Bukares, Rumania, merupakan tahapan yang penting bagi Georgia dan Ukraina yang mengupayakan keanggotaan penuh dalam pakta militer Barat itu. Mengingat harapan yang tinggi dari kedua negara, hasil pembicaraan mengenai soal itu dalam KTT di Bukarest dapat dilihat agak mengecewakan.
Suara-suara pesimis yang menentang hubungan segera dengan kedua negara yang merupakan jembatan ke Rusia itu, kini menang. Bahkan tekanan politik Presiden Amerika Serikat George W. Bush pun tampaknya tidak cukup untuk meloloskan Georgia dan Ukraina.
Pertemuan puncak NATO kali ini adalah yang terakhir bagi Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Tapi pada kesempatan ini, dia tidak menerima hadiah perpisahan, melainkan sebaliknya, Bush harus menelan kekalahan pahit. Dia gagal meloloskan keinginannya untuk menerima secepat mungkin Georgia dan Ukraina dalam rencana perluasan keanggotaan NATO yang merupakan tahap awal dalam proses penerimaan anggota baru pakta militer itu.
Sehari menjelang pertemuan puncak atau KTT NATO di Bukares, Presiden Bush telah merundingkan gagasan itu dengan pemerintah Ukraina di Kiev. Saat itu Bush menjanjikan dukungan sepenuhnya. Pada jumpa pers sebelum perundingan pada KTT NATO di Bukares dimulai, Bush bahkan kembali menegaskan niatnya untuk meloloskan Georgia dan Ukraina.
Tapi, bersamaan dengan itu, juga sudah terlihat jelas bahwa dia akan mendapat tantangan keras. Pada berbagai pidato berkalanya, sejak satu tahun ini Kanselir Jerman Angela Merkel menegaskan, dia belum dapat menyetujui penerimaan Georgia dan Ukraina. Meskipun tidak sejelas Jerman, tapi Prancis, Italia, Belgia, Luxemburg dan Belanda cukup tegas menyatakan keraguannya. Alasan yang diutarakan adalah bahwa Ukraina dan Georgia belum siap untuk itu.
Pemerintah Ukraina belum stabil. Mayoritas warganya dikenal pro-Rusia dan tidak menginginkan keanggotaan NATO. Hari Minggu (30/03) ribuan penentang NATO di Ukraina melakukan aksi unjuk rasa. Jika Ukraina dimasukkan dalam rencana perluasan keanggotaan, dikhawatirkan pemerintah Ukraina akan goyah akibat tekanan penentang NATO.
Apa yang kemudian akan dilakukan? Bersediakah NATO membuka pintu lebar-lebar dan kemudian langsung mendapat tamparan? Skenario semacam itu tidaklah diharapkan. Pada dasarnya memang tidak ada gunanya menerima anggota baru di NATO jika mayoritas penduduk menentang langkah tersebut.
Sedangkan alasan penolakan penerimaan segera Georgia terletak dalam permasalahan yang berlainan. Mayoritas warga Georgia menyetujui keanggotaan NATO, namun negara ini terlibat dalam konflik menyangkut wilayah Ossetia dan Abshasia yang ingin melepaskan diri. Selain itu, Presiden Mikhail Saakashwili makin lama makin bersikap otoriter. Dalam pemilu parlemen akhir tahun lalu dia dengan jelas menunjukkan sisi yang tidak demokratis. Juga dalam kasus ini patut dipertanyakan, mengapa NATO harus membuka pintunya bagi negara yang saat ini belum merupakan mitra demokratis yang stabil.
Bagi Jerman, masih ada satu lagi kekhawatiran lain, yakni Rusia. Melalui pergantian Presiden Vladimir Putin, Merkel hendak memperbaiki hubungan Jerman dan juga NATO dengan Rusia. Tapi, justru dengan alasan itu, Jerman rentan kena tuding.
Banyak pihak di Eropa Timur menilai bahwa Kanselir Jerman Angela Merkel terlalu banyak berkompromi dengan Rusia dan dengan begitu membuka peluang bagi Rusia untuk menggunakan hak veto atas kebijakan politik NATO. Tuduhan itu memang selalu disanggah keras oleh Merkel, tapi dampak negatifnya terasa. Dikhawatirkan bahwa sikap yang dilihat sebagai melindungi kepentingan Rusia itu dapat merupakan preseden. (cs)