Takjub dengan sulitnya meyakinkan orang-orang dengan fakta yang sangat gamblang dan keras sekalipun? Simak opini Geger Riyanto.
Iklan
Terkesima mengapa dengan pencapaian teknologi serta ilmu pengetahuan yang begitu menakjubkan kini kita justru terperosok ke era pasca-kebenaran? Jawabannya bukanlah orang-orang semakin dungu dan bebal. Jawabannya, kita memang tidak pernah secerdas yang gemar kita bayang-bayangkan.
Kapankah kita pernah benar-benar dituntut untuk berpengetahuan secara benar? Jangan katakan benar dahulu, mungkin. Katakan saja, setidaknya, berpengetahuan dengan mengindahkan fakta. Anda membuka gawai Anda—kegiatan yang kini paling kolosal menyita waktu umat manusia. Apa yang segera Anda lakukan adalah mencari pembenaran atau membenarkan orang lain.
Semua situs serta platform yang Anda kunjungi saat ini dirancang untuk memilihkan kepada Anda muatan, teman, atau jejaring yang paling menyenangkan Anda. Apakah di sana Anda diharapkan untuk menjadi benar? Tidak. Anda diharapkan untuk gembira—dan pada akhirnya menghabiskan waktu di sana. Anda diharapkan merasa menjadi seseorang dengan memperoleh acungan jempol dan menjadi bagian dari lingkaran pertemanan dengan menjempoli orang lain, namun, kita tahu, hoaks merambat secepat apikarena perlombaan ini.
Meski begitu, ini bukan fenomena yang baru-baru ini saja dilandakan kepada kita oleh media sosial. Media sosial mengapitalisasi watak kita berpengetahuan semaunya ini habis-habisan, memang. Ia menyekat-nyekat para penggunanya dalam lingkaran-lingkaran pembenaran diri. Akan tetapi, tanpa teknologi ini sekalipun, kita tetaplah makhluk yang lebih memilih membenarkan diri ketimbang mencari kebenaran, memuliakan diri ketimbang menggali kebenaran yang katanya mulia.
Dalam penelitian klasiknya, Leon Festinger, Henry Riecken, dan Stanley Schachter berkutat dengan satu sekte yang percaya bahwa mereka akan dijemput oleh makhluk ruang angkasa dengan piringan terbang. Ketika tiba waktunya piringan terbang diramalkan akan turun, tidak ada apa pun yang terjadi. Mereka sudah bersiap-siap. Mereka menanggalkan semua logam dari badan mereka, prosedur yang harus dilakukan agar aman menaiki piringan terbang, katanya, dan berbusana sehelai kain. Piringan terbang yang dinanti-nanti tidak datang. Namun, sang pemimpin dan anggota sekte tak serta-merta merasa kepercayaannya terbantahkan. Pada malam itu, mereka yakin, makhluk ruang angkasa penjaga mereka batal menjemput karena melihat para anggota sekte belum sepenuhnya siap.
6 Kabar Hoax yang Menyulut Perang
Ia bisa memicu konflik, menggulingkan pemerintahan dan memecah belah satu bangsa: kabar bohong alias Hoax sejak lama ikut menggerakkan sejarah peradaban manusia. Inilah kisahnya:
Foto: Fotolia
Fenomena Beracun
Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hakikatnya, berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita
Foto: Fotolia/svort
Oplah Berganda buat Hearst
Pada 1889 pengusaha AS William Hearst ingin agar AS mengobarkan perang terhadap Spanyol di Amerika Selatan. Untuk itu ia memanfaatkan surat kabarnya, Morning Journal, buat menyebar kabar bohong dan menyeret opini publik, antara lain tentang serdadu Spanyol yang menelanjangi perempuan AS. Hearst mengintip peluang bisnis. Karena sejak perang berkecamuk, oplah Morning Journal berlipat ganda
Kebohongan Memicu Perang Dunia
Awal September 1939, Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah "menembaki tentara Jerman pada pukul 05:45." Ia lalu bersumpah akan membalas dendam. Kebohongan yang memicu Perang Dunia II itu terungkap setelah ketahuan tentara Jerman sendiri yang membunuh pasukan perbatasan Polandia. Karena sejak 1938 Jerman sudah mempersiapkan pendudukan terhadap jirannya itu.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Kampanye Hitam McNamara
Kementerian Pertahanan AS mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964. Insiden di Teluk Tonkin itu mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum buat Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam. Tapi tahun 1995 bekas menhan AS, Robert McNamara, mengakui insiden tersebut adalah berita palsu.
Foto: NATIONAL ARCHIVES/AFP/Getty Images
Kesaksian Palsu Nariyah
Seorang remaja putri Kuwait, Nariyah, bersaksi di depan kongres AS pada 19.10.1990 tentang kebiadaban prajurit Irak yang membunuh puluhan balita. Kesaksian tersebut ikut menyulut Perang Teluk. Belakangan ketahuan Nariyah adalah putri duta besar Kuwait dan kesaksiannya merupakan bagian dari kampanye perusahaan iklan, Hill & Knowlton atas permintaan pemerintah Kuwait.
Foto: picture alliance/CPA Media
Operasi Tapal Besi
April 2000 pemerintah Bulgaria meneruskan laporan dinas rahasia Jerman tentang rencana pembersihan etnis ala Holocaust oleh Serbia terhadap etnis Albania dan Kosovo. Buktinya adalah citra udara dari lokasi kamp konsentrasi. Laporan tersebut menggerakkan NATO untuk melancarkan serangan udara terhadap Serbia. Rencana yang diberi kode "Operasi Tapal Besi" itu tidak pernah terbukti hingga kini.
Foto: Yugoslav Army/RL
Bukti Kosong Powell
Pada 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengklaim memiliki bukti kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak pada sebuah sidang Dewan Keamanan PBB. Meski tak mendapat mandat PBB, Presiden AS George W. Bush, akhirnya tetap menginvasi Irak buat meruntuhkan rejim Saddam Hussein. Hingga kini senjata biologi dan kimia yang diklaim dimiliki Irak tidak pernah ditemukan.
"Seseorang dengan keyakinan adalah seseorang yang sulit digoyahkan," tulis Festinger dan para koleganya dalam buku mereka, When Prophecy Fails. "Katakanlah kepadanya diajukan bukti yang gamblang dan tak terbantahkan bahwa keyakinannya keliru, apa yang akan terjadi? Ia acap bukan hanya bergeming tetapi bahkan lebih yakin dengan kebenaran dari keyakinannya ketimbang sebelum-sebelumnya."
Saya kira, pemandangan di atas, terlepas ia terjadi pada medio 1950-an di Illinois, Amerika Serikat, bukan pemandangan yang asing. Lia Eden, kalau Anda ingat baik-baik, pernah menggegerkan publik dengan menaksir pendaratan UFO di Monas. UFO, jelas, tidak pernah mendarat di Monas sampai dengan hari ini. Apakah Lia Eden merasa dirinya otoritas religius yang keliru karenanya? Tidak. Sama halnya dengan banyak otoritas religius, Anda tahu. Apakah terungkapnya fakta para agamawan idola berdusta, menipu, menindas hak warga lain akan melucuti darinya otoritasnya? Tidak. Yang salah, lantas, bukanlah sang sosok melainkan media pemberitanya—corong dari kaum penindas yang sebenarnya.
Diri kita dibangun dengan desain ganjil yang menyebabkan kita merasakan ketidaknyamanan tiada terkira bila terbukti salah di hadapan orang-orang. Anda dapat menyalahkan desain tidak sempurna ini sebagai alasan mengapa kita enggan berpengetahuan dengan benar. Namun, dalam buku The Enigma of Reason, Hugo Mercier dan Dan Sperber menghaturkan argumentasi lain yang juga masuk akal untuk menjelaskan kecenderungan kita tersebut. Apa yang memisahkan insan manusia dari makhluk lainnya bukanlah intelektualitas belaka melainkan kemampuan kerja sama. Kepiawaian mengevaluasi pengetahuan kelompok kita sendiri hanya akan menggoyang otoritas, hierarki, solidaritas, dan ujung-ujungnya kerja sama kita dengan insan lain. Kealpaan kita dengan keyakinan buta kita sendiri, artinya, berfaedah untuk kebersamaan yang dibutuhkan manusia untuk menyambung hidupnya.
Lantas, mengapa kita andal melucuti pengetahuan kelompok lain secara dingin, logis, dan menyeluruh? Karena kemampuan untuk menyerang yang lain, sebaliknya, justru akan mengasah rasa kebersamaan kita dengan yang lain.
Dan renik-renik kehidupan tribal ini boleh jadi tak pernah menampakkan dirinya lebih telanjang dibandingkan saat ini. Pembelaan-pembelaan diri dari kelompok lain, tak peduli betapapun janggal, mengada-ada, serta diimajinasikan belaka, bertebaran di mana-mana dengan bukti yang bisa kita raih semudah beberapa pijitan jari di gawai.
Bagaimana Media Sosial Ubah Otak Anda
Pernah merasa tidak bisa menyetop diri menggunakan media sosial? Media sosial memang asik dan disukai masyarakat luas. Tapi apa itu sehat buat otak Anda?
Foto: picture-alliance/dpa/S. Kahnert
Tidak Bisa Mengontrol Diri?
Menurut data yang dikumpulkan lembaga pendidikan TED (Technology, Entertainment, Desain) sepertiga penduduk dunia menggunakan media sosial. Lima sampai 10 persen pengguna internet menyatakan sulit mengontrol waktu saat menggunakan media sosial. Menurut hasil pemindaian otak, ada bagian otak yang alami gangguan, dan itu bagian yang sama seperti pada pengguna narkoba.
Foto: Imago/All Canada Photos
Menyebabkan Kecanduan
Bagian otak yang terganggu terutama yang mengontrol emosi, perhatian dan pengambilan keputusan. Orang merasa senang pada media sosial, karena segera memberikan "imbalan" tanpa perlu upaya besar. Oleh sebabnya itu otak ingin mendapat stimulasi makin banyak, dan akhirnya menyebabkan ketagihan. Seperti halnya ketagihan obat terlarang.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Tampak Seperti Multi-Tasking
Orang tampaknya mampu melaksanakan multi-tasking antara pekerjaan dan berkomunikasi dengan teman atau membaca berita terakhir dari teman lewat media sosial. Itu tampaknya saja. Semakin banyak menggunakan media sosial menyebabkan semakin kurangnya kemampuan otak untuk menyaring "gangguan" dan menyebabkan otak tidak mampu menempatkan informasi dalam ingatan.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Klose
Bergetar Atau Tidak?
Sejalan dengan penggunaan medsos lewat ponsel pintar, muncul fenomena baru "phantom vibration syndrome". Orang merasa ponsel bergetar, tapi sebenarnya tidak. Menurut sebuat studi, 89% dari pengikut riset rasakan ini, sedikitnya sekali dalam dua minggu. Tampaknya: otak menerima rasa gatal dan mengubahnya menjadi getaran yang dirasakan tubuh. Sepertinya teknologi mulai mengatur ulang sistem syaraf.
Foto: Getty Images/AFP/W. Zhao
Makin Terfokus pada Diri Sendiri
Media sosial juga menyebabkan otak makin banyak melepas Dopamin, yang sebabkan tubuh merasa senang. Menurut ilmuwan, pusat pemberian imbalan pada otak menunjukkan aktivitas lebih tinggi, jika orang bicarakan pandangan mereka, daripada jika mendengarkan pendapat orang. Itu tidak mengherankan. Tapi dalam interaksi langsung, hanya 30-40% isinya mengenai diri sendiri. Sementara dalam media sosial 80%.
Foto: imago/Westend61
Imbalan untuk Bicara Tentang Diri Sendiri
Semua bagian otak yang berkaitan dengan orgasme, motivasi, cinta terstimulasi hanya dengan menggunakan media sosial. Dan itu lebih besar lagi dampaknya, jika Anda menyadari bahwa Anda punya "penonton". Misalnya jumlah "likes" di Facebook atau jumlah "followers" di Twitter tinggi. Jadi tubuh memberikan imbalan sendiri kepada kita, hanya karena membicarakan tentang diri sendiri lewat internet.
Sebaliknya dampak positif juga ada. Menurut studi hubungan pacaran terhadap sejumlah pasangan, sebagian besar cenderung lebih saling suka, jika awalnya berkenalan lewat jalur maya. Dibanding jika kenal lewat interaksi langsung. Kemungkinan ini disebabkan karena orang lebih bisa anonim di dunia virtual, dan lebih punya kesempatan mengemukakan tujuan yang ingin dicapai dalam hidup.
Contohnya? Dari manakah Anda kira idiom Yahudi, Jesuit, Cina serta agen CIA-Mossad menyerbu alam pikiran kita? Dari ajakan Prabowo kepada para ulama dan aktivis Islam untuk membela rezim oligarki Suharto sewaktu ia mengumpulkan mereka untuk berbuka puasa pada 23 Januari 1998. Masuk akal? Tidak. Orang-orang tergugah? Saya tak dapat menjawabnya. Namun, bayangkan saja, dokumen yang mengungkap konspirasi pelengseran Suharto dibagikan Prabowo hari itu disusun oleh Institute for Policy Studies yang bekingannya pada masanya adalah petinggi-petinggi negara paling berpengaruh.
Dan saya berani menjamin, pembelaan-pembelaan semacam bukan hal yang akan jarang Anda temukan. Belum lagi, semua keruwetan ini kian pelik lantaran terpaut dengan manuver-manuver kekuasaan. Pihak-pihak yang mempertahankan maupun ingin menggantikan rezim membela kelompoknya dengan kebutaan yang manusiawi tersebut.
Para oposan pragmatis selalu mengiringi kritiknya dengan wasangka ganjil rezim tengah menindas umat Islam, manuver yang, kalau benar dilakukan negara, menunjukkan betapa bodohnya mereka dalam memanajemen kekuasaan. Orang-orang yang duduk di kekuasaan, sementara itu, acap menyamaratakan para pengkritiknya dengan PKI, yang jelas-jelas sudah dilucuti basisnya dalam salah satu pembantaian terbesar abad ke-20, dan kaum radikal yang tak ada bedanya dengan ISIS kendati jelas senjata hanya dipegang oleh aparat negara.
Maka, saya pun berani menjamin—dengan miris, tentunya—bahwa fakta tidak akan menjadi pandu kita berpengetahuan dalam waktu dekat. Titik temu dan pemecahan masalah secara faktual bukanlah animo dari proses politik kita melainkan sektarianisme, polarisasi, perpecahan. Kita, toh, tak pernah berpengetahuan dengan fakta. Kita berargumentasi dan merasa benar dengan keyakinan. Keyakinan yang mengangkat kita lebih unggul dibanding yang lain. Keyakinan yang menghindarkan diri kita dari penistaan-penistaan harga diri yang memalukan.
Tak apa pasca-kebenaran. Yang penting menggugah. Tak apa hoaks, yang penting membangun. Bukan begitu?
Penulis:
Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Untuk Apa Orang Gunakan Media Sosial?
Anda punya akun Facebook, Instagram, atau Twitter? Apa yang terutama Anda lakukan di media sosial? Institut peneliti pasar di Australia mengadakan riset bertema: untuk apa media sosial paling sering digunakan orang.
Foto: picture alliance/AP Photo/L.Sladky
Nomor 5: Memutus Hubungan
Dari 800 orang yang menjawab pertanyaan, 39% mengatakan, akan memutuskan hubungan secara "online". Memutus hubungan bukan hanya hubungan dengan pacar melainkan juga dengan "teman" di Facebook, yang akibat satu dan lain hal tidak disukai lagi.
Foto: Screenshot Facebook
Nomor 4: Membagi Foto Makanan
40% dari 800 orang yang ikut studi mengatakan kerap merasa ingin membuat foto makanan yang akan dimakan, dan menempatkannya di akun sosial media.
Foto: Astrid&Gastón
Nomor 3: Menempatkan Selfie
Membuat selfi rupanya disukai baik tua maupun muda, dan orang biasa maupun selebriti. Selain dinikmati sebagai foto biasa, foto-foto juga "di-share" di media sosial. Riset menunjukkan 45% menggunakan media sosial untuk membagikan foto dirinya sendiri.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Hase
Nomor 2: Membagi "Posting" Orang Lain
Aktivitas ini menduduki posisi kedua dalam rangkaian hal yang paling sering dilakukan orang di media sosial. Yang dibagi bisa foto-foto dari teman atau media. Tetapi juga artikel berita, dan video. Pada dasarnya orang membagi apa yang ingin ditunjukkan kepada "teman" di media sosial. 46% peserta riset menganggap ini alasan utama untuk menggunakan media sosial.
Nomor 1: Menonton Video
61% orang gunakan riset untuk melihat video yang dibuat pengguna media sosial lainnya. Misalnya video kesibukan anjing peliharaan, atau juga parodi musik. Foto: "Despacito" yang dinyanyikan Luis Fonsi dan Daddy Yankee. Menurut Universal Music Latin Entertainment Juli 2017 video resmi lagu ini ditonton 4,6 milyar kali setelah dirilis. Parodi lagu ini banyak tersebar di media sosial. Penulis: ml/hp