Tak Ingin Tarik Pasukan, Perang Armenia-Azerbaijan Berlanjut
5 Oktober 2020
Pejabat Armenia di wilayah sengketa, Nagorno-Karabakh, menuduh militer Azerbaijan menembakkan roket ke arah warga sipil. Presiden Azerbaijan menyebut perang tak akan berakhir hingga Armenia menarik mundur pasukannya.
Iklan
Otoritas Armenia menerbitkan sebuah rekaman video yang menunjukkan kerusakan hebat pada bangunan dan kendaraan pasca serangan. Serangan itu pertamakali dikabarkan Arayik Harutyunyan, pemimpin wilayah Artsakh yang dikuasai oleh separatis Kristen Armenia di Nagorno Karabakah, namun diakui milik Azerbaijan secara internasional.
Dia mengancam akan menyerang instalasi militer di kota-kota besar Azerbaijan dan memperingatkan orang-orang yang tinggal di sana bahwa mereka harus pergi "untuk menghindari kerugian yang tak terhindarkan".
Setelah pengumuman tersebut, Azerbaijan mengatakan pangkalan udara militer di kota Ganja diserang dan mengakibatkan satu orang tewas. Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengabarkan penggunaan artileri berat yang menyebabkan kebakaran di desa dan kota di wilayahnya, termasuk korban jiwa akibat serangan itu.
Kedua belah pihak saling menyalahkan atas pertempuran tersebut.
Rusia menyatakan keprihatinannya terkait banyaknya korban sipil akibat pertempuran yang terjadi di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh. Melalui sambungan telepon dengan rekan sejawatnya dari Armenia, Zohrab Mnatsakanyan, pada Minggu malam (04/10), Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mendesakkan gencatan senjata secepat mungkin.
Lobi damai juga dilancarkan Kanselir Jerman Angela Merkel yang menuntut pertempuran harus segera diakhiri. Pernyataannya itu disampaikannya melalui telepon dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan. Merkel juga menyatakan keprihatinannya terkait korban yang terus berjatuhan.
Mengenang 40 Tahun Perang Iran vs Irak
Perang Iran-Irak jadi salah satu konflik militer terkelam di Timur Tengah. Berlangsung delapan tahun menjadi saksi penggunaan senjata kimia, tewasnya ratusan ribu orang, serta mengubah wilayah dan situasi politik global.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Konflik teritorial
Pada 22 September 1980, diktator Irak Saddam Hussein mengirim pasukannya ke negara tetangga Iran. Ini jadi awal mula perang mematikan selama delapan tahun yang menewaskan ratusan ribu orang. Konflik perbatasan wilayah berlarut-larut jadi pemicu perselisihan dua negara mayoritas Muslim Syiah ini.
Foto: defapress
Perjanjian Aljazair
Lima tahun sebelumnya, pada Maret 1975, Saddam Hussein, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Irak, dan Raja Iran saat itu Shah Pahlevi menandatangani perjanjian di Aljazair, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Baghdad menuduh Teheran merencanakan serangan dan memutuskan mengevakuasi tiga pulau strategis di Selat Hormuz, yang diklaim milik Iran dan UEA.
Foto: Gemeinfrei
Sumber air
Pada 17 September 1980, Baghdad menyatakan Perjanjian Aljazair batal demi hukum dan menuntut kendali atas semua wilayah perbatasan Shatt al-Arab, sungai sepanjang 200 kilometer pertemuan sungai Tigris dan Sungai Efrat yang bermuara di Teluk Persia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. al-Jurani
Pemboman pelabuhan dan kota
Pasukan Irak meledakkan bandara Iran, termasuk yang ada di Teheran, serta fasilitas militer dan kilang minyak Iran. Pada pekan pertama pasukan Irak berhasil merebut kota Qasr-e Shirin dan Mehran, serta pelabuhan Khorramshahr di barat daya Iran, di mana posisi Sungai Shatt al-Arab bermuara.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Musuh bersama
Banyak negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Kuwait, mendukung Baghdad dalam perang melawan Iran. Hal ini didasari kekhawatiran atas perlawanan Syiah di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ayatollah Khomeini dalam Revolusi Iran. Negara-negara Barat juga mendukung Baghdad dan menjual senjata kepada Saddam Hussein.
Foto: Getty Images/Keystone
Dipukul mundur Iran
Serangan balik Iran mengejutkan Irak ketika Teheran berhasil menguasai kembali pelabuhan Khorramshahr. Baghdad mengumumkan gencatan senjata dan menarik kembali pasukannya, tetapi Teheran menolaknya dan terus membom kota-kota Irak. Sejak April 1984, kedua belah pihak terlibat dalam "perang kota", di mana sekitar 30 kota di kedua belah pihak dihujani serangan rudal.
Foto: picture-alliance/dpa/UPI
Penggunaan senjata kimia
Salah satu yang jadi sorotan dalamperang ini adalah penggunaan senjata kimia. Teheran pertama kali melontarkan tuduhan tahun 1984 - dikonfirmasi oleh PBB - dan juga pada tahun 1988. Juni 1987, pasukan Irak menjatuhkan gas beracun di kota Sardasht, Iran. Maret 1988, Iran mengklaim Baghdad menggunakan senjata kimia kepada penduduk sipilnya di kota Halabja di utara Irak yang dikuasai Iran.
Foto: Fred Ernst/AP/picture-alliance
Gencatan senjata
Pada 18 Juli 1988, Khomeini menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri perang. Meskipun jumlah pasti dari mereka yang tewas dalam perang tidak diketahui, sedikitnya 650.000 orang tewas dalam perang tersebut. Gencatan senjata diumumkan pada 20 Agustus 1988.
Foto: Sassan Moayedi
Lembaran baru
Penggulingan rezim Saddam Hussein oleh AS pada tahun 2003 membuka era baru di Timur Tengah. Hubungan antara Irak dan Iran telah membaik sejak saat itu dan kedua negara meningkatkan kerjasamanya dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. (Ed: rap/hp)
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Mohammed
9 foto1 | 9
Azerbaijan minta Armenia tarik mundur pasukan
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev pada Minggu (04/10) menuntut agar Armenia segera menetapkan jadwal untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitar Azeri.
Iklan
Azerbaijan bersikeras tidak akan menghentikan aksi militernya hingga Armenia menarik mundur pasukan.
Dalam pidato yang disiarkan stasiun televisi, Aliyev mengatakan pasukan di wilayah Azeri terus bergerak maju untuk merebut kembali tanah yang disengketakan. "Azerbaijan punya satu syarat, dan itu adalah pembebasan wilayah," katanya. "Nagorno-Karabakh adalah wilayah Azerbaijan. Kita harus kembali dan kita akan kembali," tegas Aliyev.
Pesan yang disampaikan Aliyev memperjelas bahwa Azerbaijan tidak akan menerima seruan untuk melakukan gencatan senjata seperti yang diinginkan Rusia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Sementara setelah pidato Aliyev, Pejabat dari Kementerian Pertahanan Armenia Artsrun Hovhannisyan mengatakan "Saya tidak berpikir ada risiko untuk Yerevan (ibu kota Armenia), tetapi bagaimanapun juga kita sedang berperang."