Kerap berbeda pandangan atau pendapat dengan kawan? Berbeda berarti lawan atau musuh? Perbedaan bukan tantangan, namun kesempatan untuk membangun pengertian. Sepakatkah Anda? Ikuti opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Indonesianis terkemuka asal Irlandia, Benedict "Ben” Anderson, menyatakan dalam buku terbaiknya, Imagined Communities (1983), bahwa sejatinya konsep kebangsaan dan nasionalisme adalah bentuk konstruksi pikir yang disetujui bersama-sama oleh massa, alias sebuah komunitas yang dibayangkan. Orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal memutuskan untuk merekayasa asa dan cita-cita bersama mereka ke dalam sebuah perangkat organisasi-birokrasi yang bernama negara. Ben terinspirasi dari pengamatan mendalamnya terhadap Indonesia, yang sebelum abad ke-20 masih merupakan fiksi, namun kini bertransformasi menjadi wadah ratusan juta orang mengabdikan hidupnya.
Konsep Indonesia berhasil menyingkirkan hegemoni ratusan tahun Belanda di nusantara dan politik imperialisme-kolonialisme yang menyangganya. Energi solidaritas orang-orang Indonesia menghantam telak segelintir tuan-tuan Belanda mereka pada perang 1945-1949, yang ditegaskan kembali selama periode 1960-an di Papua Barat, mengusir akar terakhir kuasa Belanda untuk selamanya. Apakah setelah itu Indonesia lantas menyambut masa gilang-gemilangnya?
Tidak. Konsep Indonesia terbukti kokoh melawan ancaman-ancaman eksternal, namun ragam interpretasi terhadapnya tidak selalu berakhir pada sebuah kesepemahaman. Di balik kegagahannya menyingkirkan kuasa asing, Indonesia keropos di dalamnya.
Revolusi Indonesia memang memakan anak kandungnya sendiri. Proklamasi kemerdekaan Indonesia seharusnya menjamin semua orang Indonesia berkedudukan sama rata di bawah Pancasila dan UUD 1945, namun momen kebebasan lantas, secara instan, menjadi alasan untuk melegitimasikan arogansi: satu kelompok merasa lebih berhak menyebut dirinya Indonesia dan menyangkal kelompok lainnya. Hasilnya, kekerasan, penjarahan, bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Orang-orang Tionghoa, Ambon, Manado, Indo-Belanda, dan kelompok aristokrat diamuk massa secara membabi buta. Alih-alih memandang masa depan bersama, musuh-musuh imajiner justru diciptakan untuk melampiaskan dendam.
Khayalan yang Meneror
Siapakah musuh-musuh imajiner tersebut? Mereka adalah label-label jahat yang disematkan secara serampangan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Misalnya, kepada orang-orang Tionghoa, yang dianggap pantas dirampok dengan alasan leluhurnya tidak lahir di tanah air yang sama dengan orang Indonesia kebanyakan. Atau pengucilan politik, sosial, dan ekonomi terhadap orang-orang Indonesia timur hanya karena mereka berbeda rupa, agama, dan tinggal jauh dari pusat pemerintahan di Pulau Jawa.
Hasilnya, label-label tersebut memicu aksi-aksi intimidasi, persekusi, dan intoleransi; yang bahkan terkadang ikut disponsori negara. Sebut saja keputusan Sukarno mengusir sekitar 50.000 orang Belanda dan Indo-Belanda dalam Peristiwa Sinterklas Hitam tahun 1957, karena mereka dianggap berpotensi membahayakan proyek konfrontasi Indonesia terhadap Belanda di Papua Barat. Akibatnya, kebudayaan Indo-Belanda yang khas tersebut lenyap beserta orang-orangnya.
Dengan 200 Foto Telanjang Melawan Rasisme dan Intoleransi
Fotografer Rumania Tiberiu Capudean membuat potret telanjang hitam-putih, menunjukkan kisah hidup dari lebih 200 pria gay dari berbagai bangsa.
Foto: Javier Santiago
J. - Penjaga toko,, Spanyol
"Saya dibesarkan di sebuah desa di Spanyol. Saya sering diganggu di sekolah. Ketika berusia sekitar 13 tahun, seorang anak lelaki yang lebih tua mendekati saya waktu saya sedang duduk di bangku dan membaca. Dia mengatakan 'Kamu kotor!' Dan dia menuangkan sebotol susu cokelat pada saya. Saya kaget, sementara orang-orang di sekitar saya tertawa dan menatap saya seolah-olah saya adalah monster. "
Foto: Tiberiu Capudean
A. - Perancang mode, Spanyol
"Saya bekerja di lingkungan yang sangat 'machista'. Meskipun tidak ada yang menindas saya secara pribadi, saya melihat apa yang terjadi pada orang gay yang lebih muda yang bekerja dengan saya. Apa arti 'maskulin'? "Apakah kita semua harus muda dan kuat? Apakah kita semua harus berotot? Apakah kita hanya objek seksual?"
Foto: Tiberiu Capudean
D. - Manajer IT, Belgia
"Waktu saya masih tinggal dengan orang tua, saya bekerja shift malam di toko roti lokal. Tiga hari setelah saya mengakui homoseksualitas saya kepada orang tua, di pagi hari Ibu masuk ke kamar saya. Dia kelihatan panik dan bertanya, "Kamu harus bilang siapa yang melakukan, ya?" Ternyata seseorang telah menulis kata 'homo' di kap mobil saya... Tapi saya anggap saja itu sebagai suatu kehormatan."
Foto: Tiberiu Capudean
D. - Manajer pemasaran, Italia
"Saya dari dulu sudah 'gendut.' Anak-anak di sekolah sering mengejek saya. Saya tumbuh di kota kecil di Italia dan tidak pernah menyatakan orientasi seksual saya. Pada usia 30, saya meninggalkan Italia dan pindah ke Perancis karena perspektif kehidupan gay lebih baik. "Saya pernah mengalami krisis dan merasa sangat kacau. Sekarang, saya mencoba menerima diri saya dan bahagia dengan badan saya."
Foto: Tiberiu Capudean
S. - Aktor, Perancis
"Di Eropa Timur, saya tinggal di apartemen seorang perempuan tua, di sebuah menara yang sudah kusam. Dia mengundang cucunya bertemu saya. Kami minum vodka, langsung dari botol. Dia mulai berbicara tentang apa arti keluarga dan bertanya, apa yang saya pikir tentang itu? 'Saya tidak tahu,' kata saya (berbohong). 'Saya tidak pernah benar-benar memikirkan mereka'.
Foto: Tiberiu Capudean
Tiberiu Capudean, fotografer Rumania dan aktivis LGBT
"Pria telanjang di foto-foto ini adalah aspek yang paling tidak penting. Tujuan saya adalah untuk menunjukkan bahwa keragaman adalah sesuatu yang normal, baik itu menyangkut orientasi seksual, bentuk tubuh, usia atau ras." (Teks: Lavinia Pitu/hp/ )
Foto: Javier Santiago
6 foto1 | 6
Contoh lainnya adalah kebijakan pemusnahan elemen-elemen kiri oleh Suharto yang mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya, termasuk individu-individu yang dituduh komunis secara sepihak, juga bagaimana mereka, beserta keluarganya, setelahnya dikebiri hak-haknya sebagai warga negara Indonesia.
Gus Dur mengatakan bahwa kematangan Indonesia sebagai sebuah bangsa dapat dilihat dari pendekatannya dalam menghadapi musuh-musuh imajinernya, yakni dengan bertendesi menyakiti atau berdialog secara bersahabat. Kematangan itu akan terbukti apabila yang disebut terakhir dipraktikkan dengan sungguh-sungguh. Sayangnya, pendekatan yang disebut pertama lebih sering ditemukan. Hal tersebut terlihat sepanjang tahun 2017 ini, ketika atmosfer politik Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 memicu ketegangan antar kelompok, terlebih ketika sang pemenangnya mengeluarkan pernyataan ambigu yang seakan ingin mempersembahkan kemenangannya untuk kelompok tertentu saja.
Isu-isu intoleransi di Indonesia yang paling berbahaya berakar pada masalah-masalah perbedaan etnis dan agama, yang lalu diperdalam oleh kecemburuan sosial, ekonomi, dan politik.
Kemiskinan nurani, logika, dan material menyebabkan kelompok intoleran lebih sigap berdialog dengan otot dan ancaman daripada otak yang jernih. Pengepungan gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta oleh massa anti-PKI pada September 2017 silam, dan ancaman-ancaman verbalnya seperti seruan-seruan ‘bunuh, bantai, bakar', kepada mereka yang terkepung, memperlihatkan bagaimana mudahnya sekelompok massa intoleran melakukan intimidasi dan persekusi secara sepihak.
Hal serupa juga terjadi belakangan ini ketika ruang publik seperti gelaran car free day Jakarta yang semestinya menjadi tempat orang-orang berolah raga atau sekedar melepaskan penat dari rutinitas sehari-hari lantas menjadi lahan bagi para simpatisan salah satu pembesar politik untuk mengolok-olok dan melecehkan simpatisan lainnya. Melihat bagaimana seorang simpatisan pro-Jokowi dikeroyok dan dilecehkan dengan kekasaran verbal maupun non-verbal oleh para simpatisan anti-Jokowi, terlebih ketika mereka melakukannya dengan tertawa dan senyum sumringah seakan tanpa dosa, rasanya terlihat begitu menjijikkan.
Belum lagi hal-hal seperti masalah tenaga kerja asing atau isu-isu bubarnya Indonesia di masa depan, yang sejatinya lebih terdengar sebagai upaya kelompok oposisi untuk menebar pesona dan mencari cela-cela pemerintah agar menarik perhatian rakyat, yang sayangnya tidak diikuti data-data valid, atau setidaknya argumentasi yang baik dan dapat diterima akal sehat. Karenanya, alih-alih kritik, mereka justru mengompori kelompok-kelompok persekusi yang melegalkan tabiat dan tindakan mereka melalui organisasi-organisasi masyarakat (ormas).
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)
Foto: Public Domain
10 foto1 | 10
Hasilnya, isu-isu yang berhembus tersebut tidak memicu perbaikan struktural yang benar-benar menyeluruh. Sebaliknya, malah menimbulkan teror di jalanan dan ruang-ruang publik, serta melestarikan benturan horizontal antar masyarakat. Jika sudah terjadi seperti itu, maka hasilnya adalah intoleransi yang kian meluas dan melumpuhkan sektor-sektor lain seperti politik, sosial, dan ekonomi.
Bagaimanakah solusinya? Bagi pemerintah, jawabannya adalah sebuah kontrol masyarakat tepat sasaran, dan transparan, yang berlandaskan hukum. Harus dicermati, bahwa kebijakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 oleh pemerintah sejatinya pisau bermata dua. Perppu tersebut memang ampuh untuk mengevaluasi organisasi-organisasi masyarakat agar sesuai Pancasila. Namun, apakah pemerintah dapat menjamin bahwa parameter dan kriteria evaluasinya akan adil, mengingat tafsir Pancasila begitu luas? Khawatirnya, Perppu itu disalahgunakan untuk hal-hal otoriter, atau bahkan mensponsori dan melegitimasi intoleransi sepihak dari pemerintah.
Memahami Dengan Toleransi
Orang-orang Indonesia harus paham bahwa perbedaan bukan tantangan, namun kesempatan untuk membangun pengertian. Ciri etnik dan kearifan lokal tidak boleh saling dipertentangkan, dan semangat beragama harus menghadirkan kesejukan bagi umat agama lainnya pula. Keberagaman adalah aset berharga bangsa Indonesia untuk bersaing dalam dunia global, bukannya menjadi inspirasi untuk menciptakan musuh-musuh imajiner di dalam negeri sendiri. Daripada menghadapi musuh-musuh imajiner, energi orang-orang Indonesia sebaiknya difokuskan untuk melawan dua musuh identik, yang juga seakan imajiner, tapi begitu nyata adanya: kebodohan dan kemiskinan.
Melerai seseorang dari musuh-musuh imajinernya, dan aksi-aksi intolerasi yang menyusulnya, bukanlah pekerjaan mudah. Pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kuncinya, walau memang upaya tersebut membutuhkan waktu lama.
Harapannya adalah untuk mencetak manusia-manusia Indonesia modern yang toleran; ditandai dengan mampu berpikir terbuka, bersaing sehat dalam tiap-tiap sektor kehidupan dengan sesama saudara sebangsanya, dan aktif untuk ikut menciptakan Indonesia sebagai "benevolent imagined communities”, komunitas yang dibayangkan dengan kebaikan hati dan toleransi, bukan "malevolent imagined communities”, komunitas yang dibayangkan dengan kedengkian dan intoleransi.
@RahadianRundjan
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
50 Tahun Lalu, Martin Luther King Jr. Ditembak Mati
Pegiat hak asasi Dr. Martin Luther King Jr. ditembak mati pada malam hari 4 April 1968 di Memphis. Kehidupannya menjadi inspirasi bagi banyak buku dan film, antara lain "I Am Not Your Negro", "Selma" dan “Boycott".
Foto: picture-alliance/AP Photo
Perkabungan dengan lagu-lagu pembebasan
Upacara perkabungan Martin Luther King Jr. di Morehouse College, Atlanta, Georgia, pada 9 September 1968 dihadiri lebih 100.000 orang. Massa menyanyikan lagu-lagu yang sering berkumandang dalam aksi-aksi pawai perdamaian. Pada acara kebaktian itu, sahabatnya Mahalia Jackson menyanyikan lagi "Take My Hand, Precious Lord".
Foto: Flip Schulke. Photo courtesy of UT Austin's Briscoe Center for American History
Acara keluarga di Ebenezer Baptist Church
Sebelumnya diadakan acara perkabungan kecil untuk keluarga di gereja baptis Ebenezer. Dalam foto terlihat istrinya, Coretta Scott King beserta anak-anak dan anggota keluarga lain. Setelah itu dilakukan pawai ke tempat upacara utama di Morehouse College, almamater Martin Luther King Jr, sekitar 3 kilometer dari gereja Ebenezer.
Foto: Flip Schulke. Photo courtesy of UT Austin's Briscoe Center for American History
Martin Luther King
Sebelum meninggal, Martin Luther King mengatakan dia "cukup realistis untuk menyadari" bahwa dia bisa saja tewas "dalam kekerasan". "Setiap hari saya hidup di bawah ancaman pembunuhan", katanya. Namun dia melanjutkan: "Aku tidak fokus pada panjangnya usia dan kuantitas kehidupanku, melainkan pada kualitas kehidupanku".
Foto: Flip Schulke. Photo courtesy of UT Austin's Briscoe Center for American History
"I Have A Dream"
Pidato paling terkenal dan menjadi ikon perjuangan diucapkan di Washington di hadapan lebih dari seperempat juga orang pada 28 AGustus 1963. "I have a Dream" disebut-sebut sebagai salah satu pidato paling inspiratif bagi perubahan sosial dalam sejarah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Perjuangan hak-hak kulit hitam
Martin Luther King dilahirkan 15 Januari 1929 dalam sebuah keluarga Protestan kulit hitam Amerika Serikat. Dia dengan cepat terlibat dalam gerakan perjuangan hak-hak kulit warga hitam. Dia mulai dikenal luas sejak memimpin apa yang disebut sebagai gerakan Boikot Bis Alabama pada tahun 1955. (Teks: Hendra Pasuhuk/yf)