1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Permusuhan Imajinatif dan Intoleransi

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
19 Juli 2018

Kerap berbeda pandangan atau pendapat dengan kawan? Berbeda berarti lawan atau musuh? Perbedaan bukan tantangan, namun kesempatan untuk membangun pengertian. Sepakatkah Anda? Ikuti opini Rahadian Rundjan.

Foto: Imago/photothek/L. Johannssen

Indonesianis terkemuka asal Irlandia, Benedict "Ben” Anderson, menyatakan dalam buku terbaiknya, Imagined Communities (1983), bahwa sejatinya konsep kebangsaan dan nasionalisme adalah bentuk konstruksi pikir yang disetujui bersama-sama oleh massa, alias sebuah komunitas yang dibayangkan. Orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal memutuskan untuk merekayasa asa dan cita-cita bersama mereka ke dalam sebuah perangkat organisasi-birokrasi yang bernama negara. Ben terinspirasi dari pengamatan mendalamnya terhadap Indonesia, yang sebelum abad ke-20 masih merupakan fiksi, namun kini bertransformasi menjadi wadah ratusan juta orang mengabdikan hidupnya.

Konsep Indonesia berhasil menyingkirkan hegemoni ratusan tahun Belanda di nusantara dan politik imperialisme-kolonialisme yang menyangganya. Energi solidaritas orang-orang Indonesia menghantam telak segelintir tuan-tuan Belanda mereka pada perang 1945-1949, yang ditegaskan kembali selama periode 1960-an di Papua Barat, mengusir akar terakhir kuasa Belanda untuk selamanya. Apakah setelah itu Indonesia lantas menyambut masa gilang-gemilangnya?

Tidak. Konsep Indonesia terbukti kokoh melawan ancaman-ancaman eksternal, namun ragam interpretasi terhadapnya tidak selalu berakhir pada sebuah kesepemahaman. Di balik kegagahannya menyingkirkan kuasa asing, Indonesia keropos di dalamnya.

Revolusi Indonesia memang memakan anak kandungnya sendiri. Proklamasi kemerdekaan Indonesia seharusnya menjamin semua orang Indonesia berkedudukan sama rata di bawah Pancasila dan UUD 1945, namun momen kebebasan lantas, secara instan, menjadi alasan untuk melegitimasikan arogansi: satu kelompok merasa lebih berhak menyebut dirinya Indonesia dan menyangkal kelompok lainnya. Hasilnya, kekerasan, penjarahan, bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Orang-orang Tionghoa, Ambon, Manado, Indo-Belanda, dan kelompok aristokrat diamuk massa secara membabi buta. Alih-alih memandang masa depan bersama, musuh-musuh imajiner justru diciptakan untuk melampiaskan dendam.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Khayalan yang Meneror

Siapakah musuh-musuh imajiner tersebut? Mereka adalah label-label jahat yang disematkan secara serampangan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Misalnya, kepada orang-orang Tionghoa, yang dianggap pantas dirampok dengan alasan leluhurnya tidak lahir di tanah air yang sama dengan orang Indonesia kebanyakan. Atau pengucilan politik, sosial, dan ekonomi terhadap orang-orang Indonesia timur hanya karena mereka berbeda rupa, agama, dan tinggal jauh dari pusat pemerintahan di Pulau Jawa.

Hasilnya, label-label tersebut memicu aksi-aksi intimidasi, persekusi, dan intoleransi; yang bahkan terkadang ikut disponsori negara. Sebut saja keputusan Sukarno mengusir sekitar 50.000 orang Belanda dan Indo-Belanda dalam Peristiwa Sinterklas Hitam tahun 1957, karena mereka dianggap berpotensi membahayakan proyek konfrontasi Indonesia terhadap Belanda di Papua Barat. Akibatnya, kebudayaan Indo-Belanda yang khas tersebut lenyap beserta orang-orangnya.

Contoh lainnya adalah kebijakan pemusnahan elemen-elemen kiri oleh Suharto yang mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya, termasuk individu-individu yang dituduh komunis secara sepihak, juga bagaimana mereka, beserta keluarganya, setelahnya dikebiri hak-haknya sebagai warga negara Indonesia.

Gus Dur mengatakan bahwa kematangan Indonesia sebagai sebuah bangsa dapat dilihat dari pendekatannya dalam menghadapi musuh-musuh imajinernya, yakni dengan bertendesi menyakiti atau berdialog secara bersahabat. Kematangan itu akan terbukti apabila yang disebut terakhir dipraktikkan dengan sungguh-sungguh. Sayangnya, pendekatan yang disebut pertama lebih sering ditemukan. Hal tersebut terlihat sepanjang tahun 2017 ini, ketika atmosfer politik Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 memicu ketegangan antar kelompok, terlebih ketika sang pemenangnya mengeluarkan pernyataan ambigu yang seakan ingin mempersembahkan kemenangannya untuk kelompok tertentu saja.

Isu-isu intoleransi di Indonesia yang paling berbahaya berakar pada masalah-masalah perbedaan etnis dan agama, yang lalu diperdalam oleh kecemburuan sosial, ekonomi, dan politik.

Kemiskinan nurani, logika, dan material menyebabkan kelompok intoleran lebih sigap berdialog dengan otot dan ancaman daripada otak yang jernih. Pengepungan gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta oleh massa anti-PKI pada September 2017 silam, dan ancaman-ancaman verbalnya seperti seruan-seruan ‘bunuh, bantai, bakar', kepada mereka yang terkepung, memperlihatkan bagaimana mudahnya sekelompok massa intoleran melakukan intimidasi dan persekusi secara sepihak.

Hal serupa juga terjadi belakangan ini ketika ruang publik seperti gelaran car free day Jakarta yang semestinya menjadi tempat orang-orang berolah raga atau sekedar melepaskan penat dari rutinitas sehari-hari lantas menjadi lahan bagi para simpatisan salah satu pembesar politik untuk mengolok-olok dan melecehkan simpatisan lainnya. Melihat bagaimana seorang simpatisan pro-Jokowi dikeroyok dan dilecehkan dengan kekasaran verbal maupun non-verbal oleh para simpatisan anti-Jokowi, terlebih ketika mereka melakukannya dengan tertawa dan senyum sumringah seakan tanpa dosa, rasanya terlihat begitu menjijikkan.

Belum lagi hal-hal seperti masalah tenaga kerja asing atau isu-isu bubarnya Indonesia di masa depan, yang sejatinya lebih terdengar sebagai upaya kelompok oposisi untuk menebar pesona dan mencari cela-cela pemerintah agar menarik perhatian rakyat, yang sayangnya tidak diikuti data-data valid, atau setidaknya argumentasi yang baik dan dapat diterima akal sehat. Karenanya, alih-alih kritik, mereka justru mengompori kelompok-kelompok persekusi yang melegalkan tabiat dan tindakan mereka melalui organisasi-organisasi masyarakat (ormas).

Hasilnya, isu-isu yang berhembus tersebut tidak memicu perbaikan struktural yang benar-benar menyeluruh. Sebaliknya, malah menimbulkan teror di jalanan dan ruang-ruang publik, serta melestarikan benturan horizontal antar masyarakat. Jika sudah terjadi seperti itu, maka hasilnya adalah intoleransi yang kian meluas dan melumpuhkan sektor-sektor lain seperti politik, sosial, dan ekonomi.

Bagaimanakah solusinya? Bagi pemerintah, jawabannya adalah sebuah kontrol masyarakat tepat sasaran, dan transparan, yang berlandaskan hukum. Harus dicermati, bahwa kebijakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 oleh pemerintah sejatinya pisau bermata dua. Perppu tersebut memang ampuh untuk mengevaluasi organisasi-organisasi masyarakat agar sesuai Pancasila. Namun, apakah pemerintah dapat menjamin bahwa parameter dan kriteria evaluasinya akan adil, mengingat tafsir Pancasila begitu luas? Khawatirnya, Perppu itu disalahgunakan untuk hal-hal otoriter, atau bahkan mensponsori dan melegitimasi intoleransi sepihak dari pemerintah.

Memahami Dengan Toleransi

Orang-orang Indonesia harus paham bahwa perbedaan bukan tantangan, namun kesempatan untuk membangun pengertian. Ciri etnik dan kearifan lokal tidak boleh saling dipertentangkan, dan semangat beragama harus menghadirkan kesejukan bagi umat agama lainnya pula. Keberagaman adalah aset berharga bangsa Indonesia untuk bersaing dalam dunia global, bukannya menjadi inspirasi untuk menciptakan musuh-musuh imajiner di dalam negeri sendiri. Daripada menghadapi musuh-musuh imajiner, energi orang-orang Indonesia sebaiknya difokuskan untuk melawan dua musuh identik, yang juga seakan imajiner, tapi begitu nyata adanya: kebodohan dan kemiskinan.

Melerai seseorang dari musuh-musuh imajinernya, dan aksi-aksi intolerasi yang menyusulnya, bukanlah pekerjaan mudah. Pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kuncinya, walau memang upaya tersebut membutuhkan waktu lama.

Harapannya adalah untuk mencetak manusia-manusia Indonesia modern yang toleran; ditandai dengan mampu berpikir terbuka, bersaing sehat dalam tiap-tiap sektor kehidupan dengan sesama saudara sebangsanya, dan aktif untuk ikut menciptakan Indonesia sebagai "benevolent imagined communities, komunitas yang dibayangkan dengan kebaikan hati dan toleransi, bukan "malevolent imagined communities”, komunitas yang dibayangkan dengan kedengkian dan intoleransi.

@RahadianRundjan

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis