Tak Lama Usai Membahas HAM dengan AS, Vietnam Tahan Aktivis
8 Oktober 2020
Vietnam menangkap seorang aktivis, beberapa jam setelah pemerintah mengadakan pembicaraan tahunan tentang hak asasi manusia (HAM) dengan Amerika Serikat, yang mengatakan mereka prihatin atas hak kebebasan berekspresi.
Iklan
Beberapa jam setelah dialog tahunan hak asasi manusia antara Amerika Serikat (AS) dan Vietnam berakhir, Pham Doan Trang, seorang penulis yang menerbitkan tulisan tentang hak asasi manusia dan dugaan kebrutalan polisi, ditangkap pada Selasa malam (06/10) di kota Ho Chi Minh.
Kementerian Keamanan Publik Vietnam melaporkan penangkapan terhadap Trang dikarenakan ia telah "membuat, menyimpan, menyebarkan informasi, materi dan produk yang bertujuan untuk melawan negara."
Meskipun terjadi reformasi ekonomi dan keterbukaan terhadap perubahan sosial, Partai Komunis Vietnam yang tengah berkuasa hanya mampu mentolerir sedikit kritik. Mereka juga telah bertindak lebih keras terhadap para aktivis menjelang kongres partai utama pada Januari 2021.
"Kami mendesak pemerintah Vietnam untuk memastikan tindakan dan hukum yang konsisten, sejalan dengan kewajiban dan komitmen internasional Vietnam," kata juru bicara Rachael Chen.
Kembalikan Wiji Thukul
Hingga kini ia tak diketahui rimbanya. Wiji Thukul, sastrawan yang giat menyuarakan kaum tertindas, hilang ketika penculikan terhadap para aktivis terjadi antara 1996-1998. Yaitu menjelang runtuhnya Orde Baru.
Foto: Wahyu Susilo
Mencintai puisi sejak kecil
Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan rezim Orde Baru ini lahir di Solo, 26 Agustus 1963. Ia mencintai puisi sejak kecil. Anak tukang becak ini menjadi buruh plitur, ngamen puisi dan mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya.
Foto: Wahyu Susilo
Menyuarakan orang pinggiran
Di tengah kesulitan keuangan ia tetap giat menelurkan karya-karya puisi dan berteater di Sarang Teater Jagat. Ia juga mengajar anak-anak kecil melukis di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang kecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat JAKKER.
Foto: Wahyu Susilo
Dengan puisi melawan penindasan
Foto ini diambil ketika Wiji Thukul latihan teater di Sarang Teater Jagat, Jagalan, Solo tahun 1987. Salah satu petikan puisi Wiji berjudul PENYAIR: " Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding.. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!"
Foto: Wahyu Susilo
Dianiaya ketika membela kaum tertindas
1992 ia memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. 1994 dalam aksi petanidi Ngawi, Jawa Timur, Thukul dipukuli tentara. Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) selalu mendukung perjuangan suaminya.
Foto: Wahyu Susilo
Tanpa jejak
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Di masa itu ia tetap berkarya. Pada masa tersebut sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa, termasuk Thukul. Sekitar bulan Maret-April 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Tuduhan ia menyulut kerusuhan dlam peristiwa 27 Juli 1996 tak pernah terbukti.
Foto: Wahyu Susilo
Puisinya tetap abadi
Sajak-sajak Wiji Thukul populer di kalangan aksi massa. Di antaranya: Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok. Tanpa henti, puisinya selalu menggambarkan perjuangan kaum tertindas. Kumpulan puisinya dibukukan. Puisi nyanyian akar rumput melambangkan dendang para rakyat yang tidak terima dengan perlakuan pemerintahan yang tirani.
Foto: Wahyu Susilo
Keabadian dalam Sajak
Apa Guna: “Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah Kongkalikong dengan kaum cukong” (Wiji Thukul) Gambar: wijithukul.tk/BarisanPengingat
Foto: Barisan Pengingat / Wahyu Susilo
Janji Jokowi
Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo menyatakan, baik hidup atau meninggal dunia, kejelasan nasib Wiji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam kunjungannya ke Eropa, April 2016, Jokowi berujar, pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1988.
Foto: DW/R.Nugraha
Perjuangan tiada akhir
Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) tak kenal lelah mencari keadilan, setelaah suaminya dihilangkan secara paksa. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah. Hingga kini Sipon, keluarga dan kawan-kawannya masih terus berjuang mencarinya. Kembalikan Wiji Thukul.
Salah seorang sumber mengatakan Trang telah mengantisipasi kejadian ini, beberapa hari sebelum ia ditangkap. "Saya mengobrol lama dengannya pada hari Minggu dan ia tampak sangat gugup," kata sumber yang tidak ingin identitasnya diketahui.
Sebelumnya pada tahun 2014, jelang kunjungan mantan Presiden AS Barack Obama ke Vietnam, Trang bersama beberapa aktivis lainnya ditangkap oleh pihak berwenang.
Trang pernah membagikan sepucuk surat berjudul "berjaga-jaga jika saya dipenjara" tertanggal Mei 2019, yang menguraikan tujuan demokrasi yang ingin ia capai. Trang juga meminta agar ia diizinkan untuk membawa gitarnya ke penjara.