Taliban: Pemimpin Jaringan Teroris Haqqani Meninggal
4 September 2018
Pemimpin kelompok jaringan teroris Haqqani, Jalaluddin Haqqani, dinyatakan meninggal dunia setelah mengidap penyakit berat. Haqqani adalah pemimpin salah satu faksi militer paling kuat yang beroperasi di Afghanistan.
Iklan
Sebuah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Taliban mengatakan jika Haqqani meninggal setelah lama menderita sakit.
"Sama seperti ketika dia menghadapi kesulitan besar untuk agama Allah pada waktu muda dan sehatnya, dia juga menderita penyakit yang panjang pada tahun-tahun terakhirnya," demikian jaringan Taliban mengumumkan.
Namun pernyataan itu tidak mengungkapkan waktu atau tanggal tepat kematian Haqqani.
Pada 2015 media telah melaporkan kematian Haqqani, tetapi Taliban dan anggota keluarga menolak kabar tersebut.
Sebelumnya kelompok militan Afghanistan memang memiliki sejarah dalam menutupi informasi terkait kematian para pemimpin mereka.
Contohnya seperti pada kasus kematian komandan tertinggi Taliban, Mohammed Omar, yang dirahasiakan selama dua tahun.
Haqqani mendirikan jaringan pemberontak tahun 1970-an. Selama dekade berikutnya kelompok ini terkenal sebagai kelompok gerilya anti-Soviet yang didukung oleh Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) dalam Perang Soviet-Afganistan.
Caranya memimpin pasukan mujahidin melawan Uni Soviet mendapat perhatian khusus dari CIA dan bahkan membuatnya mendapat kunjungan dari anggota kongres AS Charlie Wilson.
Dari sekutu AS jadi pemimpin teroris
Namun setelah perang dengan Uni Soviet berakhir, Haqaani dan jaringannya terus bersekutu dengan Taliban yang merupakan gerakan politik Islam Sunni di Afghanistan.
Jaringan ini juga membina hubungan erat dengan para jihadis Arab lainnya seperti Osama bin Laden. Haqqani kemudian diangkat sebagai menteri Taliban.
Kelompok Teror Paling Mematikan
Ribuan nyawa melayang akibat terorisme 2015 silam. Sejumlah kelompok tercatat paling getol melumat nyawa warga sipil. Ironisnya Islamic State bukan yang paling mematikan, menurut Global Terrorism Index .
Foto: Getty Images/AFP/I. Lieman
1. Boko Haram
Bukan ISIS, melainkan Boko Haram yang menempati urutan teratas dalam daftar kelompok teror paling mematikan di dunia. Sepanjang tahun 2014, kelompok pimpinan Abu Bakar Shekau ini telah menewaskan sedikitnya 6.644 orang dan melukai 1.742 lain, kebanyakan adalah warga sipil.
Foto: picture-alliance/AP Photo/S.Alamba
2. Islamic State
Kendati mencatat jumlah korban yang lebih rendah ketimbang Boko Haram, Islamic State tetap dianggap ancaman terbesar buat keamanan dunia. Tahun 2015 lalu ISIS menewaskan 6.073 orang dan melukai 5.799 lainnya lewat 1.071 serangan teror. Eropa, Suriah, Irak dan Turki adalah target favorit kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi ini
Foto: picture-alliance/dpa
3. Taliban
Dibentuk dalam perang saudara di Afghanistan, 1994 silam, Taliban telah terlibat dalam berbagai konflik di kawasan dan tercatat sebagai kelompok teror paling berpengalaman di dunia. Tahun 2015 silam Taliban membunuh sebanyak 3.477 orang dan melukai 3.310 dalam 891 serangan teror. Kini organisasi pimpinan Hibatullah Akhundzada ini sedang mencoba merebut kembali kekuasaan di Kabul.
Foto: picture-alliance/dpa/Noorullah Shirzada
4. Militan Fulani
Tidak banyak yang diketahui tentang kelompok bersenjata yang kebanyakan terdiri atas pengembala nomaden etnis Fula ini. Aktif di Nigeria, kelompok militan Fulani sering membidik warga sipil pemilik lahan. Tahun 2015 silam grup ini melakukan lebih dari 150 serangan teror yang menewaskan 1.229 orang.
Foto: Getty Images/AFP/I. Lieman
5. Al-Shabbab
Jika Boko Haram berafiliasi dengan Islamic State, Al-Shabbab merujuk pada Al-Qaida. Kelompok teror yang aktif di timur Afrika ini berambisi membentuk negara Islam di Somalia. Untuk itu al-Shabbab tahun lalu melanarkan 496 serangan teror yang membunuh 1.021 orang dan melukai setidaknya 850 lainnya.
Foto: A. Ohanesian
5 foto1 | 5
Setelah invasi AS ke Afghanistan dan penggulingan Taliban pada 2001, jaringan Haqqani menjadi terkenal karena melakukan serangan yang terorganisir dengan baik terhadap pasukan Afghanistan dan Amerika, serta warga sipil.
Kelompok itu baru-baru ini dituduh melakukan serangan bom truk pada Mei 2017 di pusat kota Kabul yang menewaskan 150 orang, meskipun anggotanya menyangkal terlibat pada kejadian itu.
Jaringan Haqqani juga melakukan penculikan terhadap orang asing seperti warga negara Kanada Joshua Boyle beserta istrinya yang berkewarganegaraan AS, Caitlan Coleman, dan ketiga anak mereka yang semuanya lahir selama masa penculikan. Mereka akhirnya dibebaskan tahun lalu.
AS menyatakan jaringan Haqqani sebagai organisasi teroris pada tahun 2012, sementara Pakistan melarang jaringan Haqqani yang beraliansi dengan Taliban-Pakistan.
Pejabat Amerika dan Afghanistan menuduh jaringan itu beroperasi dengan dukungan dari dinas intelijen Pakistan. Tuduhan ini ditolak oleh Islamabad.
Haqqani menyerahkan kendali kelompok itu beberapa waktu lalu kepada putranya, Sirajuddin Haqqani, yang kini juga menjabat sebagai wakil pemimpin Taliban Afghanistan.
Kelompok-kelompok ini saat ini berbasis di Waziristan wilayah utara Pakistan.
Kebangkitan Taliban Bayangi Afghanistan
Enam belas tahun setelah invasi AS, Afghanistan kembali tenggelam dalam jerat terorisme kelompok Islam. Serangkaian serangan teror baru-baru ini semakin memperkuat pengaruh Taliban dan ISIS.
Foto: picture alliance/Photoshot
Stabilitas Yang Rapuh
Rangkaian serangan teror di Afghanistan selama beberapa bulan terakhir menempatkan negeri tersebut dalam posisi pelik dan menggarisbawahi kegagalan pemerintah memperbaiki kondisi keamanan pasca penarikan mundur pasukan perdamaian internasional.
Foto: Reuters/M. Ismail
Kampanye Tanpa Hasil
Serangan tersebut juga menjadi catatan muram kampanye militer Amerika Serikat selama 16 tahun di Afghanistan. Meski serangan udara terhadap Taliban meningkat tiga kali lipat selama 2017, kelompok teror tersebut mampu menggandakan kekuasaannya dan kini aktif di 70% wilayah Afghanistan. Islamic State yang terusir dari Suriah mulai giat menebar teror di negeri tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Hossaini
Darah di Musim Semi
Pekan lalu Taliban mendeklarasikan dimulainya serangan musim semi yang sekaligus menampik tawaran perdamaian dari Presiden Ashraf Ghani. Kaum militan itu beralasan meningkatnya intensitas kampanye bersenjata adalah reaksi terhadap strategi militer AS yang lebih agresif. Pentagon ingin mendesak Taliban agar menerima perundingan damai dengan meningkatkan serangan udara.
Foto: Reuters
Janji Donald Trump
Tahun lalu Presiden AS Donald Trump mengumumkan strategi baru dengan menambah jumlah pasukan untuk melatih militer Afghanistan. Saat ini sekitar 11.000 pasukan AS bertugas sebagai pelatih atau konsultan keamanan. Trump juga berjanji akan membantu Afghanistan memerangi Taliban dan mempertahankan keberadaan pasukan AS selama dibutuhkan.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
Damai yang "Konspiratif"
Meski mendapat tawaran perundingan damai "tak bersyarat" dari Presiden Ghani Februari silam, Taliban tetap bergeming dan malah menyebut upaya perdamaian sebagai "konspirasi." Pengamat meyakini kelompok teror tersebut tidak akan bersedia mengikuti perundingan damai selama mereka masih lemah. Wilayah kekuasaan Taliban saat ini jauh lebih besar ketimbang sebelum berkecamuknya perang 2001 silam.
Foto: Getty Images/AFP/N. Shirzad
Sikap Ambigu Pakistan
Pakistan mendapat tekanan dari Kabul dan Washington agar tidak lagi melindungi militan dari Afghanistan. Islamabad sejauh ini menepis tudingan tersebut dan mengklaim pengaruhnya di wilayah perbatasan telah banyak berkurang. Situasi tersebut menambah ketegangan antara Pakistan dan Afghanistan.
Foto: DW/H. Hamraz
Nasib Bangsa di Tangan Penguasa Daerah
Selain Taliban, penguasa daerah alias warlords memiliki pengaruh besar di Afghanistan. Tahun lalu, pemimpin Hizb-i-Islami Gulbuddin Hekmatyar kembali ke arena politik di Kabul setelah masa pengasingan selama 20 tahun. Kembalinya Hekmatyar adalah berkat perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan yang ditandatangani pada September 2016. Langkahnya diharapkan dicontoh oleh warlords lain.
Foto: Reuters/O.Sobhani
Sikap Galau Asraf Ghani
Di tengah konflik kekuasaan tersebut, popularitas Presiden Ghani terus menyusut di mata penduduk. Maraknya korupsi dan cekcok tanpa henti di tubuh pemerintah mempersulit upaya Afghanistan menanggulangi terorisme. Terkait serangan Taliban, Ghani mengatakan kelompok teror tersebut "sudah melampaui batas," meski tetap membuka pintu perundingan damai.