Pemerintahan Taliban mendesak AS membatalkan rencana Presiden Joe Biden membagi aset Afganistan untuk membayar kompensasi bagi korban serangan teror 9/11. Kebijakan itu diklaim akan mengundang konsekuensi serius
Iklan
Afganistan akan terpaksa mengkaji ulang kebijakannya terhadap Amerika Serikat, kecuali Washington membatalkan kebijakan kontroversial tersebut, kata wakil juru bicata Taliban, Inamullah Samangani, Senin (14/2).
Pekan lalu, Presiden Joe Biden memutuskan akan membagi aset pemerintahan lama Afganistan sebesar USD 7 miliar. Nantinya separuh dari uangnya akan digunakan sebagai bantuan kemanusiaan bagi warga Afganistan, sisanya digunakan untuk membayar dana kompensasi bagi keluarga korban serangan teror 11 September 2001 di New York.
Aset tersebut sangat dibutuhkan untuk mencegah bencana kelaparan yang mengintai Afganistan. Keputusan Biden mendulang kecaman tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga oleh Taliban yang menyebut langkah tersebut sebagai sebuah "pencurian” dan membuktikan "kemerosotan moral” di AS.
Manzur Kargar: Kebebasan Artistik Yang Terkekang di Afghanistan
03:56
"Serangan teror 9/11 sama sekali tidak ada hubungannya dengan Afganistan,” kata Samangani seperti dilansir AP. "Setiap bentuk penyalahgunaan aset bangsa Afganistan dengan dalih insiden ini adalah pelanggaran perjanjian yang dibuat dengan Emirat Islam Afganistan,” tulisnya dalam keterangan pers.
"Jika Amerika Serikat tidak mengubah sikapnya dan terus melakukan aksi-aksi provokatif, maka Emirat Islam akan terpaksa mengkaji ulang kebijakannya terhadap negara tersebut.”
Iklan
Tiga isu saling dipertentangkan
Keputusan Biden awalnya dibuat untuk menjawab ancaman tragedi kemanusiaan di Afganistan, tekanan Taliban untuk pengakuan diplomatik dan dorongan keluarga korban 9/11 untuk mencari keadilan.
Adapun aset milik Afganistan kebanyakan berasal dari aliran bantuan luar negeri untuk pemerintahan lama yang kini telah digantikan Taliban. Sebabnya sejak tahun lalu, dana tersebut diparkir di brankas milik Bank Sentral di New York.
Afganistan: Perubahan Keseharian di Bawah Kekuasaan Taliban
Terlepas dari semua drama seputar pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di Afganistan, kehidupan sehari-hari terus berlanjut. Namun kehidupan sehari-hari itu telah berubah drastis, terutama bagi kaum perempuan.
Foto: WANA NEWS AGENCY/REUTERS
Dunianya laki-laki
Foto dan video yang muncul dari Afganistan menunjukkan kembalinya aktivitas di jalanan perkotaan, seperti restoran di Herat ini yang sudah menerima pelanggan lagi. Tapi ada satu perbedaan mencolok dari sebelumnya: di meja hanya ada laki-laki saja, sering kali mengenakan pakaian kurta tradisional, tunik selutut. Perempuan di ruang publik menjadi hal langka di perkotaan.
Foto: WANA NEWS AGENCY/REUTERS
Harus terpisah
Di sebuah universitas swasta di Kabul. Ada tirai yang memisahkan mahasiswanya. Pemisahan antara perempuan dan laki-laki ini sekarang menjadi kebijakan resmi dan kemungkinan akan terus menyebar. "Pembelajaran campur, lelaki-perempuan, bertentangan dengan prinsip Islam, nilai-nilai nasional, adat dan tradisi," kata Abdul Baghi Hakkani, Menteri Pendidikan Taliban di Kabul.
Foto: AAMIR QURESHI AFP via Getty Images
Kebebasan yang hilang
Seperti para perempuan ini yang sedang dalam perjalanan mereka ke masjid di Herat, setelah 20 tahun pasukan sekutu memerangi Taliban, kebebasan yang dulu didapatkan perempuan dengan cepat terhapus. Bahkan olahraga akan dilarang untuk pemain perempuan, kata Ahmadullah Wasik, wakil kepala Komisi Kebudayaan Taliban.
Foto: WANA NEWS AGENCY/REUTERS
Pos pemeriksaan di mana-mana
Pemandangan di jalan juga didominasi oleh pos pemeriksaan Taliban. Ketika orang-orang bersenjata berat mengintimidasi warga, warga berusaha keras untuk berbaur. Pakaian gaya Barat menjadi semakin langka dan pemandangan tentara bersenjata lengkap semakin umum.
Foto: Haroon Sabawoon/AA/picture alliance
Menunggu pekerjaan
Di Kabul, buruh harian laki-laki duduk di pinggir jalan, menunggu tawaran pekerjaan. Afganistan, yang sudah berada dalam situasi ekonomi yang genting bahkan sebelum pengambilalihan Taliban, sekarang terancam "kemiskinan universal" dalam waktu satu tahun, menurut PBB. 98% warganya tahun depan akan hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan 72% pada saat ini.
Foto: Bernat Armangue/dpa/picture alliance
Tetap mencoba melawan
Perempuan Afganistan, meskipun ditindas secara brutal, terus menuntut hak mereka atas pendidikan, pekerjaan, dan persamaan hak. Namun PBB memperingatkan bahwa protes damai juga disambut dengan kekerasan yang meningkat. Para Islamis militan menggunakan pentungan, cambuk dan peluru tajam membubarkan aksi protes. Setidaknya empat orang tewas dan banyak lainnya yang cedera.
Foto: REUTERS
Ada juga perempuan yang 'pro' Taliban
Perempuan-perempuan ini, di sisi lain, mengatakan mereka senang dengan orde baru. Dikawal oleh aparat keamanan, mereka berbaris di jalan-jalan mengklaim kepuasan penuh dengan sikap dan perilaku Taliban, dan mengatakan bahwa mereka yang melarikan diri dari negara itu tidak mewakili semua perempuan. Mereka percaya bahwa aturan Islam menjamin keselamatan mereka.
Foto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images
Menyelaraskan arah
Demonstrasi pro-Taliban termasuk undangan bagi wartawan, berbeda dengan protes anti-Taliban. Yang terakhir, wartawan melaporkan mereka telah diintimidasi atau bahkan dilecehkan. Ini adalah tanda yang jelas dari perubahan di bawah Taliban, terutama bagi perempuan. (kp/hp)
Foto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images
8 foto1 | 8
Taliban mengklaim berhak atas aset tersebut karena berstatus sebagai pewaris resmi pemerintahan lama Afganistan.
Namun menyusul krisis ekonomi dan ancaman bencana kelaparan, Washington mencari cara untuk menyalukan dana sebesar USD 3,5 miliar langsung kepada warga Afganistan, tanpa melalui Taliban. Biden dikritik karena menempatkan isu kemanusiaan di Afganistan berkonflik dengan isu keadilan bagi korban serangan 9/11.
Keluarga korban serangan 9/11 hingga kini masih memperjuangkan dana kompensasi dari Al-Qaeda dan pihak lain yang bertanggungjawab. Dalam gugatannya, mereka memenangkan putusan pengadilan yang menyebut Taliban ikut bertanggungjawab karena menampung al-Qaida di wilayahnya.
Dengan keputusan Biden, keluarga korban punya kesempatan melayangkan gugatan untuk mengakses aset Afganistan yang dibekukan. Bagi Taliban, hal ini akan "merusak hubungan AS dengan bangsa Afganistan.”
"Bebaskan harta Afganistan tanpa syarat!” lanjut Taliban dalam keterangan persnya.