1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Taliban Semakin Bungkam Perempuan Afganistan Lewat UU Baru

28 Agustus 2024

Taliban mengumumkan UU baru yang semakin membungkam perempuan dan anak perempuan di Afganistan. Suara perempuan juga termasuk yang baru-baru ini dilarang di publik oleh rezim Taliban.

Tiga perempuan Afganistan mengenakan penutup tubuh
Tiga perempuan Afganistan mengenakan penutup tubuhFoto: Anja Niedringhaus/AP Photo/picture alliance

Pemerintahan Taliban di Afganistan pada minggu lalu memberlakukan serangkaian pembatasan baru, berupaya mengendalikan kehidupan, perilaku, dan interaksi sosial masyarakat.

Undang-undang baru tersebut sangat memberangus kebebasan perempuan dan anak perempuan Afghanistan. Menurut UU ini, perempuan harus menyembunyikan tidak hanya wajah dan tubuh, tetapi juga suara mereka Ketika berada di luar rumah.

Dengan demikian, undang-undang tersebut memperluas kendali kelompok fundamentalis Islam atas kehidupan pribadi warga Afganistan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mengecam keras aturan terbaru ini.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Roza Otunbayeva, kepala misi PBB di Afganistan, mengatakan undang-undang tersebut memberikan "visi yang menyedihkan" bagi masa depan Afghanistan dan memperluas pembatasan yang sudah tidak dapat ditoleransi terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan. "Bahkan suara perempuan" di luar rumah dianggap sebagai pelanggaran moral.

Menolak tumbuhkan jenggot? Pecat!

Ketentuan baru tersebut juga memengaruhi kaum pria, karena mencakup aturan tentang pakaian pria dan panjang janggut.

Lebih lanjut, mereka juga melarang homoseksualitas, adu binatang, perayaan budaya, bermain musik di tempat umum dan hari raya keagamaan selain Islam. Dilarang juga penggunaan kembang api, dan lain sebagainya.

Abbasi menunjukkan bahwa Kementerian Pencegahan Kejahatan dan Penyebaran Kebajikan milik Taliban memiliki kekuasaan dan impunitas yang sangat besar.

Pada bulan ini, kementerian tersebut mengatakan telah memecat lebih dari 280 personel keamanan dalam setahun terakhir karena tidak menumbuhkan jenggot. Kementerian juga menahan lebih dari 13.000 orang karena "tindakan tidak bermoral," sesuai dengan interpretasi mereka terhadap Syariah, atau hukum Islam.

Taliban lenyapkan perempuan dari kehidupan publik

Sejak merebut kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban seolah menghapus kemajuan hak-hak perempuan yang telah dicapai dalam dua dekade sebelumnya. Mereka melenyapkan perempuan dan anak perempuan dari hampir semua bidang kehidupan publik.

Anak perempuan dilarang bersekolah lebih tinggi daripada kelas enam, dan perempuan dilarang bekerja di pekerjaan lokal dan organisasi nonpemerintah. Taliban telah memerintahkan penutupan salon kecantikan dan melarang perempuan pergi ke pusat kebugaran dan taman. Perempuan juga tidak dapat keluar rumah tanpa wali laki-laki. 

Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya menandakan kontrol, tetapi juga konsolidasi cengkeraman otoriter Taliban, kata Fereshta Abbasi, peneliti di Human Rights Watch (HRW).

"Kekhawatiran kami adalah Taliban akan menerapkan undang-undang ini dengan cara yang paling buruk. Tidak akan ada yang namanya privasi bagi warga Afganistan, dan undang-undang ini menciptakan platform terbuka untuk pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di negara ini," ujarnya kepada DW.

"Perang jenis baru"

Amira (nama samaran), meminta untuk tidak mengungkapkan nama aslinya karena masalah keamanan. Perempuan muda itu adalah mantan mahasiswa jurnalisme di sebuah universitas di Kabul.

Amira tidak dapat melanjutkan studi sejak Taliban memberlakukan pembatasan pada pendidikan Perempuan. Ia pun menyatakan khawatir atas situasi saat ini. "Setelah bertahun-tahun berperang, kami masih merasa tidak aman dan sekarang menghadapi perang jenis baru atas nama agama. Kami disingkirkan dari masyarakat, hidup seolah-olah di dalam penjara sementara perempuan di tempat lain terus maju."

Roya (juga nama samaran), yang bekerja untuk sebuah organisasi pengungsi di provinsi Nangarhar, punya pandangan yang sama.

"Sebagai perempuan Afganistan, sulit membayangkan hidup dalam kondisi seperti ini. Jika saya, sebagai perempuan pekerja, merasa tertindas, bagaimana dengan perempuan yang lebih banyak tinggal di rumah? Sepertinya, situasi kami tidak akan segera membaik di masa mendatang dan kami akan dipaksa untuk bunuh diri." 

Meskipun mendapat banyak kritikan, rezim militan Taliban sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda bersedia mencabut kebijakan garis keras ini. Pemimpin tertinggi kelompok itu, Hibatullah Akhundzada, malah bersikeras bahwa perempuan Afganistan diberikan kehidupan yang "nyaman dan sejahtera".

Haruskan menjalin hubungan dengan Taliban?

Dalam berhubungan dengan Taliban, negara-negara di seluruh memberi persyaratan agar Taliban meningkatkan akses pendidikan bagi anak perempuan, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang inklusif.

Sejauh ini Taliban berhasil membangun hubungan diplomatik de facto dengan beberapa negara di seperti Rusia, Cina, Pakistan, India, dan berbagai negara Asia Tengah.

Uni Emirat Arab pada minggu lalu menerima seorang diplomat yang ditunjuk Taliban sebagai duta besar Afganistan, menjadikan negara itu sebagai negara kedua setelah Cina yang memiliki hubungan pada tingkat ini. UEA mengatakan langkah tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan meningkatkan stabilitas.

Bahkan di Jerman, perdebatan tentang cara menghadapi Taliban semakin memanas. Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock mengecam keras UU baru tersebut dan menyebutnya sebagai lembaran misogini yang secara efektif membungkam separuh penduduk Afganistan. Baerbock menolak keras seruan bagi Berlin untuk menjalin hubungan dengan rezim Taliban.

Meskipun demikian, partai-partai oposisi, termasuk Persatuan Demokratik Kristen (CDU), mendorong pendekatan yang lebih pragmatis.

Mereka berpendapat bahwa Jerman harus bekerja sama dengan Taliban untuk memfasilitasi deportasi pencari suaka yang ditolak dan pengungsi yang berbuat kriminal.

Usulan membangun hubungan dengan Taliban ini memang memicu kontroversi. Para kritikus memperingatkan bahwa hal itu berisiko melegitimasi kekuasaan Taliban dan merusak komitmen Jerman terhadap hak asasi manusia.

Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan masyarakat internasional harus bergerak melampaui retorika dan mengambil tindakan konkret untuk mendukung perempuan Afganistan dan meminta pertanggungjawaban Taliban atas tindakan mereka.

Helay Asad dan Ghazanfar Adeli berkontribusi pada laporan ini.

(ae/yf)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait