Taliban mengumumkan UU baru yang semakin membungkam perempuan dan anak perempuan di Afganistan. Suara perempuan juga termasuk yang baru-baru ini dilarang di publik oleh rezim Taliban.
Iklan
Pemerintahan Taliban di Afganistan pada minggu lalu memberlakukan serangkaian pembatasan baru, berupaya mengendalikan kehidupan, perilaku, dan interaksi sosial masyarakat.
Undang-undang baru tersebut sangat memberangus kebebasan perempuan dan anak perempuan Afghanistan. Menurut UU ini, perempuan harus menyembunyikan tidak hanya wajah dan tubuh, tetapi juga suara mereka Ketika berada di luar rumah.
Dengan demikian, undang-undang tersebut memperluas kendali kelompok fundamentalis Islam atas kehidupan pribadi warga Afganistan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mengecam keras aturan terbaru ini.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Roza Otunbayeva, kepala misi PBB di Afganistan, mengatakan undang-undang tersebut memberikan "visi yang menyedihkan" bagi masa depan Afghanistan dan memperluas pembatasan yang sudah tidak dapat ditoleransi terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan. "Bahkan suara perempuan" di luar rumah dianggap sebagai pelanggaran moral.
Menolak tumbuhkan jenggot? Pecat!
Ketentuan baru tersebut juga memengaruhi kaum pria, karena mencakup aturan tentang pakaian pria dan panjang janggut.
Lebih lanjut, mereka juga melarang homoseksualitas, adu binatang, perayaan budaya, bermain musik di tempat umum dan hari raya keagamaan selain Islam. Dilarang juga penggunaan kembang api, dan lain sebagainya.
Abbasi menunjukkan bahwa Kementerian Pencegahan Kejahatan dan Penyebaran Kebajikan milik Taliban memiliki kekuasaan dan impunitas yang sangat besar.
Pada bulan ini, kementerian tersebut mengatakan telah memecat lebih dari 280 personel keamanan dalam setahun terakhir karena tidak menumbuhkan jenggot. Kementerian juga menahan lebih dari 13.000 orang karena "tindakan tidak bermoral," sesuai dengan interpretasi mereka terhadap Syariah, atau hukum Islam.
Taliban lenyapkan perempuan dari kehidupan publik
Sejak merebut kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban seolah menghapus kemajuan hak-hak perempuan yang telah dicapai dalam dua dekade sebelumnya. Mereka melenyapkan perempuan dan anak perempuan dari hampir semua bidang kehidupan publik.
Anak perempuan dilarang bersekolah lebih tinggi daripada kelas enam, dan perempuan dilarang bekerja di pekerjaan lokal dan organisasi nonpemerintah. Taliban telah memerintahkan penutupan salon kecantikan dan melarang perempuan pergi ke pusat kebugaran dan taman. Perempuan juga tidak dapat keluar rumah tanpa wali laki-laki.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya menandakan kontrol, tetapi juga konsolidasi cengkeraman otoriter Taliban, kata Fereshta Abbasi, peneliti di Human Rights Watch (HRW).
"Kekhawatiran kami adalah Taliban akan menerapkan undang-undang ini dengan cara yang paling buruk. Tidak akan ada yang namanya privasi bagi warga Afganistan, dan undang-undang ini menciptakan platform terbuka untuk pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di negara ini," ujarnya kepada DW.
Iklan
"Perang jenis baru"
Amira (nama samaran), meminta untuk tidak mengungkapkan nama aslinya karena masalah keamanan. Perempuan muda itu adalah mantan mahasiswa jurnalisme di sebuah universitas di Kabul.
Amira tidak dapat melanjutkan studi sejak Taliban memberlakukan pembatasan pada pendidikan Perempuan. Ia pun menyatakan khawatir atas situasi saat ini. "Setelah bertahun-tahun berperang, kami masih merasa tidak aman dan sekarang menghadapi perang jenis baru atas nama agama. Kami disingkirkan dari masyarakat, hidup seolah-olah di dalam penjara sementara perempuan di tempat lain terus maju."
Roya (juga nama samaran), yang bekerja untuk sebuah organisasi pengungsi di provinsi Nangarhar, punya pandangan yang sama.
"Sebagai perempuan Afganistan, sulit membayangkan hidup dalam kondisi seperti ini. Jika saya, sebagai perempuan pekerja, merasa tertindas, bagaimana dengan perempuan yang lebih banyak tinggal di rumah? Sepertinya, situasi kami tidak akan segera membaik di masa mendatang dan kami akan dipaksa untuk bunuh diri."
Afganistan: Perubahan Keseharian di Bawah Kekuasaan Taliban
Terlepas dari semua drama seputar pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di Afganistan, kehidupan sehari-hari terus berlanjut. Namun kehidupan sehari-hari itu telah berubah drastis, terutama bagi kaum perempuan.
Foto: WANA NEWS AGENCY/REUTERS
Dunianya laki-laki
Foto dan video yang muncul dari Afganistan menunjukkan kembalinya aktivitas di jalanan perkotaan, seperti restoran di Herat ini yang sudah menerima pelanggan lagi. Tapi ada satu perbedaan mencolok dari sebelumnya: di meja hanya ada laki-laki saja, sering kali mengenakan pakaian kurta tradisional, tunik selutut. Perempuan di ruang publik menjadi hal langka di perkotaan.
Foto: WANA NEWS AGENCY/REUTERS
Harus terpisah
Di sebuah universitas swasta di Kabul. Ada tirai yang memisahkan mahasiswanya. Pemisahan antara perempuan dan laki-laki ini sekarang menjadi kebijakan resmi dan kemungkinan akan terus menyebar. "Pembelajaran campur, lelaki-perempuan, bertentangan dengan prinsip Islam, nilai-nilai nasional, adat dan tradisi," kata Abdul Baghi Hakkani, Menteri Pendidikan Taliban di Kabul.
Foto: AAMIR QURESHI AFP via Getty Images
Kebebasan yang hilang
Seperti para perempuan ini yang sedang dalam perjalanan mereka ke masjid di Herat, setelah 20 tahun pasukan sekutu memerangi Taliban, kebebasan yang dulu didapatkan perempuan dengan cepat terhapus. Bahkan olahraga akan dilarang untuk pemain perempuan, kata Ahmadullah Wasik, wakil kepala Komisi Kebudayaan Taliban.
Foto: WANA NEWS AGENCY/REUTERS
Pos pemeriksaan di mana-mana
Pemandangan di jalan juga didominasi oleh pos pemeriksaan Taliban. Ketika orang-orang bersenjata berat mengintimidasi warga, warga berusaha keras untuk berbaur. Pakaian gaya Barat menjadi semakin langka dan pemandangan tentara bersenjata lengkap semakin umum.
Foto: Haroon Sabawoon/AA/picture alliance
Menunggu pekerjaan
Di Kabul, buruh harian laki-laki duduk di pinggir jalan, menunggu tawaran pekerjaan. Afganistan, yang sudah berada dalam situasi ekonomi yang genting bahkan sebelum pengambilalihan Taliban, sekarang terancam "kemiskinan universal" dalam waktu satu tahun, menurut PBB. 98% warganya tahun depan akan hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan 72% pada saat ini.
Foto: Bernat Armangue/dpa/picture alliance
Tetap mencoba melawan
Perempuan Afganistan, meskipun ditindas secara brutal, terus menuntut hak mereka atas pendidikan, pekerjaan, dan persamaan hak. Namun PBB memperingatkan bahwa protes damai juga disambut dengan kekerasan yang meningkat. Para Islamis militan menggunakan pentungan, cambuk dan peluru tajam membubarkan aksi protes. Setidaknya empat orang tewas dan banyak lainnya yang cedera.
Foto: REUTERS
Ada juga perempuan yang 'pro' Taliban
Perempuan-perempuan ini, di sisi lain, mengatakan mereka senang dengan orde baru. Dikawal oleh aparat keamanan, mereka berbaris di jalan-jalan mengklaim kepuasan penuh dengan sikap dan perilaku Taliban, dan mengatakan bahwa mereka yang melarikan diri dari negara itu tidak mewakili semua perempuan. Mereka percaya bahwa aturan Islam menjamin keselamatan mereka.
Foto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images
Menyelaraskan arah
Demonstrasi pro-Taliban termasuk undangan bagi wartawan, berbeda dengan protes anti-Taliban. Yang terakhir, wartawan melaporkan mereka telah diintimidasi atau bahkan dilecehkan. Ini adalah tanda yang jelas dari perubahan di bawah Taliban, terutama bagi perempuan. (kp/hp)
Foto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images
8 foto1 | 8
Meskipun mendapat banyak kritikan, rezim militan Taliban sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda bersedia mencabut kebijakan garis keras ini. Pemimpin tertinggi kelompok itu, Hibatullah Akhundzada, malah bersikeras bahwa perempuan Afganistan diberikan kehidupan yang "nyaman dan sejahtera".
Haruskan menjalin hubungan dengan Taliban?
Dalam berhubungan dengan Taliban, negara-negara di seluruh memberi persyaratan agar Taliban meningkatkan akses pendidikan bagi anak perempuan, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang inklusif.
Sejauh ini Taliban berhasil membangun hubungan diplomatik de facto dengan beberapa negara di seperti Rusia, Cina, Pakistan, India, dan berbagai negara Asia Tengah.
Uni Emirat Arab pada minggu lalu menerima seorang diplomat yang ditunjuk Taliban sebagai duta besar Afganistan, menjadikan negara itu sebagai negara kedua setelah Cina yang memiliki hubungan pada tingkat ini. UEA mengatakan langkah tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan meningkatkan stabilitas.
Bahkan di Jerman, perdebatan tentang cara menghadapi Taliban semakin memanas. Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock mengecam keras UU baru tersebut dan menyebutnya sebagai lembaran misogini yang secara efektif membungkam separuh penduduk Afganistan. Baerbock menolak keras seruan bagi Berlin untuk menjalin hubungan dengan rezim Taliban.
Meskipun demikian, partai-partai oposisi, termasuk Persatuan Demokratik Kristen (CDU), mendorong pendekatan yang lebih pragmatis.
Mereka berpendapat bahwa Jerman harus bekerja sama dengan Taliban untuk memfasilitasi deportasi pencari suaka yang ditolak dan pengungsi yang berbuat kriminal.
Usulan membangun hubungan dengan Taliban ini memang memicu kontroversi. Para kritikus memperingatkan bahwa hal itu berisiko melegitimasi kekuasaan Taliban dan merusak komitmen Jerman terhadap hak asasi manusia.
Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan masyarakat internasional harus bergerak melampaui retorika dan mengambil tindakan konkret untuk mendukung perempuan Afganistan dan meminta pertanggungjawaban Taliban atas tindakan mereka.
Helay Asad dan Ghazanfar Adeli berkontribusi pada laporan ini.