Satu hal yang menyedihkan terkait mengenang Tan Malaka adalah ingatan sebagian orang tentangnya tak pernah menjadi lebih baik. Opini Geger Riyanto
Iklan
Semakin hari, ingatan sebagian orang tentangnya hanya semakin memburuk, tak peduli studi-studi semakin membuka berbagai misteri sejarah yang menyelubunginya.
Pada 1940-an, di antara orang-orang Sumatera, Tan Malaka adalah legenda. Ia diceritakan sebagai sosok yang bisa berpindah tempat ratusan kilometer dalam sekejap. Ia dapat mengubah wujudnya sekehendaknya. Satu hari Anda mengenalnya. Di keesokan hari, Anda tak mengenal lagi sosoknya maupun mengetahui di mana dirinya.
Mistis? Ya. Tetapi, mitos dan aura misterius menyelubunginya lantaran situasi yang sangat wajar. Tan Malaka dianggap seseorang yang berbahaya oleh rezim kolonial. Keberadaannya berbahaya—ia adalah sosok yang cakap meyakinkan orang, penggalang massa yang ulung, serta penggugah pergerakan yang efektif. Tulisan-tulisannya lebih-lebih berbahaya. Sukarno dijatuhi hukuman yang lebih berat ketika diadili di Bandung hanya karena ketahuan menyimpan buku Massa Actie (Aksi Massa) yang terlarang karya Tan.
Tan Malaka pun, akibatnya, menghabiskan lebih dari separuh kehidupannya sebagai buron. Ia tak bisa berdiam di satu tempat lama serta harus mempergunakan identitas palsu dalam banyak kesempatan. Ia memiliki 23 nama samaran dan selalu berpindah dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer. Harry Poeze menulis, Tan Malaka tak mudah percaya kepada orang. Ketika ia meyakinkan Sukarni, tokoh pemuda sekaligus pengagumnya, untuk mendorong Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan selekasnya, Sukarni hanya mengetahuinya sebagai Ilyas Hussein, seorang kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten.
Aura misterius Tan ini pun merongrong elite yang lantas memperoleh tampuk kepemimpinan Indonesia pasca-penjajahan. Mereka sebelumnya hanya mengetahui Tan Malaka sekadar dari tulisan-tulisannya yang menginspirasi mereka bangkit melawan kekuatan kolonial. Sekonyong-konyong saja, mereka menjumpainya secara langsung. Ini menyebabkan sosoknya menjadi momok ketika pada tahun-tahun terakhir kehidupannya ia kembali ke Indonesia. Ia kembali ditangkap pada bulan Maret 1946 dengan tuduhan yang tak bisa dibuktikan yakni hendak mengacau keadaan dan bertindak menggelisahkan.
Bapak Komunis Marx dan Engels Dalam Peringatan
Pemikiran mereka mengubah dunia. Namun seperti di negara lain, di Jerman, dua "bapak komunisme", Karl Marx dan Friedrich Engels bukan tanpa kontroversi. Meski demikian plakat peringatannya tersebar di berbagai kota.
Foto: AP
Hadiah dari Cina
Di Trier, Jerman tengah jadi perdebatan, apakah perlu mendirikan patung Karl Marx untuk menandai ulang tahun ke-200 putra terkenal dari kota itu. Cina telah menawarkan patung ini sebagai hadiah. Tapi dengan patung setinggi 6,3 meter ini, beberapa warga cemas jika kotanya semakin disesaki wisatawan, terutama dari Cina. Patung "Mega-Marx" dari kayu ini saja sudah gambarkan efek yang dicemaskan itu
Foto: picture-alliance/dpa/H. Tittel
Seberapa besar relevansi Marx kini?
Pada tahun 2013, Kota Trier merayakan ulang tahun Marx yang ke-130. Pada kesempatan itu,seniman Jerman Ottmar Hörl menyuguhkan 500 figur Marx terbuat dari plastik yang dipajang di depan gerbang Porta Nigra. Instalasi Hörl ini memberikan dorongan untuk kembali digelarnya diskusi aktual mengenai Karl Marx dan pemikirannya.
Foto: Hannelore Foerster/Getty Images
Friedrich Engels dalam pose seorang pemikir
Dengan tinggi sekitar empat meter, patung perunggu ‘dedengkot‘ komunisme lainnya, Friedrich Engels, tampak sedikit lebih kecil dari patung Marx yang bakal dipajang di Trier. Tahun 2014, patung Engels diresmikan di tempat kelahirannya di Wuppertal, Jerman. Selain membuat patung raksasa Marx, Cina juga ingin membuat patung Engels dan menghadiahkannya pula ke Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Kaiser
Saudara dalam jiwa
Monumen Marx-Engels di Berlin. Keduanya menulis buku setebal 30 halaman dengan judul “Manifesto Komunis" yang diterbitkan pertama kali tahun 1848. Tahun 1986, pemerintah Jerman Timur mengizinkan pendirian monumen "bapak komunisme" tersebut. Setelah itu , pada tahun 2010 karena adanya pembangunan, monumen ini tak lagi memandang ke arah timur seperti sebelumnya, melainkan ke barat.
Foto: AP
Batu yang dipahat
Sebuah monumen Marx raksasa berdiri di Chemnitz - kota yang hingga tahun 1990 menyandang namanya. Pada tahun 1971 patung ini diresmikan dengan ketinggian 13 meter dan menjadi patung terbesar kedua di dunia. Di dinding belakang monumen ini tertulis seruan kata-kata Marx dari buku "Manifesto Komunis" dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis dan Rusia: "Kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah!"
Foto: picture alliance/Arco Images/Schoening
Marx atau Bismarck?
Dahulu kala, di Fürstenwald, Brandenburg terdapat monumen peringatan Kanselir Otto von Bismarck. Namun sejak tahun 1945, patung pemimpin Prusia itu digantikan oleh Karl Marx. Setelah tanda peringatan itu dicuri, dewan kota mempertimbangkan, apakah akan membuat tanda peringatan Bismarck atau Marx lagi. Pilihan jatuh pada Marx, yang monumennya dapat dilihat sejak tahun 2003.
Foto: picture-alliance/ZB/P. Pleul
Relief potensi konflik
Lebih dari 30 tahun terpampang seni pahat relief perunggu yang menunjukkan wajah Karl Marx di bangunan utama Universitas Leipzig --yang menyandang namanya selama era Jerman Timur. Sejak renovasi tahun 2006, relief itu dibongkar lalu terjadi perdebatan, apakah kemudian relief ini harus dibuka lagi untuk publik. Sejak 2008 relief yang dilengkapi dengan teks penjelasan itu ada di kampus Jahnallee
Foto: picture-alliance/dpa/P. Endig
7 foto1 | 7
Dieksekusi di Kediri
Pada 1948, Tan menemukan akhir hayatnya. Ia dieksekusi di Kediri. Berbagai teori berkembang tentang intrik yang berujung kematiannya tersebut. Tetapi, semua teori berawal dari satu premis: keberadaan Tan terlalu menggentayangi kekuasaan.
Apakah bayang-bayang yang paling pertama terbersit kala nama Tan Malaka dicetuskan kini? Poeze, peneliti yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk meneliti Tan, telah merampungkan studi yang mencelikkan kita dengan kiprah Tan. Buku-buku tentang pemikiran Tan maupun pikiran Tan sendiri tak sulit ditemukan dan memperlihatkan dengan terang bahwa komitmen Tan adalah Indonesia yang 100 persen merdeka. Ia adalah seseorang yang tak kompromi untuk urusan kebebasan orang-orang Indonesia dari kekangan imperialisme.
Dan yang terjadi, kita malah lebih-lebih tidak mengenalnya. Ia adalah seorang komunis yang menistakan agama dengan segala tindak-tanduknya. Satu sosok yang, dalam kata-kata seorang purnawirawan, hanya dielu-elukan oleh kaum kiri dan selebihnya adalah seorang pengkhianat. Seseorang yang boleh kita "gebuk” seketika ia sewaktu-waktu muncul lagi.
Semua tuduhan ini keliru dan sangat mudah kita mentahkan. Benar, sejak tahun 1920, belum 24 tahun usianya saat itu, Tan sudah menjadi figur prominen di antara kelompok-kelompok kiri setempat. Ia diajukan sebagai kandidat Volksraad atau parlemen di Sumatra Timur. Namun, ia memilih bergelut di antara pergerakan serta pikiran sosialis tak lain karena kepenatannya dengan penindasan terhadap sesamanya di perkebunan-perkebunan Eropa. Lagi pula, apa lagi yang menyediakan perkakas analisis untuk mengungkap praktik eksploitasi oleh Belanda saat itu? Apa yang menyediakannya kesempatan untuk menyuarakan keadilan?
Tan pun tak pernah menjadi seorang komunis belaka. Dalam kongres keempat Komintern pada 1922, Tan mengkritik haluan Komintern yang saat itu mengambil pendirian antagonistis terhadap Pan-Islamisme. Sarekat Islam, baginya, dapat menjadi gerakan yang mengembalikan kekuatan kepada para petani yang melarat di bawah kapitalisme kolonial. Islam dapat menjadi kekuatan yang mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki orang-orang papa. Tan sendiri, di hadapan sidang tersebut, tak menampik bahwa dirinya adalah seorang Muslim. "Ya, saya katakan,” ujarnya, "ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim.”
Tan, jelas, tidak memperlakukan komunisme sebagai satu ideologi. Ia adalah metode. Satu alat berpikir sistematis untuk membedah realitas dan menganalisis bagaimana seyogianya pergerakan digulirkan, pembagian wewenang dilangsungkan, dan pengorganisasian kerja ditata. Ia menggunakannya ketika harus mengkritik Sukarno dan partainya terlalu disibukkan dengan memikat rakyat dengan kata-kata, "grande-eloquence,” dan kehilangan pijakan bagaimana mengorganisir serta mendisiplinkan mereka. Dan, tentu saja, ia menggunakannya untuk menggerakkan orang-orang agar mau berdiri di hadapan kolonialisme Eropa saat itu.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.
Foto: Getty Images/AFP/H. Dinh Nam
6 foto1 | 6
Siapa yang tergerak oleh analisis-analisis Tan?
Pertama, Sukarno sendiri tentu saja. Lantas, W.R. Supratman, Muhammad Yamin, Adam Malik, untuk menyebut beberapa dari antaranya. Tujuan akhir Tan? Keadilan. Lebih dari apa pun, keadilan yang riil.
Bila akhirnya kita memilih untuk mendepak figurnya dari pemahaman kita tentang sejarah Indonesia—dan mengafirmasi politik-politik ketakutan yang berusaha memanipulasi kita—saya yakin, yang terjadi selanjutnya adalah hantunya kian menggerogoti kita. Selepas kematiannya yang terlalu dini, para pejabat Indonesia yang baru merdeka waktu itu sangat jelas merasa terhantui dengannya. Hatta langsung mencopot Soengkono, Panglima Divisi Jawa Timur, dan Soerahmad, Komandan Batalion Sikatan di Kediri. Sukarno menyandangkan kepada Tan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1963.
Para penentu ini besar dengan membaca pikiran-pikiran Tan Malaka. Ia bukan hanya sudah aktif dalam pergerakan sebelum mereka. Ia adalah sang pendahulu yang mereka hormati. Sukarno tak ragu untuk memandatinya sebagai pimpinan perjuangan bila dirinya dan Hatta tak berdaya lagi meski kemudian keputusan ini direvisi dengan menambahkan nama-nama dari kelompok politik lainnya. Dan, akhir tragisnya, Tan malah terbunuh di bawah Republik yang mereka ampu.
Kini, apakah kita mau menggebuk andai Tan mendadak "muncul” kembali? Kita tak bisa menggebuknya. Ia yang akan menggebuk balik kita dengan rasa bersalah. Jejaknya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia terlalu besar untuk ditutupi dengan cara apa pun.
Kegigihannya untuk keadilan, memang, menjadikannya seseorang yang naif. Hasan Nasbi benar ketika ia mengatakan Tan adalah insan yang terlalu lurus. Namun, itu juga yang menjadikan mimpinya, yang boleh jadi mustahil, menjadi sesuatu yang layak untuk terus-menerus diimpikan. Sesuatu yang patut untuk menjadi pandu dalam kehidupan politik dan intelektual kita.
Penulis:
Geger Riyanto
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.