Pasokan LNG dari Uni Emirat Arab Tiba di Jerman
16 Februari 2023Hari Rabu (15/2) kemarin, untuk pertama kalinya tanker gas alam cair (LNG) dari Uni Emirat Arab (UAE) merapat di terminal terapung Brunsbüttel di Jerman utara yang baru saja dibangun. Jerman baru saja mengoperasikan empat pelabuhan baru untuk menerima pasokan gas dari beberapa negara.
Sebelumnya, kapal tanker lain sudah merapat di Jerman dengan membawa LNG dari Amerika Serikat. Tetapi langkah ini dikritik oleh para aktivis iklim sebagai kemunduran besar dalam upaya membatasi pemanasan global.
Banyak yang khawatir, Jerman dan Uni Eropa dalam waktu dekat akan menjadi importir LNG terbesar di dunia. Alasannya: LNG menghasilkan emisi hampir 10 kali lebih banyak daripada gas yang dikirim melalui jaringan pipa gas. Meningkatnya pengiriman LNG dengan tanker kemungkinan besar akan membahayakan target iklim, kata para peneliti iklim. Mereka juga menolak klaim bahwa sebagian besar infrastruktur LNG di masa depan bisa digunakan untuk hidrogen hijau.
Risiko iklim LNG
Mengapa LNG dinilai punya potensi risiko yang besar terhadap iklim? LNG adalah gas alam yang dicairkan melalui proses likuifaksi, dengan mendinginkan gas hingga suhu minus 161 derajat Celsius. Dalam bentuk cair, volume gas bisa menyusut 600 kali lipat dan berbobot separuh dari air.
Dengan cara itu, gas alam yang sebagian besar terdiri dari metana, bisa disimpan di dalam tangki khusus pada kapal tanker dan dikirimkan ke seluruh dunia. Setelah tiba di lokasi tujuan, gas cair itu akan diolah kembali ke bentuk asalnya di terminal dan didistribusikan melalui jaringan pipa.
Meski didukung kemudahan teknologi, tingginya biaya proses penambangan dan likuifaksi membuat LNG selama ini kurang diminati. Jerman yang sebelummya tidak punya fasilitas pelabuhan dan penyimpanan LNG misalnya, harus menanggung biaya ganda untuk pembangunan infrastruktur LNG impor.
Terlebih, proses pendinginan, pencairan, transportasi dan regafisikasi LNG menyedot energi dalam jumlah besar. "Antara 10 sampai 25 persen energi hilang selama proses likuifaksi,” kata Andy Gheorghiu, analis energi di Jerman.
Jejak emisi yang tinggi
Energi dalam jumlah besar juga dibutuhkan untuk menambang gas alam. Belum lagi, potensi kebocoran gas metana di sepanjang rantai produksi, suplai dan penyaluran ke konsumen, ikut membebani neraca iklim LNG.
"Karena LNG membutuhkan prosedur dan transportasi yang lebih rumit, risiko kebocoran gas metana di sepanjang rantai produksi, transportasi dan regasifikasi jauh lebih besar, dan sebab itu sangat padat emisi,” kata Andy Gheorghiu.
Menurut perhitungan LSM lingkungan AS, Natural Resources Defense Council (NDRC), LNG menciptakan "dua kali lipat lebih banyak gas rumah kaca ketimbang gas alam yang biasa dipasok lewat pipa.”
Perkiraan senada juga disampaikan lembaga analisa energi, Rystad Energy. Menurut wadah pemikir Norwegia itu, proses likuifaksi dan transportasi LNG menciptakan 10 kali lipat emisi CO2 ketimbang gas alam yang disuplai lewat jaringan pipa.
Kaushal Ramesh, analis energi di Rystad, menjelaskan kepada DW, ragam tingkat pengolahan pada LNG mencatatkan "intensitas emisi yang sangat tinggi.” Emisi yang "diimpor” tersebut nantinya akan berdampak pada neraca iklim nasional.
Karena itu, LNG tidak bisa dianggap sebagai solusi ramah iklim. LNG misalnya menyebabkan emisi 14 kali lipat lebih besar ketimbang energi surya, dan 50 kali lebih besar dibandingkan energi angin.
"Dengan berinvestasi pada peningkatan efisiensi rumah dan bangunan saja, Jerman bisa berhemat lebih banyak gas, ketimbang yang bisa ditawarkan terminal-terminal LNG yang baru itu,” kata Andy Gheorghiu.
(hp/yf)