Pemotongan bantuan lanjutan ke Afganistan oleh Amerika Serikat dan negara donatur lainnya dapat mengembalikan negara itu ke dalam jurang kehancuran seperti tahun 1990-an, kata pengawas pemerintahan AS.
Iklan
Peringatan oleh John Sopko, Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afganistan, muncul ketika Amerika Serikat (AS), Rusia, dan negara-negara lain berusaha untuk memulai pembicaraan perdamaian Afganistan yang terhenti, menjelang batas waktu 1 Mei 2021 sebelum Presiden Joe Biden menarik semua pasukan AS yang tersisa.
"Delapan puluh persen anggaran Afganistan didanai oleh AS dan donor (internasional lainnya),” kata Sopko dalam wawancara dengan Reuters.
"Jika karena alasan apa pun, para negara donatur terus menarik dana ... itu bisa membawa kehancuran mendadak bagi pemerintah Afganistan, seperti yang kita ketahui."
Sopko memperingatkan "sejarah berulang," mengacu pada anarki yang mengguncang Afganistan setelah Uni Soviet mengakhiri pendudukannya pada 1979-89 dan menghentikan bantuan kepada pemerintah Kabul.
Enam belas tahun setelah invasi AS, Afghanistan kembali tenggelam dalam jerat terorisme kelompok Islam. Serangkaian serangan teror baru-baru ini semakin memperkuat pengaruh Taliban dan ISIS.
Foto: picture alliance/Photoshot
Stabilitas Yang Rapuh
Rangkaian serangan teror di Afghanistan selama beberapa bulan terakhir menempatkan negeri tersebut dalam posisi pelik dan menggarisbawahi kegagalan pemerintah memperbaiki kondisi keamanan pasca penarikan mundur pasukan perdamaian internasional.
Foto: Reuters/M. Ismail
Kampanye Tanpa Hasil
Serangan tersebut juga menjadi catatan muram kampanye militer Amerika Serikat selama 16 tahun di Afghanistan. Meski serangan udara terhadap Taliban meningkat tiga kali lipat selama 2017, kelompok teror tersebut mampu menggandakan kekuasaannya dan kini aktif di 70% wilayah Afghanistan. Islamic State yang terusir dari Suriah mulai giat menebar teror di negeri tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Hossaini
Darah di Musim Semi
Pekan lalu Taliban mendeklarasikan dimulainya serangan musim semi yang sekaligus menampik tawaran perdamaian dari Presiden Ashraf Ghani. Kaum militan itu beralasan meningkatnya intensitas kampanye bersenjata adalah reaksi terhadap strategi militer AS yang lebih agresif. Pentagon ingin mendesak Taliban agar menerima perundingan damai dengan meningkatkan serangan udara.
Foto: Reuters
Janji Donald Trump
Tahun lalu Presiden AS Donald Trump mengumumkan strategi baru dengan menambah jumlah pasukan untuk melatih militer Afghanistan. Saat ini sekitar 11.000 pasukan AS bertugas sebagai pelatih atau konsultan keamanan. Trump juga berjanji akan membantu Afghanistan memerangi Taliban dan mempertahankan keberadaan pasukan AS selama dibutuhkan.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
Damai yang "Konspiratif"
Meski mendapat tawaran perundingan damai "tak bersyarat" dari Presiden Ghani Februari silam, Taliban tetap bergeming dan malah menyebut upaya perdamaian sebagai "konspirasi." Pengamat meyakini kelompok teror tersebut tidak akan bersedia mengikuti perundingan damai selama mereka masih lemah. Wilayah kekuasaan Taliban saat ini jauh lebih besar ketimbang sebelum berkecamuknya perang 2001 silam.
Foto: Getty Images/AFP/N. Shirzad
Sikap Ambigu Pakistan
Pakistan mendapat tekanan dari Kabul dan Washington agar tidak lagi melindungi militan dari Afghanistan. Islamabad sejauh ini menepis tudingan tersebut dan mengklaim pengaruhnya di wilayah perbatasan telah banyak berkurang. Situasi tersebut menambah ketegangan antara Pakistan dan Afghanistan.
Foto: DW/H. Hamraz
Nasib Bangsa di Tangan Penguasa Daerah
Selain Taliban, penguasa daerah alias warlords memiliki pengaruh besar di Afghanistan. Tahun lalu, pemimpin Hizb-i-Islami Gulbuddin Hekmatyar kembali ke arena politik di Kabul setelah masa pengasingan selama 20 tahun. Kembalinya Hekmatyar adalah berkat perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan yang ditandatangani pada September 2016. Langkahnya diharapkan dicontoh oleh warlords lain.
Foto: Reuters/O.Sobhani
Sikap Galau Asraf Ghani
Di tengah konflik kekuasaan tersebut, popularitas Presiden Ghani terus menyusut di mata penduduk. Maraknya korupsi dan cekcok tanpa henti di tubuh pemerintah mempersulit upaya Afghanistan menanggulangi terorisme. Terkait serangan Taliban, Ghani mengatakan kelompok teror tersebut "sudah melampaui batas," meski tetap membuka pintu perundingan damai.
Foto: Reuters/K. Pempel
8 foto1 | 8
Tergantung pembicaraan damai Taliban
Bantuan internasional untuk pembangunan tahunan ke Afganistan telah menurun dari $ 6,7 miliar (Rp 96,4 triliun) pada 2011 hingga hanya $ 4,2 miliar (Rp 60,4 triliun) pada 2019, menurut data Bank Dunia.
Sopko memberikan penjelasan pada hari Selasa (16/03) di depan Komite Pengawasan dan Reformasi DPR AS tentang laporan terbarunya. Laporan tersebut mencatat bahwa para negara donatur Afghanistan pada konferensi yang berlangsung November tahun lalu, menjanjikan bantuan setidaknya $ 3,3 miliar (Rp 47,4 triliun) selama setahun.
Washington yang terus mengurangi bantuan untuk Kabul menjanjikan $ 600 juta (Rp 8,6 triliun) untuk setahun, tetapi setengah dana bantuan baru dapat dicairkan jika ada kemajuan pembicaraan damai dengan Taliban.
Jika dana bantuan itu hilang, Sopko mengatakan pemerintah Afghanistan akan kesulitan untuk berjuang melawan Taliban dan ekstremis lainnya, jika tidak tercapai kesepakatan damai.
Jika pakta perdamaian tercapai, dia mencatat bahwa Bank Dunia menemukan bahwa negara itu akan membutuhkan bantuan tambahan $ 5,2 miliar (Rp 74,4 triliun) hingga tahun 2024 untuk mempertahankan perdamaian.
"Bahkan Taliban mengakui mereka sangat membutuhkan dukungan asing," katanya. Tanpa dana bantuan tersebut, pemerintah jatuh.