Tanpa ISIS, Perempuan Irak Bergerak Menjemput Kebebasan
Judit Neurink
24 Juni 2019
Kehancuran ISIS dan runtuhnya tembok pengaman di Baghdad mengubah wajah ibukota Irak. Atmosfer yang mulai kondunsif mendorong perempuan menuntut haknya di ruang publik, dan perkawinan campur menjadi normalitas baru.
Iklan
Baghdad mengalami perubahan sejak kehancuran Islamic State. Sebagian besar tembok pengaman yang melindungi gedung-gedung pemerintahan, hotel dan kedutaan di dalam zona hijau sudah dirobohkan. Di atas lahan steril bekas tembok itu, pemerintah membangun taman dan ruang terbuka hijau.
Tembok pengaman di zona hijau selama ini menjadi tugu peringatan betapa situasi damai di Baghdad tidak pernah berusia lama. Kini setelah dirobohkan, Baghdad perlahan kembali berjejak di peradaban modern dengan membuka kedai kopi khusus perempuan, di mana mereka bisa bercengkrama tanpa hijab atau harus didampingi muhrimnya masing-masing.
Di kota yang remuk oleh kekerasan itu, La Femme café menjadi oase kebebasan yang langka dan rapuh. "Para ayah tidak ingin anak perempuannya pergi ke café dan menghisap sisha," kata pemilik La Femme, Adra Adel-Abid. Perempuan 47 tahun itu menyediakan nargileh, sejenis sisha, dan cocktail non alkohol untuk para pengunjung.
Pelanggan La Femme kebanyakan berasal dari kelas menengah atau kaum elit ibukota. Lima tahun silam Adel-Abid mengaku mustahil mendirikan kedai khusus perempuan lantaran intimidasi kelompok radikal. "Dulu orang sangat takut. Sekarang ada atmosfer keterbukaan di sini," kata dia.
Kehancuran ISIS ikut menyingkap wajah Baghdad yang lain. Di kawasan Mansour, di mana La Femme café berdiri, kini perempuan dan laki-laki bercampur baur di kedai kopi atau restoran - sesuatu yang langka sebelumnya. Aura keterbukaan yang baru pun mendorong perempuan seperti Adel-Abid untuk memperjuangkan kebebasan mereka di ruang publik.
Perempuan di Baghdad kini mulai berani mengenakan pakaian cerah dan berwarna, tanpa perlu berlindung di balik cadar hitam. Hijab tidak lagi menjadi tren absolut di kalangan kaum muda dan celana jeans mulai membanjiri toko-toko pakaian perempuan.
Kebebasan serupa dinikmati Merry al-Khafaji, seorang penganut Syiah, yang menikahi seorang Sunni bernama Mustafa al-Ani. Pernikahan mereka memperkuat kesan perubahan di Irak yang kian terbuka usai era kegelapan di bawah "Islamic State."
Sebelum kejatuhan Saddam Hussein pada 2003 lalu, warga Irak terbiasa menikahkan putra-putrinya dalam perkawinan campur. Segregasi baru terjadi di era pemerintahan saat ini, di mana penduduk dibagi-bagi berdasarkan keyakinannya masing-masing. Situasi ini lah yang memicu perang antar sekte dan kelahiran ISIS di Irak.
"Tapi setelah ISIS, semakin banyak yang bertekad meninggalkan periode kegelapan itu dan kembali ke era sebelum adanya pemisahan keyakinan," kata Merry al-Khafaji.
Perubahan berkat Anonimitas Media Sosial
Kebebasan baru di Baghdad tak terlepas dari peran media sosial. Kebanyakan pengguna muda tidak memakai nama keluarga karena bisa mengungkap agama, sekte atau mazdhab sendiri. Hasilnya adalah anonimitas yang mendekatkan kaum muda tanpa label agama.
Uniknya anonimitas media sosial di kalangan kaum muda Irak turut menghasilkan ruang bagi kritik sosial. "Kaum muda Sunni dan Syiah kini menjadi lebih kritis terhadap peran agama dan partai yang berlandaskan agama," kata Mustafa al-Ani.
Tapi meski perkawinan campur "menjadi sangat normal" di Baghdad saat ini, kata Mustafa, percampuran semacam itu masih tergolong langka di wilayah lain di luar ibukota.
Potret Kepulangan Keluarga Irak yang Diusir ISIS
Fotografer Khalid Al Mousily memotret kepulangan keluarga Ahmad yang diusir oleh ISIS. Meski sulit, penduduk kota cepat membangun kehidupan di antara puing-puing kota.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Terbangun dari Mimpi Buruk
Ketika Mosul dibebaskan dari cengkraman kelompok teror ISIS pada Oktober 2017 silam, kota di utara Irak itu nyaris rata dengan tanah. Namun demikian perlahan sebagian penduduk yang terusir mulai kembali. Fotografer Khalid Al-Mousily menemani keluarga Mohammed Saleh Ahmad saat pulang ke kampung halaman yang menyimpan segudang ingatan, baik dan buruk.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Antara Perpisahan dan Kepulangan
Ketika Mohammed Saleh Ahmed (ki.) ingin memulai perjalanan ke Mossul, ia disergap perasaan campur aduk. Meski senang bisa kembali ke kota kelahiran, ia juga sedih karena harus meninggalkan persahabatan yang dirajut bersama penghuni kamp pengungsi. Bersama merekalah, para penyintas perang Mossul itu, Ahmed bisa berdamai dengan situasinya di pelarian.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Satu Tahun di Kamp
Kamp pengungsi Al-Hammam al-Alil di selatan Mosul dibangun ketika koalisi bentukan Amerika Serikat mulai menyerbu benteng pertahanan ISIS di bagian barat kota. Kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu merebut Mosul pada 2014 dan memaksa penduduk tunduk pada kekuasaan absolut sang khalifat.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Awal Kehidupan Baru
Setahun silam keluarga Ahmad mengubur harapan bisa pulang ke Mosul dalam waktu dekat. Namun ketika ditawarkan kesempatan buat kembali, ia tidak berpikir panjang dan segera mengemas perabotan dan barang pribadi keluarganya. Hanya selang beberapa hari tetangga dan saudara membantu memuat barang di dalam truk kecil yang membawa mereka menjemput kehidupan baru.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Puing dan Reruntuhan
Setelah kehancuran ISIS, bagian barat Mosul menjelma menjadi puing-puing dan reruntuhan. Mohammed (Ki.) terkejut melihat nasib kota kelahirannya itu. "Saya tidak bisa lagi mengenali apapun," ujarnya ketika berjalan bersama adiknya, Ahmed, melalui jalan utama di Mosul.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Kesederhanaan adalah Kemewahan
Setibanya di rumah lama, isteri Mohammed, Iman, segera menyiapkan makan malam keluarga. Meski sederhana, kehidupan di Mosul dirasakan jauh lebih baik ketimbang di kamp pengungsi.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Normalisasi Lewat Komedi Putar
Mohammed cepat menyesuaikan kehidupan di Mosul. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan konstruksi milik pamannya. Normalisasi kehidupan pasca ISIS berlangsung lebih cepat dari yang diduga. Mohammed sekarang sudah mulai berpergian ke salon, menemani isteri belanja atau mengajak anak-anaknya ke taman bermain yang baru dibuka.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
7 foto1 | 7
Dukungan Keluarga bagi Perempuan
Rejim catatan sipil di Irak mewajibkan setiap pasangan menentukan satu agama dalam pendaftaran. Jika terdapat perbedaan mazdhab, keduanya pun harus menentukan salah satu yang dijadikan acuan. Mustafa dan Merry misalnya memilih ajaran Sunni sebagai dasar hukum pernikahan mereka.
"Hakim di pengadilan menganjurkan sebaliknya," kata Merry. "Tapi saya tidak peduli," imbuhnya.
Hanaa Edwar, Direktur LSM Amal Association di Irak, menjelaskan perbaikan pada kondisi keamanan ikut menggerakkan perubahan sosial di Baghdad. "Sekarang para perempuan muda merasa situasi sudah aman dan mereka bisa hidup normal kembali. Mereka melepaskan jilbab dan mulai aktif di sosial. Dan keluarga mereka menyetujui aktivitas anak perempuannya itu."
"Perempuan kembali aktif di dunia teater yang dulu mustahil. Mereka mulai berani berbicara di depan publik, misalnya untuk melawan pernikahan paksa. Mereka merobohkan tembok dan bahkan mulai meninggalkan tradisi tribalismenya sendiri."
rzn/ap
Memperebutkan Mosul
Pertempuran memperebutkan Mosul sudah berkecamuk sejak beberapa bulan lalu, antara pasukan Irak dan milisi "Islamic State" (ISIS). Serangan ditujukan untuk mendesak ISIS keluar dari kota itu.
Foto: Reuters
Sasaran Militer: Mosul Barat
Pasukan Irak dan sekutu-sekutunya berhasil menguasai bagian Mosul di timur sungai Tigris Januari lalu. Sekarang mereka berusaha membebaskan Mosul Barat, di mana sekitar 2.000 jihadis masih bercokol.
Foto: Reuters
Serangan di Pelabuhan Udara
Tentara Irak mengambil alih pelabuhan udara Mosul, yang jadi pintu gerbang menuju bagian barat kota itu. Posisi itu harus dipertahankan karena strategis dalam upaya mengambilalih seluruh Mosul.
Foto: Reuters/Z. Bensemra
Serangan di Darat dan di Udara
Untuk menghadapi ISIS yang mengerahkan roket, mortir dan alat tempur lain, militer Irak menggunakan pesawat nirawak, jet dan helikopter ke garis depan. Tentara AS juga ikut partisipasi dalam perang itu.
Foto: Reuters/A. Al-Marjani
ISIS Menyusup ke Bawah Tanah
Beberapa ribu anggota ISIS bertempur melawan sekitar 10.000 tentara Irak. Tapi berkat kemampuan bergerilya, ISIS mampu menyembunyikan diri di kota. Foto: tentara Irak memeriksa terowongan yang digunakan ISIS untuk mengadakan serangan bunuh diri terhadap tentara pemerintah.
Foto: Reuters/Z. Bensemra
Hidup dalam Ketakutan
Situasi semakin dramatis bagi penduduk bagian barat Mosul. Sekitar 750.000 orang masih terperangkap di sini. Mereka kekurangan kebutuhan paling dasar, seperti air, makanan dan bahan bakar.
Foto: Getty Images/AFP/A. Al-Rubaye
Terdesak dari Tempat Tinggal
Anak laki-laki ini terpaksa diungsikan dari desa tempat tinggalnya, dekat Mosul. Ia dalam perjalanan ke tempat lebih aman di bagian selatan Mosul. Sejumlah organisasi bantuan PBB memperkirakan sekitar 250.000 orang akan lari dari kota itu. (ml/hp)