1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialTimur Tengah

Corona: Tantangan bagi Teokrasi Iran

16 September 2020

Pemerintah Iran sebenarnya tidak ingin melarang perayaan keagamaan nasional meskipun wabah corona masih membayangi. Mereka khawatir jika melarangnya, maka akan meruntuhkan legitimasi negara.

Hari Asyura
Hari keagamaan di IranFoto: picture-alliance/dpa/F. Bahrami

Kekecewaan menyelimuti warga Syiah di Iran. Mereka tidak diizinkan untuk ambil bagian dalam prosesi festival peringatan Syiah, Arbain di Irak, yang jatuh pada tanggal 7 Oktober tahun ini. Larangan itu telah diumumkan Presiden Iran, Hassan Rouhani pada awal September lalu. 

Perayaan Arbain yang dimaksud adalah hari yang menandai akhir dari empat puluh hari berkabung untuk Husain bin Ali bin Abi Thalib as, imam Syiah ke-3 yang merupakan cucu Nabi Mohammad. Dalam peringatan tersebut, jutaan peziarah Iran biasanya melakukan prosesi perjalanan dari Najaf ke Karbala. Disebutkan dalam sejarah, Husain bin Ali bin Abi Thalib as, terbunuh dalam pertempuran pada tahun 680. Sejak saat itu, tempat ini menjadi salah satu situs suci Syiah.

Khamenei menempatkan dirinya di belakang para ahli kesehatan

Pihak berwenang Iran telah memperingatkan umat Syiah untuk berhati-hati pada tahun ini. Hari Asyura, peringatan kematian Hussein, yang jatuh pada tanggal 28-29 Agustus diizinkan, tetapi umat harus tunduk pada kondisi keamanan yang ditentukan. 

Semua upacara keagamaan dan pertemuan harus mengikuti rekomendasi yang dikemukakan oleh para petugas kesehatan profesional.

Pemimpin spiritual negara itu, Ali Khamenei, mengatakan: “Apa yang diumumkan Satgas Nasional Penanggulangan Corona harus diikuti pada saat masa berkabung,” ujarnya di awal bulan Muharram. "Saya menyarankan semua umat untuk mengikuti pedoman negara. Jika tidak, akan ada bencana besar," demikian Khamenei memperingatkan. Media pemerintah memperlihatkan dia duduk sendirian di sebuah aula besar dan wajahnya mengenakan masker sambil mendengarkan khotbah.

Pemimpin spiritual Iran, Ali KhameneiFoto: khamenei.ir

Rezim membutuhkan festival keagamaan sebagai legitimasi

Pembatasan perayaan keagamaan karena pandemi corona adalah masalah sensitif bagi kepemimpinan Iran, karena dengan mengatasnamakan "Republik Islam Iran" negara itu mengakui landasan keagamaannya. Konstitusinya didasarkan pada hukum syariat, dan posisi kekuasaan yang menentukan dipegang oleh ulama. 

"Agama dengan kebutuhannya hadir di mana-mana di ruang publik," kata ilmuwan politik Behrouz Khosrozadeh, yang mengajar di Institut Penelitian Demokrasi di Universitas Göttingen, "bahkan sering dimanfaatkan secara hipokrit dan untuk formalitas."

Dalam edisi 4 September, surat kabar yang berafiliasi dengan pemerintah "Tehran Times" memuji Festival Asyura sebagai "puncak prinsip moral, di mana kesempurnaan karakter manusia, keagungan kesabaran, dan kecerdasan kepemimpinan" dirayakan. 

Namun, ilmuwan politik Khosrozadeh meragukan apakah instrumentalisasi agama memenuhi tujuannya sejauh yang diinginkan: "Agama dan kekuatan politik terus terkonsolidasi melalui apa yang disebut 'peristiwa massa'. Keuntungannya ini hanya dinikmati untuk kepentingan partai, yang merupakan segelintir minoritas absolut dari populasi yang diwakili."

Banyak orang Iran ingin pemisahan agama dan negara

Sebuah survei baru-baru ini oleh GAMAAN (Group for Analyzing and Measuring Attitudes in Iran) di Universitas Tilburg, yang memfokuskan risetnya pada Iran, menunjukkan bahwa banyak warga di Iran mendukung pemisahan yang lebih kuat antara negara dan agama

Menurutnya, 68 persen orang Iran yang diwawancarai berpendapat bahwa peraturan agama harus dipisahkan dari undang-undang negara bagian. Ini juga harus berlaku jika mereka mendapat suara mayoritas di parlemen. Hanya 14 persen yang mendukung bahwa hukum nasional harus konsisten dengan peraturan agama. Lebih dari separuh responden mendukung anak-anak mereka mengenal agama yang berbeda di sekolah. 72 persen dari mereka yang disurvei menentang kewajiban jilbab wajib bagi perempuan di ruang publik.

Pandemi corona dapat memperkuat sikap politik antiteokratis di antara warga negara, ujar sarjana agama Iran di Belanda, Pooyan Tamimi Arab dari Universitas Utrecht. 

Semakin jelas bahwa pendekatan ilmiah yang rasional diperlukan untuk memberantas pandemi. Hal ini berkorelasi dengan semakin berkurangnya interpretasi religius yang lebih persuasif atas pandemi dan dengan demikian secara tidak langsung legitimasi agama dari kepemimpinan negara juga ikut meredup.
Behrouz Khosrozadeh, editor buku "Iran, Destabilisator: 41 Tahun Republik Islam, Berapa Lama Lagi?", yang diterbitkan pada musim semi tahun ini, juga berpandangan serupa. Suara pendukung pemerintah yang bermotivasi religius dimenangkan dengan diperbolehkannya memperingati Asyura, meskipun tergantung pada persyaratan kesehatan. Pembiaran ini melawan keberatan dari para kaum yang skeptis. Tetapi kemenangan mereka dapat menyebabkan kekecewaan dalam jangka panjang, demikian diyakini Khosrozadeh: Kepercayaan warga Iran terhadap konpetensi pemerintah juga menurun, sebagaimana pula pada legitimasi keilahian kepemimpinan Iran.