1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tantangan Demokrasi di Tahun Emas Malaysia

30 Agustus 2007

Hari Jumat ini Malaysia genap berusia 50 tahun. Kesultanan federasi dari 13 negara bagian itu merdeka dari Inggris tanggal 31 Agustus 1957.

Foto: dpa - Fotoreport

Memasuki tahun emas, 31 AGustus 2007 ini, negeri tetangga dan serumpun ini maju cukup pesat secara ekonomi, jauh di atas Indonesia. Namun secara politik dan sosial, jauh tertinggal. Digambarkan oleh Sumit Mandal, dari Institut Kajian Antar Bangsa dari Universiti Kebangsaan Malaysia:

"Kalau kita melihat masyarakat Malaysia sekarang, perbedaan miskin dan kaya jauh berkurang. Dari segi itu, dari segi perubahan struktur masyarakat, sudah jauh lebih demokratis. Tapi dalam hal kebebasan sipil, terutama untuk melawan atau memberi pandangan berbeda mengenai kebijakan atau pernyataan pemerintah –sesederhana itupun—di sini seringkali disikat".

Sumit Mandal menambahkan, pemerintah Malaysia selalu menonjolkan keberhasilan mereka dalam pencapaian ekonomi, dengan Indonesia dan Filipina. Pendapatan perkapita Malaysia yang hampir $13 ribu dibanding Indonesia yang bahan $2000 pun tak sampai, memang jauh. Tapi perbandingan ini menurut Sumit Mandal membuat Malaysia tak mampu melihat persoalan yang lebih dalam yang dialami rakyatnya. Seperti kebebasan sipil, hak-hak minoritas, dsb.

"Ini memang negara otoriter, belum ada perubahan seperti di Indonesia. Di sini kendati kondisi ekonominya lebih maju, namun otoritarianismenya tetap dipelihara."

Hal ini disepakati Steven Gan, jurnalis pendiri Malaysiakini.com, aktivis demokrasi yang lantang dan berulang kali mendapat masalah dengan pemerintah.

"Saya kira negeri kami adalah suatu negara demokrasi tapi dalam belenggu. Ada pemilihan umum yang teratur, tapi tak pernah berlangsung bebas dan adil. Kami juga memiliki berbagai surat kabar dalam 4 bahasa. Namun tak ada kebebasan pers. Karena media diawasi pemerintah. Media atau dimiliki langsung oleh para politisi pemerintah, atau para kroninya. Lalu kami juga memiliki kemerdekaan berpindah, namun tidak memiliki kemerdekaan berkumpul dan berpendapat. Segala bentuk unjuk rasa dilarang pemerintah. "

Kebebasan politik memang masih sangat dibatasi di Malaysia. Pemerintah sering dengan mudah memenjarakan aktivis atau politisi dari kalangan oposisi. Yang paling spektakuler tentu saja adalah dipecat dan dipenjarakannya wakil perdana menteri Anwar Ibrahim tahun 1998. Yang juga sangat dicemaskan adalah menguatnya politik rasialisme. Terjadi semacam Islamisasi di berbagai sektor pemerintahan dan kehidupan publik. Berbagai kebijakan juga menjalankan perlakuan yang berbeda. Kembali Steven Gan:

"Kami beragam secara agama: Islam yang sekitar 60 persen dan non Islam yang 40 persen, terutama Hindu, Tao, Budha, Kristen dan Sikh. Kami juga beraneka secara etnik. Melayu Islam yang 60 persen itu, kemudian 28 persen Cina, lalu India, dll. Jadi ini sebenarnya suatu negeri yang beragam secara agama, etnik, bahasa, budaya. Namun pemerintah bukan menjadikannya sebagai kekayaan namun justru memperlakukakannya sebagai alat politik adu domba. Dengan itu mereka berkuasa".

Dengan berbagai kebijakan yang begitu represif, pemerintah Malaysia ternyata tetap saja tak berdaya menghadapi kekuatan demokrasi baru yang berkembang seiring teknologi. Yakni kekuatan pro demokrasi yang memanfaatkan internet. Steven Gan adalah salah satu pelakunya. ia mendirikan Malaysia kini sebagai situs berita alternatif. Ia menggambarkan:

"Pemerintah sebetulnya berupaya pula melakukan pemberangusan terhadap media internet. Sejumlah blogger ditangkap. Malaysia Kini yangs aya dirikan juga digrebek polisi. Mereka menyita 19 komputer kami. Jadi begitu banyak penindasan. Ini menunjukan, pemerintah menyadari, monopoli mereka terhadap kebenaran mendapat tantangan dari internet."