1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tantangan HAM di Indonesia: Dari Minim Data hingga KUHP Baru

10 Desember 2022

Sejumlah faktor menyebabkan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia belum juga terselesaikan, salah satunya yaitu minimnya data dan dokumentasi jumlah korban, ujar Andreas Harsono dari Human Rights Watch,

Gambar ilustrasi hak asasi manusia
Gambar ilustrasi hak asasi manusiaFoto: Christoph Hardt/Geisler-Fotopres/picture alliance

Majelis Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 10 Desember sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) setiap tahun secara internasional di seluruh dunia. Pada tanggal 10 Desember 1948, PBB mengadopsi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

UDHR menjelaskan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi terlepas dari ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, politik, kebangsaan, property, dan kelahiran.

Seluruh negara dunia termasuk Indonesia memperingati hari HAM Internasional pada 10 Desember. Namun, penegakan hukum atas kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia dinilai masih jauh panggang dari api.

Minimnya data dan dokumentasi

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat ada 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum tuntas. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di beberapa provinsi di Indonesia pada belasan, bahkan puluhan tahun silam.

Sebut saja peristiwa 1965-1966 dan kerusuhan Mei 1998, tragedi Simpang KKA di Aceh pada tahun 1999, tragedi Paniai Papua tahun 2014, Peristiwa Trisakti - Semanggi I - Semanggi II tahun 1998.

Andreas Harsono, aktivis dan peneliti di Human Rights WatchFoto: DW

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia hingga kini belum juga terselesaikan, salah satunya yaitu minimnya data dan dokumentasi jumlah korban, ujar Andreas Harsono, peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch (HRW). HRW adalah organisasi internasional nonpemerintah yang melakukan penelitian dan advokasi tentang HAM. 

"Tidak ada data tentang orang dibunuh, diperkosa, dianiaya, disiksa. Ada data tapi sedikit. Tidak ada tradisi melakukan dokumentasi," kata Andreas saat ditemui DW Indonesia di kediamannya.

Ia mencontohkan konflik antaretnis di Kalimantan yang terjadi selama bertahun-tahun dan menewaskan ribuan orang Madura. "Kuburannya di mana saja kita tidak tahu," kata Andreas kepada DW Indonesia. Dia menambahkan hal tersebut terjadi karena tidak ada hukum yang menekankan pentingnya dokumentasi.

Kualitas SDM berpengaruh

Kualitas aparat negara seperti polisi atau jaksa menjadi salah satu penyebab lambannya penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, kata Andreas. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya adalah kualitas wartawan.

Ia berpendapat bahwa pemahaman wartawan di Indonesia terhadap standard HAM masih relatif rendah. Padahal, jurnalisme memegang peranan sangat penting dalam penegakan hak asasi.

"Apabila wartawannya kurang bermutu, mutu informasi yang diberikan kepada masyarakat publik juga kurang," jelas Andreas. Kualitas informasi yang rendah menghasilkan pembentukan opini publik lemah dan bisa berakibat pada lemahnya demokrasi. 

Cukup banyak wartawan yang ia nilai masih kesulitan membedakan antara identitas dan profesi mereka. "Wartawan Indonesia juga banyak yang bias. Bias itu ada suku, agama, daerah mereka sendiri," ungkap Andreas.

Mengadu ke publik internasional

Pada tahun 2015, para keluarga dan korban persekusi serta pembantaian tahun 1965-1966 membawa kasus tersebut ke panggung internasional melalui International People's Tribunal 1965 (IPT65) di Den Haag. Putusan "pengadilan" tersebut menyatakan pemerintah Indonesia harus segera meminta maaf dan menginvestigasi semua kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia.

Namun, "putusan" dari International People's Tribunal tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Kendati demikian, para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia bisa mengupayakan langkah hukum ke ranah internasional yang mengikat, kata Andreas. Ada berbagai mekanisme internasional yang bisa digunakan untuk mengusut kejadian masa lalu dan sekarang.

"Misal, besok saya ditangkap jadi tahanan politik. Dihukum oleh pengadilan negeri berapa (tahun) gitu, saya bisa banding masih disalahkan pokoknya sampai final masih disalahkan. Saya bisa banding ke PBB," Andreas mencontohkan.

Selain itu, dia menambahkan bahwa yang lebih substantial adalah bagaimana Indonesia menjalankan rekomendasi-rekomendasi PBB dalam forum yang disebut Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa, Swiss, yang lebih mengikat bagi setiap negara anggota PBB.

Mengutip dari laman United Nations Human Rights Council, UPR adalah proses peninjauan ulang catatan HAM dari semua negara PBB. Setiap negara memiliki kesempatan untuk menjelaskan Tindakan apa yang telah diambil untuk memperbaiki situasi HAM dan memenuhi kewajiban HAM di tiap negara. Tujuan mekanisme ini adalah untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di semua negara dan mengatasi pelanggaran HAM di mana pun itu terjadi.

Babak baru KUHP

Tanggal 6 Desember 2022 menjadi lembaran baru bagi sistem hukum di Indonesia setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menetapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab hukum pidana yang baru ini akan mulai berlaku tiga tahun terhitung sejak diundangkan, yaitu pada 2025.

Pengesahan KUHP tersebut menuai kritik dari masyarakat dan interupsi dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Sementara pemerintah dan DPR mengatakan telah mengakomodasi masukan dan gagasan dari publik dan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia.

Namun Andreas mengutip salah satu di antara sekian pasal yang berpotensi memicu pelanggaran HAM berat di masa depan, yakni tentang makar.

Draft RUU KUHP versi Sidang Paripurna tanggal 6 Desember 2022, tentang Tindak Pidana Makar, pasal 191berbunyi: "Setiap Orang yang melakukan Makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan Presiden dan/atau Wakil Presiden atau menjadikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan, dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

"Ngomong Papua merdeka bisa kena 20 tahun," sesal Andreas.

Selain itu, dia menilai pasal-pasal lain yang rumit dan bisa memberatkan yakni mengenai pasal-pasal living law, atau hukum yang hidup di masyarakat, karena hukum tersebut tidak tertulis.

"Ini merupakan bencana yang diciptakan oleh manusia. Ini jadi senjata atas nama agama, atas nama moralitas," ujarnya.

"Misal saya tidak setuju dengan pacar anak saya. Saya ngomong ke anak saya agar dia putus. Dia ga mau. Saya laporin ke polisi mereka melakukan perzinahan, kumpul kebo. Hancur 'kan mereka," ia mencontohkan. (ae/hp)

Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait