1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tantangan Kebijakan Luar Negeri Jerman 2025

27 Desember 2024

Jerman akan mengadakan pemilihan umum federal pada bulan Februari 2025. Namun, siapa pun yang akan memimpin pemerintahan berikutnya, kebijakan luar negeri akan tetap menantang.

Keberangkatan Menteri Luar Negeri Baerbock dari Berlin ke Timur Tengah
Jerman akan memiliki pemerintahan baru pada tahun 2025, namun tantangan kebijakan luar negerinya akan tetap samaFoto: Michael Kappeler/dpa/picture alliance

Jerman diperkirakan akan menghadapi tantangan kebijakan luar negeri terbesar pada tahun 2025 dari presiden AS berikutnya, Donald Trump. Pandangan Trump yang bertentangan dengan prioritas Kanselir Olaf Scholz dan pemerintahan koalisi yang baru saja bubar dapat mempersulit kerja sama transatlantik.

"Sudah jelas bahwa formula lama – di mana kita dapat mengandalkan AS untuk menjaga keamanan kita – tidak lagi berlaku,” ujar Thorsten Benner, Direktur Global Public Policy Institute (GPPI) di Berlin, kepada DW. "Trump mewakili era baru, dan empat tahun di bawah Biden adalah masa terakhir transatlantisisme lama.”

Thorsten Benner menambahkan bahwa Jerman harus bersiap menghadapi dunia yang menuntut kontribusi keamanan lebih besar dari Eropa, terutama di tengah perang yang berkecamuk di benua tersebut.

Trump akan hentikan bantuan ke Ukraina?

Salah satu dampak perubahan kebijakan luar negeri adalah pada perang di Ukraina. Trump telah menegaskan bahwa ia "pasti" akan menghentikan dukungan AS terhadap Ukraina dan mendorong "gencatan senjata segera."

Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock dari Partai Hijau menegaskan bahwa Jerman tetap mendukung Ukraina, terlepas dari hasil pemilu AS. "Tidak mungkin ada perundingan damai yang mengesampingkan pemimpin Ukraina,” ujarnya pada Forum Kebijakan Luar Negeri Berlin di November lalu. Pernyataan ini merespons gagasan Trump untuk mengakhiri perang melalui pembicaraan langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Menurut Benner, Jerman harus mendekati pemerintahan Trump dengan menawarkan solusi, seperti membiayai pengadaan senjata bagi Ukraina yang disuplai oleh AS. Eropa tidak memiliki kapasitas produksi militer sebesar AS, namun dapat memberikan dukungan finansial. Namun, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Jerman mungkin harus mengambil utang baru, mengingat anggaran yang ketat.

Jerman dan Eropa hanya jadi 'penonton' di Timur Tengah?

Tantangan kebijakan luar negeri lainnya adalah pergolakan di Timur Tengah. Penggulingan Presiden Suriah Bashar al-Assad oleh kelompok pemberontak pada Desember menambah kompleksitas di kawasan tersebut. Meskipun warga Suriah merayakan berakhirnya pemerintahan Assad, Jerman mencemaskan kemungkinan penerapan aturan agama oleh kelompok Islam di Suriah, yang dapat memicu gelombang pengungsi baru ke Eropa.

Selain itu, konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas setelah serangan 7 Oktober 2023, pembalasan yang dilakukan Israel di Jalur Gaza, serta ketegangan dengan Hizbullah di Lebanon, memperumit posisi Jerman.

Di satu sisi, Jerman adalah pemasok senjata ke Israel dan dukungan untuk Israel merupakan elemen penting dalam hubungan Jerman-Israel. Di sisi lain, Menlu Annalena Baerbock juga kerap menyerukan deeskalasi dan advokasi bagi Palestina.

Hans-Jakob Schindler, pakar Timur Tengah dari Counter Extremism Project (CEP), menyatakan bahwa Uni Eropa, termasuk Jerman, hampir tidak memiliki pengaruh dalam negosiasi, "Ini adalah dialog antara AS dan Israel, sementara Eropa hanya menjadi penonton yang memberikan komentar dari pinggir lapangan," katanya.

Seluruh Uni Eropa secara substansial mengurangi keterlibatannya dalam konflik Timur Tengah beberapa tahun belakangan, kata Schindler, dan sejak serangan 7 Oktober, UE dan Jerman "hampir tidak mempunyai pengaruh apa pun dalam perundingan tersebut, ketika menyangkut pengambilan keputusan," katanya kepada DW.

Dengan Trump kembali ke Gedung Putih, pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan pro-Israelnya akan diselaraskan dengan tujuan untuk mengakhiri konflik di kawasan itu.

Berhadapan dengan Cina

Selama tiga tahun terakhir, Annalena Baerbock memimpin kebijakan luar negeri Jerman dengan menonjolkan isu hak asasi manusia, termasuk kritik terhadap mitra dagang penting seperti Cina.

Namun, sikapnya sering kali memicu ketegangan, seperti pada konferensi pers tahun 2023 dengan Menteri Luar Negeri Cina saat itu, Qin Gang, ketika itu menyatakan, "Yang paling tidak dibutuhkan Cina adalah guru dari Barat.”

Thorsten Benner menilai bahwa kebijakan luar negeri yang mengedepankan idealisme dan nilai-nilai moral sulit diterapkan di masa mendatang. "Tentu saja, ada baiknya untuk memiliki tujuan yang ambisius – untuk menghindari terjerumus ke dalam kompromi realpolitik yang terlalu rumit. Namun saya yakin bahkan Baerbock sendiri, dalam koalisi Jerman di masa depan, mungkin tidak lagi ingin menerapkan kebijakan luar negeri berbasis nilai-nilai dengan cara yang sama,” katanya.

Dukungan masyarakat yang terbagi

Jajak pendapat menunjukkan bahwa Jerman setelah pemilu dini Fabruari 2025 kemungkinan besar akan dipimpin oleh Uni Kristen Demokrat CDU  dan partai aliansinya Uni Kristen Sosial CSU di bawah Kanselir Friedrich Merz.

Henning Hoff dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman, DGAP, yakin kebijakan luar negeri yang dipimpin Merz tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan Jerman saat ini. "Ada konsensus mengenai kebijakan luar negeri di Jerman. Ini adalah faktor penstabil selama masa krisis,” kata Hoff kepada DW. Konsensus tersebut menyatakan bahwa negara harus menjadi lebih aktif dalam kebijakan luar negeri dan keamanan.

Namun, masyarakat Jerman tidak sepenuhnya setuju dengan hal ini. Dalam survei yang dilakukan oleh Körber Foundation  setelah pemilu AS – dan segera setelah koalisi Scholz runtuh – 73% responden mengatakan Jerman harus berinvestasi lebih banyak dalam keamanan Eropa. Namun 58% responden menentang Jerman mengambil peran utama jika AS menarik diri dari panggung internasional.

Sejauh menyangkut NATO, survei YouGov yang dilakukan pada pertengahan November setelah terpilihnya Trump menunjukkan bahwa hanya 33% warga Jerman yang merasa negaranya harus memainkan peran lebih besar dalam kepemimpinan NATO. Sebanyak 41% menginginkan peran yang sama kuatnya, dan 16% menginginkan peran yang lebih kecil.

Tampaknya pemerintahan Jerman yang baru, siapa pun yang akan memimpin, juga akan menghadapi tantangan di dalam negeri: Meyakinkan rakyat Jerman bahwa negaranya harus memikul tanggung jawab global yang lebih besar.

Artikel ini diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman.