1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersIndonesia

Tantangan Kebebasan Pers dan ChatGPT di Mata Jurnalis

3 Mei 2023

Di tengah membanjirnya informasi dan chatbot ChatGPT, proses pencarian informasi, verifikasi, dan penyampaian informasi secara bertanggung jawab sangat penting bagi jurnalis.

Gambar ilustrasi kebebasan pers
Gambar ilustrasi kebebasan persFoto: Nyein Chan Naing/dpa/picture alliance

Bermula dari apa yang disebut Acta Diurna, yang didistribusikan dan digantung di ruang-ruang publik pada masa Roma kuno sekitar tahun 59 sebelum masehi, produk jurnalisme kini berkembang pesat. Tantangan pun kian bertambah.

Di tengah membanjirnya informasi seperti saat ini, proses pencarian informasi, verifikasi, dan penyampaian informasi secara bertanggung jawab menjadi lebih penting lagi. Namun, proses ini juga bukan tanpa risiko, apalagi bagi para wartawan yang bertugas di negara-negara dengan angka skor indeks kebebasan pers yang cukup rendah.

DW berkesempatan berbincang kepada beberapa wartawan di beberapa negara seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia. Sebagai wartawan perempuan dan queer, mereka pun rentan menerima perlakuan kurang menyenangkan selama melakukan peliputan.

Intimidasi, ancaman verbal, dan fisik

Parameshvar Tangsathaporn yang kerap dipanggil Jay menceritakan kepada DW Indonesia bahwa kurangnya kebebasan berekspresi dan berbicara adalah tantangan utama bagi jurnalisme di Thailand.

Reporters Without Borders melaporkan bahwa Indeks Kebebasan Pers di Thailand turun dari skor 54,78 pada tahun 2021 menjadi 50,15 tahun 2022. Sejak kudeta tahun 2014 silam, puluhan jurnalis dan bloger di negeri Gajah Putih ini terpaksa memilih antara pemenjaraan atau pengasingan.

Parameshvar Tangsathaporn atau Jay, jurnalis dari Thailand Foto: Privat

Jay, wartawan queer berusia 30 tahun, menuturkan bahwa pada awalnya dia tidak berpikir untuk menjadi jurnalis. Namun, kini dia mulai menghargai profesi yang digelutinya selama lebih dari dua tahun belakangan. 

"Saya hanya ingin membantu orang dengan memberi mereka ruang untuk bersuara dan menunjukkan kepada pemerintah atau pihak berwenang tentang apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan di masyarakat," kata Jay kepada DW Indonesia.

Menurutnya, jurnalis di Thailand perlu berhati-hati dengan apa yang mereka publikasikan di media tempat mereka bekerja, karena rentan mendapat ancaman verbal dan fisik. Atau bisa saja berujung mendekam di balik jeruji penjara, tambah Jay.

Jay pun mencontohkan salah hukum pencemaran nama baik keluarga kerajaan di negaranya. Di Thailand, kritik terhadap keluarga kerajaan sama sekali dilarang dan pelanggaran berpotensi menyebabkan hukuman penjara 3 sampai 15 tahun.

"Jika diperhatikan dengan saksama, undang-undang ini cukup kabur karena tidak menjelaskan kritik seperti apa yang dianggap pencemaran nama baik," ujar Jay kepada DW Indonesia.

Kesejahteraan rendah, jurnalis perlu berserikat

Sementara di Filipina, situasi kebebasan persnya juga tidak lebih baik dari Thailand. Reporters Without Borders juga memaparkan bahwa indeks kebebasan pers di Filipina menurun dari skor 54,36 pada tahun 2021 menjadi 41,84 pada tahun 2022.

Rosette Adel misalnya. Perempuan berusia 32 tahun yang bermukim di Manila menuturkan kenyataan yang cukup pahit mengenai kesejahteraan wartawan di negara yang dipimpin oleh Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Junior.

Rosette Adel, jurnalis asal FilipinaFoto: Privat

"Jika Anda bekerja sebagai jurnalis di Filipina, Anda tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi kaya," ujar Rosette.

Namun demikian, perempuan yang telah mengumpulkan pengalaman meliput selama sekitar delapan tahun ini menambahkan bahwa situasi saat ini berangsur-angsur membaik karena adanya pembenahan regulasi. Sebelumnya, di Filipina, beberapa pekerja media hanya bekerja berdasarkan proyek atau kontrak jangka pendek. 

Lain lagi di Indonesia. Hanya satu kata yang terucap dari mulut Julia Nur Rochmah saat menjawab pertanyaan DW Indonesia tentang kesejahteraan wartawan di Indonesia. "Buruk!" tegasnya.

Julia mengatakan masih banyak wartawan di Jakarta yang belum menerima upah layak seperti yang direkomendasikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Seperti dikutip dari Kompas, AJI Jakarta mengatakan di tahun 2022, hitungan upah layak untuk jurnalis di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan Rp8.090.000 per bulan. Lalu tahun 2023 naik di kisaran Rp8.299.229 per bulan.

"Bahkan saya kerja 12 tahun (sebagai wartawan) ternyata standar upah saya di bawah survei AJI," kata Julia.

Julia yang juga berkecimpung di Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) sebagai sekretaris wilayah Jabodetabek menekankan pentingnya pekerja untuk berserikat. Menurutnya, serikat pekerja bisa melindung hak-hak pekerja yang bekerja di suatu perusahaan. 

"Pandemi 'kan banyak PHK. Ada pemotongan gaji, nah mereka garda terdepan biar perusahaan tidak semena-mena motong gaji. Dan memastikan pesangon dibayarkan," terang Julia saat berbincang dengan DW Indonesia.

Ia berharap siapa pun yang bergabung dengan serikat pekerja bisa memahami hak-haknya sesuai yang diatur oleh undang-undang. "Akhirnya punya nilai tawar. Jadi bisa memutuskan sign kontrak atau tidak karena ada pemahaman hak diri," terang Julia.

Berkarya Tanpa Batas: Kisah Seorang Jurnalis Tunanetra

03:49

This browser does not support the video element.

ChatGPT: Ancaman atau peluang?

Inovasi teknologi banyak membantu pekerjaan jurnalis seperti misalnya kamera foto atau video, perekam suara, dan bahkan komunikasi lintas negara dengan surat elektronik. Namun, akhir-akhir ini sebuat platform chatbot berbasis teknologi kecerdasan buatan yaitu ChatGPT dapat mengurangi keterlibatan manusia.

Seperti dikutip dari Anadolu Agency, Jonathan Soma dari Columbia University mengatakan bahwa ChatGPT berfungsi bersama jurnalis sebagai alat bantu bukan sebagai produk mandiri yang melakukan pekerjaan mandiri.

Menurut Rosette di Manila, chatbot dapat membantu dalam hal riset yang dapat membantu jurnalis menghasilkan produk jurnalistik lebih cepat. Dalam hal ini, Rosette melanjutkan, jurnalis dapat fokus pada penyusunan laporan jurnalistik dan kecerdasan buatan menyediakan riset sehingga mengurangi beban kerja jurnalis. 

"Saya juga yakin akan ada banyak karya dengan sentuhan manusia yang tidak bisa dikerjakan oleh ChatGPT," kata Rosette.

Sementara itu, bagi Jay di Bangkok, kecerdasan buatan tidak akan menjadi kendala bagi jurnalisme karena wartawan masih membutuhkan pihak tertentu untuk memastikan kebenaran dan fakta. 

"ChatGPT tidak dapat mengungkapkan perasaan sumber berita lebih baik daripada jurnalis manusia," kata Jay kepada DW Indonesia. Padahal, teknologi semacam itu akan menjadi penopang dalam memastikan kebenaran dalam hal linguistic dan seni tulis, tambah Jay.

Sedangkan Julia mengaku pernah menggunakan ChatGPT untuk tujuan riset sebelum melakukan peliputan. Namun, dia mendapatkan jawaban yang tidak akurat sama sekali dari ChatGPT setelah dia melakukan verifikasi hasil riset tersebut ke salah satu narasumber kompeten.

"Kita sebagai jurnalis harus tetap skeptis dan cross check," tegas Julia. (ae)

Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait