1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Tapera: Tabungan Perumahan yang Bikin Galau Kaum Pekerja

4 Juni 2024

Keluhan soal gaji yang akan dipotong tiap bulan terdengar makin lantang usai aturan baru tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diteken Presiden Jokowi.

Ilustrasi uang tabungan
Ilustrasi uang tabunganFoto: Maksym Yemelyanov/Zoonar/picture alliance/dpa

Aturan Tapera sebenarnya sudah muncul sejak 2016. Namun, kala itu yang diwajibkan masih terbatas PNS. Pada akhir Mei 2024, Jokowi meneken aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Dalam aturan baru ini, pemerintah melakukan perubahan terkait peserta tabungan. Dalam PP No 21 tahun 2024, dijelaskan bahwa yang wajib menjadi peserta Tapera pekerja yang bekerja di lingkup pemerintahan, swasta, maupun mandiri dengan usia minimal 20 tahun atau sudah menikah.

Selain itu, kepesertaan Tapera juga wajib bagi pekerja atau buruh badan usaha milik swasta, WNA yang bekerja di Indonesia minimal enam bulan, serta pekerja yang tidak termasuk ke dalam kelompok pekerja, tetapi menerima gaji pokok atau upah.

Anastasia M, adalah salah satu pensiunan guru sekolah dasar negeri. Sebagai PNS, di masa kerjanya, dia diwajibkan untuk menjadi anggota Taperum-PNS (Tabungan Perumahan PNS atau semacam Tapera di masa Presiden Soeharto). Dia tak ingat lagi berapa potongan tiap bulan yang diambil dari gajinya, tetapi uang simpanan ini dicairkannya saat pensiun beberapa tahun lalu.

"Saat pensiun, ngurusnya sekalian dengan uang pensiun dan dokumen lainnya. Jadi PNS 34 tahun, uang Taperum yang cair sekitar Rp30 juta. Tapi ya enggak ada rumah yang harga segitu,” katanya kepada DW Indonesia.

Potongan gaji makin banyak, galau melanda

Di kalangan pekerja kantoran sendiri, Tapera masih banyak menuai polemik. Tiara Sutari, salah satu karyawan di Jakarta juga mengeluhkan hal itu. Dengan aturan wajib ikut Tapera ini, berarti dia dan suaminya pun ‘kena potong dua kali' karena keduanya bekerja di perusahaan swasta.

"Aturannya kan semua orang diharuskan. Buat yang sudah punya rumah dan lagi KPR juga harus ikutan berarti kan. Kenapa gitu? Kan udah KPR. Bayar KPR saja udah sulit, ini lagi harus dipotong lagi sama negara 2,5%. Mana gaji tidak seberapa dan kebutuhan lain juga banyak karena saya dan suami juga generasi sandwich," ucapnya kepada DW Indonesia.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Dia juga menyebut, aturan ini tidaklah pas diterapkan untuk semua orang.

"Harusnya kalau memang mau ada aturan begini ya tidak usah dipaksa, buat yang mau saja gitu. Karena yang paling kena imbasnya dan nggak bisa ke mana-mana ya kelas menengah.”

Selain itu, Tiara juga bersikap skeptis pada program ini lantaran punya trust issue kepada pemerintah. Dia mencontohkan kasus yang pernah terjadi, seperti Asabri dan Jiwasraya.

Mimpi nikmati gaji pertama

Jika Tiara keberatan lantaran banyak pengeluaran yang dihadapinya, berbeda lagi dengan Myranda. Myra yang baru saja merasakan pengalaman kerja penuh waktu sebulan lalu, terkejut bukan main.

Ia mengaku sudah merencanakan semua pos keuangan dengan gajinya, tapi "dengan ada aturan ini bubar lagi semuanya rencana. Walaupun masih 7 tahun lagi, tapi tetap aja, aku belum ada rencana untuk beli rumah karena ada rencana jangka panjang untuk kuliah di luar negeri, cari pengalaman di luar negeri."

Subsidi silang?

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menyebut Tapera merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya. Tabungan ini dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Namun, bagaimana dengan orang-orang yang sudah punya cicilan KPR atau sudah punya rumah sendiri, apakah masih harus membayar KPR?

"Perlu ada grand design yang melibatkan peran serta masyarakat untuk bareng-bareng pemerintah. Konsepnya bukan iuran tapi nabung. Yang sudah punya rumah dari hasil pemupukan sebagian dipakai untuk subsidi biaya KPR untuk yang belum punya rumah supaya bunganya tetap terjaga lebih rendah di bunga komersial saat ini 5%,” ucapnya saat konferensi pers Staf Kantor Kepresidenan, Jumat (31/05). 

Rumah Terapung Atasi Dampak Perubahan Iklim

03:23

This browser does not support the video element.

"Jadi kenapa harus ikut nabung? Jadi seperti prinsip gotong royong di UU Tapera itu, pemerintah, masyarakat yang punya rumah, bantu yang belum punya rumah, semua membaur. Kalau itu dikonstruksikan, UU Tapera ini sangat mulia sebenarnya, maka kemampuan gotong royong tadi antara pemerintah dan masyarakat dalam men-deliver output perumahan dalam rangka mengejar kesenjangan kepemilikan rumah tadi akan semakin bisa terkejar."

Bagaimana kalau sudah punya rumah?

Menanggapi skema itu, Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik menyatakan ketidaksetujuannya.

"Tidak semua orang sanggup dipotong uangnya 3%. Yang memang 2,5% dari pemerintah itu sebagian dari pemerintah, seperti BPJS. Ya berat lah, tidak bisa. Kalau sudah punya rumah, masa cuma dipotong juga untuk orang? Enggak mau lah,” ucapnya kepada DW Indonesia.

"Kalau Anda berpenghasilan ratusan juta, pasti akan rela. Kalau pas-pasan UMR, ya enggak bisa lah masa kita membantu orang lain untuk membangun rumah. Itu tugas pemerintah, bukan tugas warga negara.”

Senada dengan Agus, Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik mengungkapkan keberatannya atas kebijakan tersebut. Apalagi untuk orang-orang yang sudah punya KPR.

"Terdapat tumpang tinggi kebijakan yang akhirnya membebani masyarakat. Menurut saya, kan harusnya ini menjadi tanggung jawab pemerintah, Jadi hal-hal ini harusnya kalau mereka sudah punya KPR ya tidak usah.

"Jadi jangan 3%, misalnya 1,5% atau yang 1% ditanggung oleh pemerintah. Jadi saya lihat negara itu seperti lepas tangan. Saya melihat nanti kaum menengah ini banyak yang menunggak, Mbak. Tidak punya kemampuan bayar atau disebut gagal bayar."

Tapera dinilai rentan rugikan perusahaan dan bisnis

Esther Sri Astuti, Ekonom dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut bahwa sebaiknya Tapera tidak bersifat wajib, melainkan opsional.

"Tidak usah wajib. Karena yang pertama, preferensi orang beda-beda ya. Ada orang yang mungkin tidak mau beli rumah dulu, mau kuliah dulu, atau traveling, atau bahkan sudah punya rumah dari warisan," katanya kepada DW Indonesia. 

Ia menilai bahwa meski berniat awal baik, implementasi Tapera tidak pas dan berdampak besar ke ekonomi makro akibat banyaknya dana yang akan tersedot. "Artinya pemerintah ini punya duit lebih banyak. Nah manajemen Tapera ini harus bagus, jangan salah misalokasi portfolio investasi."

Kesalahan manajemen portfolio investasi dan anggaran, menurutnya berisiko pada kerugian Tapera, yang nantinya akan ditanggung oleh peserta.

"Jangan sampai nanti Tapera-nya sudah jatuh tempo tidak bisa buat beli rumah. Menurut saya, mendingan mereka dikasih subsidi bunga KPR saja. Kan kalau KPR mereka sudah pasti. Kalau yang mau beli rumah ya ditawarkan, kalau tidak ya jangan dipaksa."

Selain itu, Esther juga menilai ‘pemaksaan' Tapera ini akan merugikan ekosistem perusahaan dan juga bisnis. Dia mengatakan, dengan berbagai potongan dan beban yang harus ditanggung perusahaan, cost doing business akan lebih tinggi. Ia khawatir hal ini akan menyebabkan kenaikan biaya produksi dan penjualan.

"Pada akhirnya karena cost-nya besar maka ada risiko PHK karyawan, jangan sampai seperti itu." (ae)

Melisa Ester Lolindu di Jakarta turut berkontribusi atas laporan ini.

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait