1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tatas Brotosudarmo: Riset Fotosintesis Menjawab Krisis Energi

Carissa Paramita16 Agustus 2013

Proses kehidupan di muka bumi ditopang oleh suatu proses bernama fotosintesis yang memanfaatkan energi cahaya. Demikian inspirasi penelitian seorang ilmuwan Indonesia, Tatas Brotosudarmo.

Foto: DW/C. Paramita

Tatas yang lahir di Pati, Jawa Tengah, mengaku sangat tertarik pada penelitian fotosintesis, melihat secara molekuler kemudian meniru dari proses fotosintesis dan mengembangkan energi alternatif.

Gedung baru Universitas Ma Chung di Malang, Jawa TimurFoto: Tatas Brotosudarmo

Ia saat ini menjabat kepala Ma Chung Research Center for Photosynthesic Pigment (MRCPP) di Malang. "Saya bekerja meneliti pigmen fotosintesis untuk menjawab krisis energi," tegasnya.

Lebih lanjut Tatas menjelaskan bahwa ia meneliti warna: "Jadi warna di mana tumbuhan itu, daun-daun itu berwarna-warni, kemudian buah-buahan dan bunga-bunga berwarna-warni seperti pelangi. Yang saya teliti adalah pigmen tersebut. Yang saya lakukan adalah mengisolasi dari pigmen ini kemudian melakukan modifikasi dan juga menstabilkan untuk nanti dapat diterapkan untuk menangkap energi cahaya matahari seperti solar cell."

"Jadi kalau kita lihat, kalau kita menguasai teknologi di mana terjadi fotosintesis pada detik-detik yang awal atau the first frame to second, maka kita bisa mengoptimasi setiap foton itu bisa kita buat untuk menghasilkan energi yang lebih efisien," tambah Tatas.

Dispenser penghasil kombinasi senyawa khusus untuk mengkristalkan antena penangkap cahayaFoto: Tatas Brotosudarmo

Berikut lanjutan wawancara DW dengan Tatas Brotosudarmo.

DW: Saat ini Anda tengah menjabat salah satu kepala pusat riset di Indonesia, apa Anda mengalami kesulitan dalam menarik dan mendapatkan sumber daya manusia dari Indonesia sendiri?

Tatas Brotosudarmo: Saya mengalami kesulitan dan dugaan saya adalah belum adanya database yang terstruktur di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memetakan para peneliti dan juga kompetensinya. Selain itu juga fasilitas dari pendidikan tinggi yang masih belum lengkap dan juga kesejahteraan yang masih belum memadai untuk para PhD. Jadi kekhawatiran saya juga adanya brain drain, yaitu para peneliti yang handal di Indonesia bukan bekerja di Indonesia tapi di negara tetangga bahkan di Amerika Serikat dan Eropa.

Tapi menurut Anda apa ada regenerasi peneliti di Indonesia?

Kalau mahasiswa tertarik menjadi seorang peneliti masih kurang, tetapi kalau kita lihat dari tahun-tahun yang silam, ada peningkatan. Saya kira karena peran serta pemerintah yang cukup baik yaitu melalui program-program yang ada, tetapi memang secara persentase dosen yang meneliti itu masih kurang. Jadi perlu ada suatu sistem yang baik untuk mendorong mereka untuk semakin aktif dan saya harap melalui program dari pemerintah ini ke depan bisa menghasilkan suatu kebijakan dan juga suatu pemberian dana penelitian yang lebih tepat sasaran kepada peneliti-peneliti handal tersebut sehingga dapat diwujudkan hasil penelitian yang benar-benar konsisten untuk mengangkat Indonesia di kancah internasional.

Anda menjadi salah satu langganan penghargaan pada tingkat internasional, apa resep sukses bagi seorang peneliti Indonesia untuk dapat berjaya di kancah internasional?

Memang sebagai seorang peneliti, pertanyaan yang pertama adalah di mana passion kita, kemudian ketekunan kita. Kata kuncinya adalah, ketika kita mau menggali sumur misalnya, kita percaya bahwa di situ ada sumber air. Tetapi ketika kita menggalinya baru satu meter kemudian pindah tidak sabar, bukan seperti itu. Jadi kita harus menggali sumur tersebut sampai menemukan sumbernya. Jadi intinya adalah bagaimana enjoyment kita itu ada di mana.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait