Tantangan bagi ulama perempuan tak bisa dianggap enteng. Para ulama perempuan masih harus menghadapi para ulama laki-laki yang berpandangan sempit dan sebagian masyarakat yang meremehkan. Berikut opini Tunggal Pawestri
Iklan
"Poligami bukan merupakan tradisi Islam” kalimat tersebut diucapkan oleh Dr Hj Siti Ruhaini Dzuyatin, mantan ketua Independent Permanent Human Rights Commission, Organization of Islamic Cooperation atau Lembaga HAM-nya Organisasi Kerjasama Islam. Pernyataan tersebut diucapkan pada saat ia menjadi salah satu pemateri di satu sesi seminar Internasional Kongres Ulama Perempuan yang baru saja berlangsung di Cirebon. Tak pelak, ratusan peserta seminar bertepuk tangan menyambut ujaran tersebut.
Jujur saja, saya yang menjadi pengamat dalam acara kongres Ulama Perempuan ikut bertepuk tangan dan merinding melihat begitu senangnya para peserta seminar mendengar pernyataan yang begitu kuat tersebut disampaikan oleh seorang perempuan yang memiliki kemampuan dan kebijaksanaan dalam menafsir teks ayat suci.
Kongres Ulama Perempuan yang berlangsung selama tiga hari di Cirebon diinisiasi dan didukung oleh banyak organisasi keagamaaan dan perempuan ini melibatkan 574 peserta yang datang dari 25 propinsi dan juga mengundang 180 pengamat yang datang dari dalam dan luar negeri. Setidaknya 15 negara turut berpartisipasi dalam kongres yang diyakini sebagai kongres ulama perempuan yang pertama di Indonesia.
Merebut tafsir yang selalu dikuasai laki-laki
Melihat dan mengikuti ratusan ulama perempuan mengambil ruang dan menggunakan keahlian dan kemampuannya untuk merebut tafsir yang selama ini selalu dikuasai oleh ulama laki-laki, membuat saya tak pernah berhenti tersenyum lebar saat mengikuti kongres ini. Terlebih, para ulama perempuan ini menyatakan secara tegas dalam pembukaannya bahwa keadilan jender, hak asasi manusia dan konstitusi juga menjadi basis mereka dalam membuat rekomendasi.
Ada sembilan isu penting yang didiskusikan dalam kongres ulama perempuan. Namun setidaknya ada tiga topik panas yang cukup menarik perhatian karena sangat sejalan dengan isu yang kini sedang menjadi perhatian utama publik: kekerasan seksual, perkawinan usia anak dan kerusakan lingkungan. Perdebatan alot sempat terjadi di beberapa sesi misal bagaimana memaknai perkosaan dalam pernikahan.
Khadijah, Feminis Islam Pertama
Nama Khadijah binti Khuwaylid, istri dari Nabi Muhammad SAW mengemuka dalam perdebatan mengenai peran perempuan dalam Islam. Ia dianggap sebagai feminis pertama dalam dunia Islam.
Pebisnis sukses dan terhormat
Ayah Khadijah merupakan saudagar sukses dari suku Quraisy yang bermukim di Mekah. Dalam masyarakat yang didominasi kaum pria, Khadijah mewarisi keterampilan, integritas, dan keluhuran ayahnya. Ia mengambil alih bisnis tersebut dan berdagang, mulai dari mebel, tembikar dan sutra -- melalui pusat-pusat perdagangan utama pada saat itu, dari Mekah ke Syria dan Yaman.
Berjiwa mandiri
Dia menikah dua kali sebelum akhirnya menikahi Nabi Muhammad. Kedua pernikahan itu dikaruniai anak-anak. Ketika kembali menjanda, ia sangat hati-hati dalam mencari pasangan. Sebagai perempuan sukses dan hebat, tak sedikit pria ingin meminangnya. Tak ingin lagi menderita ditinggal suami, ia memfokuskan diri sebagai orangtua tunggal, hingga akhirnya meminta Nabi menikahinya. Ia jatuh cinta...
Foto: Fotolia/Paul Posthouwer
Umur bukan halangan
Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Khadijah mempelajari sifat dan pengalaman Nabi Muhammad yang mengelola kafilah pada rute perdagangan ketika menyertai pamannya, Abu Thalib. Usianya menginjak 40 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad yang kala itu berusia 25 tahun.
Foto: Fotolia/Carina Hansen
Istri ideal, lambang kisah cinta sejati
Pernikahan Khadijah & Muhammad merupakan pernikahan monogami hingga akhir hayatnya 25 tahun kemudian. Kenabian Muhammad mulai sejak pernikahannya dengan Khadijah, ketika menerima wahyu melalui Malaikat Jibril yang membuatnya takut, tegang & merasa sendiri kala tak seorangpun percaya padanya. Khadijah menghibur dan mendukung suaminya di masa paling sulit dalam hidupnya.
Foto: fotolia/Anatoliy Zavodskov
Pemeluk Islam pertama
Khadijah, ibu pertama kaum Mukmin, adalah orang pertama di bumi yang menerima Muhammad sebagai nabi terakhir Allah dan menerima wahyu yang memuncak menjadi Al-Qur'an. Dia disambut dengan "Salam kedamaian” oleh Allah sendiri serta Malaikat Jibril. Dia mewariskan harta duniawi dan menempatkan dirinya untuk menghadapi ancaman bahaya dalam mendukung Nabi Muhammad menegakkan Islam di negeri itu.
Foto: Getty Images/AFP/M. Al-Shaikh
Ia mendermakan kekayaan duniawinya bagi kaum miskin
Khadijah memberikan penghasilannya kepada orang miskin dan anak yatim, untuk para janda dan orang sakit. Dia membantu gadis-gadis miskin untuk menikah dan memberikan mas kawin bagi mereka. Khadijah menjadi salah satu wanita paling luar biasa dalam sejarah. Perempuan saleh, sederhana dan berani mencapai cita-citanya. (foto: Mauseleum Khadijah di Mekkah, wikipediacommon)
6 foto1 | 6
Dalam rekomendasi mengenai kekerasan seksual para ulama perempuan berpendapat bahwa Kekerasan seksual dengan segala bentuknya adalah haram baik di luar maupun di dalam pernikahan, karena melanggar hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Islam. Dalam dokumen musyawarah KUPI denga jelas para ulama perempuan bersepakat untuk "memiliki keberpihakan terhadap korban dengan tidak membiarkan terjadinya kriminalisasi, stigmatisasi, pengucilan, pengusiran, terhadap korban terutama tidak membiarkan korban dinikahkan dengan pelakunya; mensosialisasikan fatwa ulama perempuan dalam forum-forum pengajian; menyebarluaskan tafsir-tafsir dan teks/literatur keagamaan yang berperspektif keadilan jender”.
Untuk isu kerusakan lingkungan, dari dokumen akhir musyawarah ulama perempuan, mereka bersepakat bahwa hukum pelaku perusakan alam atas nama pembangunan yang berakibat kepada ketimpangan sosial ekonomi adalah haram secara mutlak. "Pembangunan dimungkinkan dengan pemanfaatan dan pengelolaan alam demi kemaslahatan dengan landasan maqasid syariah, yaitu menjaga agama (hifdu din), menjaga jiwa (hifdu nafs), menjaga harta (hifdu mal), menjaga akal (hifdu 'aql) dan menjaga keturunan (hifdu nasl). Oleh karena itu pemanfaatan dan pengelolaan alam tidak boleh melampuai batas kebutuhan dan kepentingan diri sendiri (masyarakat) dan tidak berdampak pada rusaknya alam”. Hasil musyawarah ulama perempuan ini seolah menjadi landasan penguat dan amunisi bagi para perempuan yang saat ini sedang berjuang mempertahankan ruang hidup dan ekologisnya seperti kasus Kendeng di Jawa Tengah misalnya.
Aksi Para Kartini Kendeng
9 perempuan Kendeng Rembang, Jawa Tengah berjuang keras menolak pembangunan pabrik semen di kampung halamannya. Setelah berkali-kali unjuk rasa di wilayahnya, mereka ke Jakarta dan mengecor kaki dengan semen.
Foto: picture-alliance/NurPhoto
Dari Kendeng ke Jakarta
Sembilan perempuan Rembang ini mengecor kakinya sebagai protes terhadap rencana pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di lahan pertanian mereka di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.
Foto: picture-alliance/NurPhoto
Demi lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal
Dipimpin Sukinah, mereka menyemen kedua kakinya pada Selasa 12 April 2016, di depan istana. Mereka mengecor kaki di kotak kayu ukuran 100 x 40 sentimeter. Sejak 2014 puluhan perempuan Watu Putih mendirikan tenda untuk melawan penghancuran lebih jauh biodiversitas, tangkapan air, dan kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih Rembang.
Foto: picture-alliance/NurPhoto
Perjuangan sejak lama
Tahun 2014, mereka juga pernah melaporkan kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) atas tindakan kekerasan dan persoalan yang mereka alami, akibat keberadaan perusahaan semen di wilayah tersebut.
Foto: picture-alliance/NurPhoto
Melawan pabrik semen
Setelh terpasung semen selama dua hari, sembilan perempuan dari Kendeng mengakhiri aksi dengan membongkar semen yang sejak Selasa siang telah membelenggu kaki mereka, setelah aksi mereka dipastikan mendapat perhatian Presiden. Kawasan CAT Watu Putih Pegunungan Kendeng Rembang merupakan kawasan lindung geologis karena karakternya yang khas dan spesifik.
Foto: picture-alliance/NurPhoto
Gugat kerusakan lingkungan
Para Kartini ini merupakan para petani perempuan dari wilayah sepanjang pegunungan Kendeng yaitu Rembang, Pati, dan Grobogan, Jawa Tengah. Warga Kendeng menggugat pendirian pabrik semen di wilayah mereka karena dituding merusak lingkungan.
Foto: picture-alliance/dpa/D.Husni
5 foto1 | 5
Hentikan perkawinan anak bawah umur
Terkait isu perkawinan usia anak, meski hampir semua setuju untuk menghentikan perkawinan usia anak namun bukan berarti diskusi berjalan tanpa perdebatan. Para ulama perempuan ini dengan ketinggian ilmu agama terus menjelajahi teks dan mendiskusikan tafsir, menyesuaikan dengan konteks. Namun akhirnya juga disepakati bahwa "prinsip yang paling mendasar dalam pernikahan adalah kesepakatan dan kesukarelaan (al-ittifaq wat-taradli)dan menghilangkan kemadharatan (‘adamu adh-dharar) sehingga tidak boleh ada paksaan”. Para ulama perempuan bersepakat bahwa "agama Islam mewajibkan pencegahan segala bentuk kemadharatan. Kemashlahatan keluarga sakinah tidak bisa terwujud jika dalam pernikahan terjadi banyak kemadharatan. Pernikahan anak terbukti membawa kemadharatan, oleh karena itu mencegah pernikahan anak hukumnya adalah wajib”.
Tiga rekomendasi itu hanyalah sebagian saja dari rekomendasi lainnya yang dihasilkan dari kongres ulama perempuan. Tentu saja rekomendasi ini memberikan landasan kokoh bagi para pegiat hak-hak perempuan yang selama ini mendasarkan kerja-kerjanya dengan nilai-nilai Islam.
Pernikahan Anak di Asia
Pernikahan anak mewabah di Asia Selatan kendati dinyatakan ilegal oleh Undang-undang. Kemiskinan dan permusuhan antara suku sering menjadi alasan. Beberapa bocah yang dipaksa menikah bahkan belum mencapai usia lima tahun
Foto: picture-alliance/Pacific Press/M. Asad
Lari di Tahun Kelima
Bas Gul yang berusia 17 tahun bernasib muram. Saat usia 11 tahun ia dipaksa menikah dengan bocah berusia lima tahun. Di tahun kelima Bas Gul melarikan diri dan sejak itu bersembunyi di tempat penampungan khusus perempuan di Bamiyan, Afghanistan. Situasi perempuan di Hindukush dipersulit dengan budaya lokal yang cendrung diskriminatif terhadap kaum hawa.
Foto: Getty Images/P. Bronstein
Pengantin Balita
Seorang remaja berusia 16 tahun (ki) menuggu upacara pernikahan dengan bocah perempuan yang jauh lebih muda (ka) di India. Keduanya dinikahkan secara massal bersamaan dengan perkawinan 140 bocah lain yang berusia antara empat hingga 17 tahun. Orangtua dan lingkungan sosial berperan besar dalam budaya pernikahan anak di India.
Foto: Getty Images/AFP
Pernikahan Antar Klan di Pakistan
Pernikahan anak di Pakistan terutama dipraktekkan di wilayah kesukuan. Kebudayaan setempat mengenal tradisi pernikahan antara klan atau suku yang sering melibatkan anak di bawah umur. Menurut Institute for Social Justice, sebuah LSM di Pakistan, dalam banyak kasus pernikahan di bawah umur didorong oleh himpitan kemiskinan.
Foto: picture-alliance/R. Harding
Korban Permusuhan Keluarga
Dalam beberapa kasus kepolisian berhasil mencegah terjadinya pernikahan anak, seperti di Pakistan. Aparat keamanan lokal kemudian menahan ayah kedua calon mempelai. Kejaksaan menyeret mereka dengan dakwaan berupaya menikahkan bocah perempuan berusia empat tahun dengan bocah laki-laki berusia tujuh tahun. Pernikahan ini dimaksudkan untuk mengakhiri pertengkaran antara keluarga.
Foto: Getty Images/AFP/R. Tabassum
Tradisi Mengalahkan Konstitusi
Mamta Bai yang berusia 12 tahun, baru menuntaskan upacara pernikahan dengan bocah berusia 14 tahun, Bablu di Bhopal, India. Sejatinya pemerintah India telah melarang pernikahan anak. Namun Undang-undang belum mampu mengubah tradisi yang telah mengakar selama ratusan tahun.
Foto: picture-alliance/AP Photo/P. Hatvalne
Nikah Paksa di India
Sharadha Prasad (Ki) dan pengantin perempuannya Kumla Baiof (ka) ikut serta dalam upacara pernikahan massal untuk 50 remaja di bawah 18 tahun. Parlemen India sejak 2006 telah menelurkan Undang-undang yang melarang pernikahan di bawah umur. Tapi organisasi HAM mengeluhkan, ribuan bocah, beberapa dikabarkan berusia di bawah lima tahun, tetap dinikahkan secara paksa setiap tahunnya.
Foto: Getty Images/AFP/Str
Wabah di Bangladesh
Bangladesh termasuk memiliki tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Sepertiga perempuan Bangladesh mengaku menikah sebelum berusia 15 tahun. Kendati dilarang Undang-undang, orangtua mempelai bisa menyuap aparat negara untuk mengeluarkan sertifikat nikah. "Pernikahan anak sedang mewabah di Bangladesh," kata Heather Barr, peneliti untuk Human Rights Watch di Bangladesh.
Foto: picture-alliance/Pacific Press/M. Asad
7 foto1 | 7
Sebagai sebuah kongres yang baru pertama kali diadakan di Indonesia, inisiatif ini penting diapresiasi, meski masih ada beberapa catatan mengenai pelaksanaan. Tidak didiskusikannya isu-isu ‘panas' lain soal keragaman gender dan seksualitas misalnya atau sesi khusus terkait poligami, patut dipertanyakan. Namun entah mengapa saya masih selalu memiliki harapan bahwa isu-isu tersebut akan menjadi pembicaraan khusus di kongres ulama perempuan yang akan datang.
Dapat dipahami bahwa tantangan bagi ulama perempuan tidak bisa dianggap enteng. Para ulama perempuan masih harus menghadapi para ulama laki-laki yang berpandangan sempit dan masyarakat yang masih meremehkan keberadaan ulama perempuan. Keulamaan dianggap milik laki-laki. Penafsiran teks dengan menggunakan penafsiran yang adil jender menjadi sebuah kemewahan tersendiri. Oleh karena itu mari kita berharap agar rekomendasi yang ada benar-benar dijadikan patokan bagi para umat.
Penulis:
Tunggal Pawestri (ap/yf) adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.
@tunggalp
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Sisi Gelap Sunat Perempuan di Indonesia
Apakah masih terjadi sunat perempuan di lingkungan Anda? Atau Anda sendiri mengalaminya? Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak di dunia yang melaksanakan praktik sunat perempuan. Dampaknya bisa amat fatal.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Indonesia terbanyak ketiga
Dari sekitar 200 juta perempuan dan bocah perempuan di dunia yang disunat, lebih dari separuhnya berasal dari hanya tiga negara: Mesir, Ethiopia dan Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/Unicef/Holt
Di bawah umur
Data UNICEF memaparkan, dari 200 juta perempuan di dunia yang disunat, sekitar 44 juta anak perempuan. Mereka yang disunat di bawah usia 14 tahun, terbanyak di tiga negara ini: Gambia, Mauritania dan Indonesia. Hampir separuh anak perempuan di Indonesia mengalami sunat perempuan.
Berbagai alasan
Praktik sunat perempuan di Indonesia masih tetap terjadi. Ada berbagai alasan dilakukan sunat, di antaranya: tradisi, agama, kebersihan, sampai menghindari penyakit, menghilangkan kepekaan seksual saat dewasa, dll.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tak ada manfaat
Dr. Artha Budi Susila Duarsa dari lembaga Studi Kependudukan dan Gender Universitas Yarsi menyebutkan, khitan bagi perempuan tak ada manfaatnya. Sebaliknya, karena dilakukan di area sensitif, malah bisa menimbulkan bahaya, seperti kematian, misalnya. Demikian dikutip dari kompas.com,
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Aturan pemerintah
Tahun 2010/2011, Menteri Kesehatan pun mengeluarkan aturan yang mengharuskan sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tahun 2013, Kementerian Kesehatan melarang sunat perempuan. Tapi pada kenyataannya praktik sunat perempuan masih tetap berlangsung di masyarakat.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Bisa berakibat fatal
Sunat pada perempuan dapat menyebabkan sejumlah masalah fisik dan psikologis.WHO menyatakan, dalam beberapa kasus, perempuan meninggal kehabisan darah, pembengkakan, kena bakteri, sakit saat haid, sakit saat seks, infeksi saluran kemih, bahkan kematian. Tahun 2013, di Mesir, seorang bocah perempuan meninggal dunia usai disunat.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Berbagai jenis sunat perempuan
World Health Organization (WHO) membagi sunat perempuan dalam 4 jenis: 1. Memotong seluruh klitoris, 2. Memotong sebagian klitoris, 3. Menjahit atau menyempitkan mulut vagina, 4. Menindik/menggores jaringan di sekitar lubang vagina.
Salah satu bentuk kekerasan seksual
Para aktivis perempuan menentang praktik sunat perempuan yang dianggap melukai korban secara fisik dan mental. Komnas Perempuan mengidentifikasi sunat perempuan sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan.