1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

080810 Netanjahu Kommission

9 Agustus 2010

PM Israel Benjamin Netanyahu Senin (9/8) ini akan menghadap komisi penyelidikan terkait insiden penyerbuan kapal bantuan Gaza "Mavi Marmara" Mei lalu. Komisi yang dijuluki "macan ompong" itu diragukan keampuhannya

Siluet kapal Mavi Marmara di depan pantai IsraelFoto: AP

Siapa yang bertanggung jawab untuk eskalasi kekerasan berdarah pada saat aksi protes humaniter armada kapal bantuan internasional yang terjadi di perairan Gaza akhir bulan Mei lalu? Pertanyaan ini hendak dicari jawabannya oleh sebuah Komisi PBB serta sebuah komisi pengusut Israel mulai awal pekan ini.

Hari Senin (9/8) ini, PM Israel Benyamin Netanyahu akan tampil memberikan keterangannya di depan komisi pengusut Israel yang dipimpin mantan hakim Jakob Turkel. Walaupun begitu dari keterangan Netanyahu tidak diharapkan adanya kejutan.

Pasalnya komisi pengusut sebelumnya sudah memberi tahu PM Israel itu, tema apa saja yang akan menjadi bahan pertanyaan. Juga bahwa Netanyahu harus memberikan keterangannya kepada komisi pengusut, sudah disampaikan oleh ketua pengusut Turkel awal bulan Juli lalu. Netanyahu sudah menegaskan, ia pasti datang.

“Semua akan memberikan keterangan, saya, para menteri, panglima militer. Untuk itu tidak ada keraguan. Ia memerintahkan dan saya segera menyepakatinya," ujar Netanyahu.

Tugas Sulit Bagi Komisi Turkel

Permintaan keterangan dari tiga pejabat penting pengambil keputusan politik dan militer dalam kasus penyerbuan kapal Mavi Marmara yang menewaskan 9 warga Turki di atas kapal bantuan Gaza itu, ditangguhkan hingga pekan ini.

Netanyahu mendapat giliran pertama untuk memberikan pernyataan di depan komisi pengusut. Ia diperkirakan harus mengungkapkan kapan dan dalam volume seperti apa informasi yang diterimanya menyangkut aksi penyergapan armada kapal bantuan internasional untuk Jalur Gaza itu.

Tetapi tampilannya di depan komisi pengusut dipastikan tidak akan membuat Netanyahu terpojok. Sebab komisi pengusut yang diberi nama berdasarkan nama ketuanya, yakni Komisi Turkel dalam pandangan publik Israel ibaratnya adalah macan ompong. Kewenangannya baru diperluas setelah dilancarkannya kritik terus menerus lewat media massa.

Sekarang Komisi Turkel juga dapat meminta keterangan saksi di bawah sumpah. Akan tetapi tidak boleh meminta keterangan dari serdadu, dan hanya terbatas dari staf pimpinan militer saja.

Juga dua anggota internasional dari komisi, antara lain pemenang hadiah Nobel Perdamaian, David Trimble dari Irlandia Utara hanya mendapat status sebagai pengamat. Komisi Turkel terutama hendak mengusut, apakah Israel melanggar hukum internasional, ketika memerintahkan penyergapan armada kapal bantuan Gaza tsb.

Ehud Barak dan Gabi Aschkesi dalam Tekanan

Percakapan radio yang amat sibuk dan panik pagi hari tanggal 31 Mei menunjukkan dengan tegas, bahwa pasukan komando penyergapan kapal Turki Navi Marmara sangat kewalahan, ketika menghadapi aksi perlawanan. Terjadi perkelahian dan dilontarkan tembakan. Di akhir operasi militer Israel itu, sembilan warga Turki yang menjadi penumpang kapal bantuan Gaza tsb tewas. Beberapa diantaranya ditembak kepalanya dari jarak dekat. Pengusutan internal militer Israel menyebutkan, para serdadu bertindak untuk membela diri.

“Saya gembira bahwa pengusutan menyangkut proses operasi yang amat rumit dan melibatkan banyak pihak, tidak mengalami gangguan atau bertindak sembrono. Di lain pihak terlihat adanya kesalahan dalam sejumlah keputusan yang terutama dilakukan oleh para pimpinan,“ ujar Ketua tim pengusut, Giora Eiland.

Pimpinan militer Israel mengerahkan pasukan komando untuk melakukan penyergapan ke atas kapal Mavi Marmara, tanpa memberikan informasi memadai atau strategi alternatif. Demikian kesimpulan pengusut militer Israel. Karena itu Komisi Turkel akan menyidik, sejauh mana menteri pertahanan Ehud Barak dan kepala staf militer Gabi Aschkenasi mendapat informasinya.

Kedua pimpinan militer itu menyatakan sesaat setelah insiden berdarah, bahwa mereka sebelumnya merasa ragu-ragu. Pertanyaannya adalah, mengapa operasi militer itu dilanjutkan. Dan mengapa menteri Ehud Barak atau kepala staf militer Aschkenasi tidak mengambil tindakan untuk membatalkan perintah.


Tim Assmann/Agus Setiawan
Editor: Rizki Nugraha