Tekanan Meningkat di Jerman Untuk Tekan Cina Soal Hong Kong
8 Juli 2020
Hanya seminggu setelah pemberlakuan UU Keamanan di Hong Kong, Cina meresmikan kantor keamanan baru di wilayah administrasi khusus itu. Di Jerman, tekanan terhadap Kanselir Angela Merkel terkait isu Hong Kong meningkat.
Iklan
Cina bergerak cepat setelah memberlakukan UU Keamanan Nasional yang kontroversial di Hong Kong minggu lalu. Hari Rabu (8/7) Cina mengumumkan pembukaan kantor baru aparat keamanannya di kota Hong Kong.
"Kantor Penjaga Keamanan Nasional Pemerintah Pusat di Daerah Administrasi Khusus Hong Kong diresmikan Rabu pagi”, demikian laporan kantor berita pemerintah Cina, Xinhua. Sebelumnya, ratusan aktivis Hong Kong ditangkap dengan tuduhan melanggar UU Keamanan Nasional.
Di Jerman, tekanan meningkat terhadap Kanselir Angela Merkel agar bersikap lebih tegas menghadapi pelanggaran hak asasi dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh Cina. Apalagi, Jerman mulai 1 Juli mengambil alih kepemimpinan di Dewan Uni Eropa.
Hubungan dagang yang harmonis
Tapi sikap ragu Jerman untuk mengambil langkahkeras terhadap Cina bisa dimengerti. Terutama Angela Merkel selalu mencoba membangun hubungan baik dengan Cina demi melancarkan hubungan ekonomi dan dagang. Selama 15 tahun pemerintahannya, Angela Merkel sudah 12 kali berkunjung ke Beijing untuk membina hubungan baik itu. Volume perdagangan Jerman-Cina tahun 2019 mencapai 206 miliar euro.
Para kritikus mengatakan, sikap lunak Jerman terhadap Cina telah mengecewakan banyak aktivis dan pendukung pro-demokrasi di Hong Kong
"Jerman pada dasarnya tidak bersuara apa pun, dan menunjukkan respons yang sangat lunak terhadap Cina. Saya pikir orang-orang Hong Kong cukup cerdas, mereka akan menyadari itu," kata Didi Tatlow, pengamat politik di Lembaga Hubungan Luar Negeri Jerman DGAP kepada DW. Jerman tidak bisa memenuhi harapan banyak warga Hong Kong saat ini," tambahnya.
Tekanan ekonomi terhadap Cina?
Di Uni Eropa, tekanan juga meningkat dari beberapa kalangan politik yang mendesak agar ada “tanggapan terkoordinasi” terhadap apa yang terjadi di Hong Kong. Politisi senior partai Sosial Demokrat SPD Martin Schulz, yang juga mantan ketua parlemen Eropa mengatakan kepada DW, Eropa perlu memberi “pesan ekonomi yang jelas" ke arah Cina.
"Akses ke pasar untuk barang-barang Cina bisa diblokir jika (Cina) berulangkali tidak menghormati tanggung jawab dan tugas internasionalnya," kata Martin Schulz.
Pimpinan partai Demokrat Liberal FDP, Christian Lindner, menuntut langkah yang lebih tegas dan mengatakan, bisnis dan demokrasi tidak bisa “ditimbang satu sama lain”.
"Kita tidak bisa membiarkan nilai-nilai kita dibeli," kata Lindner dan menambahkan, ketergantungan ekonomi antara Uni Eropa dan Cina berlaku bagi kedua belah pihak. "Saya tidak berpikir kita perlu segera berspekulasi tentang sanksi (ekonomi), tetapi mendefinisikan posisi nilai-nilai sekarang harus menjadi tugas pemerintah Jerman."
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)
Foto: Reuters/B. Yip
10 foto1 | 10
Apa yang bisa dilakukan Jerman?
Tapi Katrin Kinzelbach dari Global Public Policy Institute (GPPi) mengatakan, berbicara tentang sanksi tanpa punya rencana yang jelas tentang bagaimana hal itu bisa dilakukan, tidak akan banyak membantu.
Sebagai gantinya, dia menyarankan untuk menggugat Cina ke Mahkamah Internasional di Den Haag, karena UU Keamanan Nasional yang baru diterapkan oleh Beijing merupakan pelanggaran jelas terhadap kesepakatan internasional yang tertuang dalam Deklarasi Bersama Cina-Inggris saat pengembalian Hong Kong tahun 1997.
"Beijing pasti akan menolak keterlibatan Mahkamah Internasional," kata Katrin Kinzelbach. "Tapi langkah seperti itu setidaknya akan mengirim pesan yang jelas bahwa undang-undang yang baru itu tidak dapat diterima."
Namun dia juga mengatakan, tidak hanya Jerman yang enggan mengambil langkah tegas, melainkan juga banyak negara lain yang punya kepentingan ekonomi. "Semua negara harus menyeimbangkan kepentingan mereka terhadap Beijing. Penting untuk dipahami, bahwa Merkel tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keputusan yang diambil di Beijing," kata Katrin Kinzelbach. Tapi dia menambahkan, suara Angela Merkel tetap penting.