1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teladan Kepemimpinan Umar yang Kian Memudar

4 April 2017

Bagi bangsa Indonesia, kisah kepemimpinan Umar bin Abdul Azis bisa menjadi pelajaran yang sangat bernilai bagi rakyat dan juga buat pejabat negara. Ikuti opini Sumanto Al Qurtuby berikut ini.

Symbolbild Gruppe mit Anführer
Foto: picture-alliance/dpa

Saat menyaksikan banyak para pemimpin politik atau kepala pemerintahan Muslim dewasa ini yang korup, tidak pro-rakyat, minim moralitas sosial, dan jauh dari rasa keadilan, saya selalu ingat dengan sosok legendaris dalam sejarah Islam: Umar bin Abdul Azis (682–720).

Sosok Umar merupakan peringatan sekaligus tamparan keras bagi para pemimpin Muslim khususnya yang hanya menggunakan agama (identitas keislaman) sebagai "kendaraan” untuk meraup kekuasaan serta jalan untuk korupsi dan memupuk kekayaan.

Memang, kontras dengan perilaku sejumlah "aktor politik” di Indonesia (khususnya aktor politik Muslim) yang hobi menggunakan (mengeksploitasi) agama (Islam) sebagai "kendaraan politik” semata, Umar berprinsip bahwa agama hanya dapat dipelihara dengan baik bila terdapat keadilan dan kebajikan. Suatu saat Khalifah Umar pernah menulis surat kepada bawahannya, Gubernur Kufah: "Jangan coba-coba mengurangi apa yang menjadi hak rakyat. Jangan paksa rakyat melakukan sesuatu diluar kemampuan mereka.”

Bagi Umar, kekuasaan adalah "titah Tuhan” yang harus dipelihara, dijaga, dan dirawat dengan baik. Menurutnya, kekuasaan bukanlah hadiah atau rezeki nomplok yang bisa dipakai untuk apa saja, melainkan sebuah mandat yang suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya baik oleh rakyat dan lebih-lebih oleh Tuhan sebagai pemberi mandat. Sebagai mandat Tuhan, maka sudah seharusnyalah jika para pemimpin bersikap adil, jujur, tegas dan sederhana. Keadilan, kejujuran, ketegasan dan kesederhanaan adalah komponen-komponen dasar untuk menyelenggarakan sebuah kekuasaan agar berjalan dengan baik.

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Kata-kata Umar itu bukanlah sejenis "kata mutiara” yang kosong-melompong tanpa makna yang dilontarkan seorang pemimpin di atas menara gading seperti kebanyakan pemimpin di bumi ini tetapi betul-betul dipraktikkan dalam tindakan nyata sehingga namanya harum semerbak dikenang sepanjang masa. Keteladanannya bukan hanya dikagumi oleh Muslim saja tetapi juga oleh non-Muslim. Itulah sebabnya ketika ia mendadak wafat, banyak orang menyesalinya.

Seorang Raja Bizantium berkomentar dengan murung menyesali kematian Umar, "Saya tidak terlalu heran melihat pertapa meninggalkan kesenangan duniawi agar dapat hanya menyembah Tuhan. Tapi saya sungguh kagum menyaksikan seorang pemilik kesenangan duniawi, yang tinggal mengambilnya dari telapak tangan malah menutup mata dan memilih hidup dalam kesalehan. Setelah Yesus, kalau ada orang yang mampu menghidupkan orang mati, Umar-lah orangnya.”

Siapakah Umar itu?

Dalam sejarah Islam, Umar adalah contoh dari sekelumit pemimpin politik-pemerintahan yang dikenal bijak, sederhana, jujur, dan anti korupsi serta menjunjung tinggi "amanat kepemimpinan” dengan baik. Ketika memimpin Dinasti Umayah di abad ke-8 M, ia mengabaikan kepentingan individu, keluarga, dan kelompok primordial demi mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. Umar adalah sosok pemimpin yang rela miskin demi kesejahteraan rakyatnya. Dikisahkan, makanan sang raja ini seperti makanan rakyat biasa karena ia hanya membelanjakan 2 dirham sehari.

Para sejarawan menulis, ketika Umar menjadi raja, ia menolak memakai semua fasilitas dan keistimewaan kerajaan seperti istana, dayang, budak, pembantu, jubah emas, dlsb. Kontras dengan gaya hidup para raja dan petinggi Dinasti Umayah pada umumnya dan juga gaya hidup para birokrat, pemimpin, dan politisi masa kini, Umar tidak membangun rumah pribadi atau villa yang megah. Ia lebih suka tinggal di kemah kecil. Sementara istana kepresidenan yang megah diserahkan kepada pendahulunya, Sulaiman bin Abdul Malik beserta keluarga, untuk ditempati.

Umar juga menolak pengawalan dan bahkan membubarkan 600 personil pengawal (semacam Paspampres) karena merasa pengawalan ketat hanya akan membuat jarak khalifah dengan rakyatnya. Sebelum menjadi khalifah, harta penghasilan pribadinya 50.000 dinar per tahun.

Tetapi segera setelah menduduki kursi kepala negara, ia menyuruh hartanya dilelang dan diserahkan ke Baitul Mal (semacam kas negara). Pendapatannya kemudian merosot tajam menjadi—hanya—200 dinar setahun. Itulah sebabnnya ketika wafat di Darus Siman—sebuah kompleks "pesantren” di dekat Himsh dan Homs, Umar hanya meninggalkan harta pribadi 17 dinar, itupun dengan wasiat agar sebagiannya dibayarkan untuk sewa rumah tempatnya tinggal dan sebagian lagi untuk membeli tanah makamnya.

Bukan hanya itu saja keteladanan Umar. Ia juga membagi-bagi tanah luas (termasuk kebun Fidak warisan Nabi Muhammad yang terkenal berisi ribuan tanaman korma) kepada masyarakat untuk didayagunakan. Ia memilih hidup sebagai seorang Sufi-asketis bersahaja meninggalkan gemerlap dunia persis seperti sahabat Abu Dzar al-Ghiffari. Ia menggunakan kekuasaan bukan sebagai tujuan hidup tetapi hanya sekedar sebagai sarana untuk menciptakan pemerintahan yang bersih serta mewujudkan kemakmuran rakyat dan keadilan sosial. Bukan hanya untuk dirinya, Umar juga memerintahkan keluarga dan bawahannya untuk mengikuti pola hidup yang sama dengannya, tidak "kemaruk” mentang-mentang menjabat dan berkuasa. 

Kisah keadilan, kejujuran, dan kesahajaan Umar sudah sangat masyhur karena ditulis oleh banyak sejarawan. Suatu hari, Umar mengundang makan malam para pejabat tinggi Dinasti Umayyah. Sebelumnya, dia sudah menginstruksikan para koki agar menunda dulu penyajian santapan. Ketika para undangan mulai tampak kadang-kadang menyentuh perut mereka (pertanda lapar), barulah Umar menyuruh agar para pelayan menyiapkan hidangan. Umar menyuruh agar para pelayan terlebih dulu menyajikan roti bakar. Makanan sederhana itu pun langsung disantap Umar yang kemudian diikuti oleh para tamu.

Tak berapa lama, santapan makan "menu utama” pun terhidang. Umar kemudian mempersilakan para pejabat untuk menyantapnya. Tapi para tamu menolak lantaran sudah kenyang. Pada waktu itu, Umar kemudian berkata, "Saudara-saudara. Jika kalian bisa memuaskan nafsu makan dengan makanan sederhana, mengapa harus serakah, sewenang-wenang sampai-sampai harus merampas milik orang lain?”. Hadirin yang merupakan para petinggi negara pun dibuatnya kecut, tertunduk malu. Itulah Umar: adil, tegas dan sederhana.

Ketegasan, keadilan dan kesederhanaannya itulah yang membuatnya dicintai oleh banyak orang, baik Muslim maupun bukan. Tetapi pada saat yang sama, ia juga dibenci oleh keluarga, kelompok, teman dekat serta orang-orang yang berhati busuk dan bermental korup dan serakah. Itulah resiko menjadi pemimpin adil dan bersih.

Bagai air di tengah musim paceklik

Kehadiran Umar dalam panggung kepolitikan Umayyah saat itu seperti air di tengah musim paceklik yang panjang atau di tengah gurun pasir yang kering-kerontang. Kita tahu, Umayyah adalah salah satu kerajaan Islam klasik yang didirikan di atas basis kekerasan dan militerisme yang bengis. Para pemimpin Umayyah sejak Mu'awiyah bin Abu Sofyan dikenal dalam lembaran sejarah Islam sebagai pemimpin yang bengal, kejam, dan tiran yang tidak segan-segan memanipulasi simbol-simbol agama untuk kepentingan pragmatis kekuasaan. Rakyat dipaksa tunduk mengikuti logika-logika kekuasaan tiranik yang dikembangkan para khalifah dan jaringannya.

Di tengah negeri yang hampir bangkrut dan di saat rakyat mengalami keputusasaan itulah, hadir sosok Umar. Sedikit demi sedikit ia menata negeri Umayyah dari puing-puing kehancuran: ekonominya, politiknya, kebudayaannya. Ia mencoba menghidupkan kembali sistem demokrasi yang dimatikan oleh rezim Umayyah. Sayang kekuasaan Umar hanya beberapa tahun saja namun demikian ia telah memberi pelajaran berharga buat para pemimpin sampai hari ini.

Kisah Umar adalah kisah kegetiran sekaligus harapan. Getir karena Umar hidup dalam sebuah masyarakat yang persis seperti digambarkan dalam cerpen Anton Chekhov, yang penuh kebusukan: sogok-menyogok, korupsi, konspirasi, penipuan, kekonyolan terjadi di hampir semua tingkatan masyarakat dari pejabat tinggi sampai pegawai rendahan—sebuah gambaran hidup yang juga menimpa masyarakat kita sekarang. Kisah Umar juga menyimpan sebuah harapan meskipun barangkali hanya secuil. Meski kita hidup dalam keterpurukan di semua level, kita tidak boleh menyerah pasrah, emoh politik, apriori terhadap kekuasaan. Sikap eskapisme (termasuk aneka pementasan atau "pameran spiritual” yang marak akhir-akhir ini) tidak akan menyelesaikan sebuah persoalan bangsa yang menggunung ini. Kita harus berbuat "sesuatu” bukan malah "pasrah-bongkoan” kepada Tuhan.

Mencari Umar untuk bangsa Indonesia

Bagi kita, bangsa Indonesia, kisah Umar bisa menjadi pelajaran yang sangat bernilai bagi rakyat juga buat pejabat negara. Bagi rakyat ada sebuah pelajaran supaya kita dalam memilih pemimpin politik-pemerintahan tidak asal-asalan, hanya didasarkan pada pertimbangan agama, ideologi, dan pragmatisme saja tidak didasarkan pada pertimbangan integritas, kapabilitas, atau kompetensi personal sang calon pemimpin.

Sejarah membuktikan, pemilihan berdasarkan pertimbangan agama maupun ideologi-pragmatis lebih banyak menimbulkan madlarat (baca, kerugian/kemunduran) ketimbang manfaat/maslahat (baca, keadilan sosial). Pilihlah sosok pemimpin yang memiliki kompetensi personal memadai sehingga mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.

Pemilihan langsung kepala negara / daerah adalah momentum berharga buat rakyat / warga Indonesia untuk memilih sang pemimpin politik-pemerintahan yang memiliki kualifikasi integritas dan kapabilitas memadai, bukan sosok pemimpin yang hanya bisa memobilisir massa dengan sentimen keagamaan, berkampanye dengan suara lantang dan bergemuruh tapi kosong tak bermakna, atau mengobral janji mau dekat dengar rakyat miskin atau bahasa sekarang "merakyat” tetapi hidup di rumah mewah dan bergelimangan harta sementara tetangganya hidup melarat tak terurus.

Dalam konteks ini, Umar adalah teladan dan sejarah yang berharga. Ketegasan, keadilan, kejujuran dan kesahajaan adalah prinsip hidup yang dipraktekkan Umar sehingga mampu memulihkan citra Umayyah yang bopeng. Spirit dan prinsip inilah yang hendaknya juga dijalankan oleh para pemimpin politik-pemerintahan di Indonesia khususnya agar ke depan Indonesia menjadi lebih baik. Sayangnya, spirit dan teladan Umar itu kini justru memudar. Para aktor politik saat ini malah rame-rame korupsi berjamaah, memanipulasi rakyat, membodohi masyarakat, dan memiskinkan negara. Wallahu ‘alam bishawab

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis