Tentang 'Pengkhianatan' Al-Ghazali dan Keterbelakangan Islam
11 Oktober 2017
Pada abad ke-11 umat muslim mulai menanggalkan tradisi sains dan berpaling kembali ke agama. Abu Hamid al-Ghazali dituding memicu pergeseran tersebut - sebuah kekeliruan sejarah, tulis jurnalis Hassan Hassan.
Iklan
Banyak yang telah disabdakan soal era keemasan ilmu pengetahuan Arab (800-1100), ketika dunia muslim menjadi mercusuar inovasi yang memicu pergolakan Renaissance dan gerakan pencerahan di Eropa. Tapi kegemilangan itu hanya tinggal sejarah.
Kini kontribusi dunia muslim terhadap perkembangan sains nyaris tidak terukur. India dan Spanyol saja memproduksi lebih banyak literatur ilmiah ketimbang dunia muslim. Kontribusi 57 negara muslim kepada dunia ilmu pengetahuan saat ini tidak lebih dari 1 persen dan secara umum berkualitas rendah.
Selama bertahun-tahun komunitas akademik menuduh teolog Islam Abu Hamid al-Ghazali yang hidup antara 1055 hingga 1111, secara sepihak membawa budaya Islam ke arah fundamentalisme agama dan menjauh dari kultur independen ilmu pengetahuan.
"Pengkhianatan" al-Ghazali
Adalah sebuah pergeseran intelektual ketika ia melabeli Falsafa, yang berarti filsafat tapi dengan kandungan ilmu logika, matematika dan fisika, bertentangan dengan Islam.
Dalam buku Tahafut al-Falasifa ia dikatakan "membunuh ilmu Falsafa sehingga tidak bisa lagi tumbuh di dunia muslim."
Berkat pengetahuannya yang nyaris tak berbanding dalam ilmu Falsafa dan Teologi, Al-Ghazali menyuntikkan sikap antipati terhadap sains di kalangan umat muslim yang akhirnya berujung pada kemunduran dan dalam proses tersebut kehancuran peradaban Islam, setidaknya menurut para akademis dan orientalis.
Di Penghujung Kekhalifahan Terakhir Islam
Bersama runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, dunia Islam kehilangan kekhalifahan terakhir di Bumi. Intrik, ambisi dan pengkhianatan mewarnai hari-hari terakhir kerajaan Islam terkuat dalam sejarah itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Enam Abad Utsmaniyah
Selama lebih dari enam ratus tahun Kesultanan Utsmaniyah memerintah di Timur Tengah. Kekuasaan mereka membentang dari Budapest hingga ke Sanaa, dari Aljir hingga ke Baghdad. Sejarahwan sepakat, Utsmaniyah hingga kini adalah imperium Islam terkuat dalam sejarah.
Foto: gemeinfrei
Akhir Pahit Kekhalifahan
Sempat memuncak di abad 16 dan 17 pada era Kesultanan Sulaiman Agung, kekuasaan Utsmaniyah mulai goyah di akhir abad ke 19 lantaran perang di luar negeri dan gejolak di dalam negeri. Terutama perang melawan Kekaisaran Rusia di kawasan Balkan banyak menguras kekuatan Utsmaniyah.
Foto: picture-alliance/akg-images
Imperium dalam Gejolak
Pada awal 1900an, Utsmaniyah digoyang sejumlah peristiwa besar, yakni revolusi Gerakan Turki Muda yang menuntut modernisasi, perang melawan Italia di Libya, pertempuran besar dalam Perang Balkan melawan Serbia, Montenegro, Yunani dan Bulgaria, serta percobaan kudeta oleh kaum reformis.
Foto: gemeinfrei
Triumvirat Pasha
Setelah kudeta imperium raksasa itu dikuasai tiga Pasha di awal abad ke20, yakni Menteri Dalam Negeri Mehmed Talaat Pasha, Menteri Kemaritiman Ahmed Djemal Pasha dan Menteri Perang Ismail Enver Pasha yang masih berusia muda. Lewat aksinya, ketiga Pasha kemudian menggariskan tanggal kematian imperium.
Foto: gemeinfrei
Ambisi Sang Menteri
Enver yang ambisius mengidamkan perang sebagai ajang demonstrasi kekuatan Turki. Tanpa mengabarkan anggota kabinet lain, sang menteri memerintahkan dua kapal perang Jerman agar menyamar sebagai kapal Turki dan menyerang pangakalan militer Rusia di Odessa, Sevastopol, dan Theodosia. Hasilnya Enver menyeret Turki ke kancah Perang Dunia I.
Foto: picture-alliance/akg-images
Kehancuran Total
Hasilnya adalah kehancuran total kekuatan militer Utsmaniyah. Satu per satu wilayah jajahannya direbut oleh Rusia, Inggris, Italia dan Perancis. Puncaknya adalah ketika imperium Eropa memaksa Turki menandatangani perjanjian Sèvres yang membagi-bagi wilayah Turki ke dalam negara kecil.
Khalifah Terakhir
Adalah Mehmet VI, khalifah ke-100 Islam dan sultan terakhir Utsmaniyah yang kemudian menuruti hampir semua tuntutan Eropa untuk bisa mempertahankan kekuasaannya. Corak pemerintahannya yang lemah membuat tuntutan untuk membubarkan kesultanan menguat. Terutama di tengah perang kemerdekaan Turki melawan Yunani.
Foto: gemeinfrei
Modernisasi Atatürk
Di hari penuh gejolak itu Mustafa Kemal Pasha, komandam militer Turki selama perang kemerdekaan, menjelma menjadi pahlawan rakyat. Praktis sejak kekalahan dalam PD II, Turki diperintah oleh kaum Kemalis. Kesultanan bahkan tidak berkutik ketika Kemal Pasha mulai melucuti kekuasaannya dan perlahan mengubah Turki menjadi negara sekuler modern.
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Mereka tidak keliru ketika membatasi periode sejarah ketika umat muslim mulai menanggalkan tradisi keilmuan dan inovasi teknologi, yakni pada abad ke-11. Tapi mereka keliru ketika menyalahkan Al-Ghazali. Karena sesungguhnya Abu Ali al-Hassan al-Tusi (1018-1092) yang lebih dikenal sebagai Nizam al-Mulk, Wazir agung dinasti Seljuk, yang mendorong kemunduran budaya ilmu pengetahuan di Arab.
Nizam al-Mulk menciptakan sistem pendidikan yang dikenal sebagai "Nizamiyah" yang fokus pada studi keagamaan dan mengorbankan kebebasan sains. Untuk pertamakalinya dalam sejarah Islam, pendidikan agama terinstitusionalisasi dan dianggap menawarkan peluang karir yang lebih menjanjikan ketimbang sains dan studi hukum Islam.
Nizamiyah dan Fundamentalisme Islam
Nizamiyah tidak hanya menyeret umat muslim agar fokus pada agama, tetapi juga mengadposi faham sempit tentang hukum Islam, yakni Mazhab Syafi'i. Mazhab tersebut mengedepankan prinsip-prinsip fundamental Syariah Islam dan mengabaikan pendekatan rasional yang dielu-elukan pada era Bani Umayyah di Suriah dan Abbasiyah di Irak.
Ketika kaum Syiah mulai membumi di Irak, Suriah dan Mesir, Nizamiyah dikembangkan untuk membatasi pengaruh aliran non Sunni. Sekolah-sekolah Nizamiyah didirikan di kota-kota besar di bawah pengawasan Abbasiyah dan Seljuk, termasuk di Baghdad, Isfahan dan di kawasan yang bermayoritaskan kelompok Syiah seperti Basra di Irak dan Al-Jazira di Suriah.
Kaum cendikiawan muslim saat itu mencatat meningkatnya tendensi di kalangan pelajar Islam untuk meninggalkan sekolah Falsafa dan beralih belajar agama di madrasah Nizamiyah. Sejumlah ulama Sunni bahkan mengeluhkan betapa semakin banyak cendikiawan muda muslim yang mengadopsi Mazhab Syafi'i.
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)
Foto: Reuters/I. A. Mustafa
8 foto1 | 8
Fenomena tersebut tidak mengejutkan, karena mereka yang mengenyam sistem pendidikan Nizamiyah tidak cuma dilengkapi dengan argumen tandingan untuk berdebat dengan kaum non Sunni atau bahkan pengikut mazhab non Syafi'i, tetapi juga berpeluang mendapat pekerjaan mentereng di pemerintahan.
Tudingan Sesat Terhadap al-Ghazali
Sistem Nizamiyah akhirnya dijadikan pedoman selama berabad-abad dan ditopang secara finansial dan politis oleh dinasti Seljuk yang membawa kaum muslim berpaling dari ilmu pengetahuan. Dinasti yang menggantikan Seljuk mengikuti jejak pendahulunya dan menetapkan Nizamiyah sebagai standar pendidikan Islam.
Kritik Al-Ghazali terhadap Falsafa sebenarnya diniatkan untuk membangun pemikiran kritis. Dia termasuk cendikiawan paling awal yang mendukung pemisahan antara ilmu sosial dan ilmu alam. Dia berdalih, kaum fundamentalis yang menanggap Falsafa bertentangan dengan agama, cendrung menolak semua pandangan yang diadopsi para filsuf Islam, termasuk fakta ilmiah seperti gerhana matahari dan bulan.
Sebab itu Al-Ghazali, dalam bab pendahuluan di bukunya itu, menyebut kaum fundamentalis sebagai "kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima kebohongan tanpa verifikasi."
Para orientalis sering menulis bahwa al-Ghazali "mengkhianati" sains. Tapi faktanya tidak ada cendikiawan muslim yang menggunakan pandangan Al-Ghazali untuk menyerang tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebaliknya ia tetap setia pada dunia filsafat. Tidak heran ketika Al-Ghazali meninggal dunia, murid-muridnya menulis betapa "guru kami telah menghirup Filsafat dan tidak mampu lagi memuntahkannya."
Hassan Hassan adalah jurnalis kelahiran Suriah yang aktif sebagai kontributor dan kolumnis untuk harian The National di Abu Dhabi, The Guardian, Foreign Policy dan New York Times. Ia antara lain dikenal berkat buku ISIS: Inside the Army of Terror yang menjadi bestseller di Amerika Serikat. Hassan kini bekerja sebagai peneliti senior di Tahrir Institute for Middle East Policy di Washington D.C.
Kehancuran Mekkah dan Madinah
Sejak menguasai dua kota suci, Mekkah dan Madinah, kerajaan al Saud secara sistematis menghancurkan berbagai situs bersejarah Islam. Langkah itu tidak cuma digerakkan oleh kepentingan bisnis haji, tapi juga keyakinan
Foto: picture-alliance/dpa/afp/Naamani
Ambisi Haji
Sejak jatuhnya harga minyak, pemerintah Arab Saudi ingin lebih cepat mengembangkan wisata Haji sebagai salah satu pondasi perekonomian. Salah satu proyek terbesar adalah perluasan Masjid al Haram di Mekkah dan pembangunan berbagai hotel berbintang di sekitarnya. Namun proyek tersebut bergulir dengan mengorbankan berbagai situs bersejarah dari era kelahiran Islam.
Foto: picture-alliance/dAP Photo/K. Mohammed
Makam Khadijah
Isteri pertama nabi Muhammad S.A.W, Khadijah binti Khuwaylid dimakamkan di kompleks pemakaman Jannatul Mualla di Mekkah. Namun tahun 1925, kompleks tersebut dibuat rata dengan tanah oleh Raja Ibn Saud. Termasuk yang menghilang adalah kubah yang menaungi makam Khadijah R.A.
Benteng Ayjad
Benteng yang tampak pada sisi kiri gambar dibangun tahun 1780 oleh kesultanan Utsmaniyah untuk melindungi Kabah dari serangan kelompok bandit yang kebanyakan berfaham Wahabi. Tahun 2002 kerajaan Arab Saudi menghancurkan benteng historis itu untuk membangun hotel berbintang lima, Mecca Royal Hotel Clock Tower. Langkah tersebut mengundang kecaman dunia. Namun Riyadh bergeming
Foto: public domain
Rumah Khadijah
Tidak cuma makam Khadijah yang dibuldozer kerajaan Arab Saudi, rumahnya yang terletak di dekat bukit Marwah juga lenyap pada saat perluasan Masjid al Haram. Kini lokasi tersebut diyakini telah menjadi toilet umum. Menurut catatan sejarah, nabi Muhammad tinggal selama lebih dari 20 tahun di rumah isteri pertamanya itu.
Foto: Fayez Nureldine/AFP/Getty Images
Maqbaratul Baqi'
Pemakaman historis ini antara lain menjadi pembaringan terakhir buat sejumlah keluarga nabi Muhammad dan juga khalifah ketiga, Uthman bin Affan. Kompleks pemakaman Al-Baqi' terutama dipercantik pada era kekhalifahan bani Umayyah. Tapi tahun 1926 raja Ibnu Saud memerintahkan pembongkaran musoleum dan makam, serta membuat kompleks al-Baqi' rata dengan tanah.
Foto: public domain
Petaka di Gunung Uhud
Termasuk makam yang dihancurkan adalah milik Hamza ibn ‘Abdul-Muttalib, paman nabi Muhammad yang meninggal dalam perang Uhud. Kompleks bersejarah di utara Mekkah itu kini dipagar. Pemerintah Arab Saudi juga menutup enam masjid di sekitar gunung Uhud, di mana nabi Muhammad diklaim pernah beribadah. Masjid ke tujuh, milik khalifah Abu Bakar as-Siddiq, dirubuhkan dan kini menjadi rumah ATM
Foto: Public Domain
Daftar Panjang
Daftar situs bersejarah Islam yang hancur oleh monarki Arab Saudi antara lain rumah kelahiran cucu nabi Muhammad, Hassan dan Hussein, makam Amina binti Wahab, ibu nabi Muhammad, kompleks makam Banu Hashim dan berbagai masjid atau makam yang dikhawatirkan bakal dijadikan tempat ziarah kaum Syiah.
Foto: Getty Images/AFP
Bayang-bayang Wahabisme
Penghancuran situs bersejarah Islam oleh kerajaan Arab Saudi tidak cuma digerakkan oleh motivasi bisnis semata, melainkan juga oleh faham Wahabisme yang melarang ziarah makam. Majelis Ulama Arab Saudi misalnya ikut berperan sebagai konsultan dalam berbagai proyek konstruksi di Mekkah dan Madinah.