Tentang Persepsi Bias Media Jerman Soal Islam di Indonesia
Bettina David
14 November 2019
Hukum pancung di Aceh dan pemberontakan terhadap larangan seks? Derasnya pemberitaan soal Indonesia tidak mencegah media Jerman terpeleset ke dalam konfirmasi bias tentang Islam di bumi nusantara, tulis Bettina David.
Iklan
Pandangan media terhadap Indonesia tidak hanya menjadi contoh, betapa persepsi kita terdistorsi oleh penilaian cepat terhadap segala sesuatu yang asing dan menempatkannya dalam kategori-kategori umum yang kasar, tetapi juga menjadi contoh bagi fantasi yang memproyeksikan kekuasaan dan dianggap sebagai fakta - meski memperkuat prasangka dan sebabnya terkesan realistis, sehingga bahkan awak redaksi surat kabar nasional pun tidak lagi menanggapinya dengan skeptisme yang sehat.
Setelah kejatuhan diktatur Suharto pada tahun 1998, negeri kepulauan yang menampung lebih banyak kaum muslim ketimbang di seluruh Jazirah Arab itu kembali menghirup kebebasan menyusul proses demokratisasi. Bersamaan dengan itu, kebebasan juga menghampiri gerakan Islamis yang sebelumnya ditekan.
Dalam pencarian identitas baru yang lebih modern dan global, Indonesia justru semakin berorientasi kepada agama. Kelas menengah yang dulu banyak dikenal sebagai 'Islam KTP' tiba-tiba mulai menemukan agamanya kembali. Pun jilbab yang dulu langka, kini menjadi penanda paling mencolok bagi identitas baru kaum muslim Indonesia.
Sisi lain gairah keimanan ini adalah konservatisme ideologi bangsa yang didiamkan atau digerakkan secara aktif oleh masyarakat. Tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan tata cara berpakaian dan berperilaku juga meningkat. Kaum minoritas semakin terdiskriminasi dan dipersekusi. Sementara masyarakat terbelah ke dalam kelompok-kelompok identitas dan kaum agamis garis keras berhasil mendikte diskurs nasional.
Semua itu diberitakan secara deras, tapi juga seringkali berat sebelah. Tidak ada misalnya laporan tentang gerakan kiri progresif pemuda muslim atau budaya diskusi yang meriah di kalangan mahasiswa muslim tradisional yang tidak melihat kontradiksi antara sholat lima waktu atau jilbab dengan pelajaran filsafat soal Habermas atau juga Lacan.
Seberapa sesat pemberitaan media Jerman juga terlihat dari kasus UU Anti Pornografi pada 2008 yang kontroversial dan masih dikutip hingga kini. Pembaca tanpa pengalaman di Indonesia akan mendapat kesan, bahwa pakaian minim untuk perempuan dilarang di Indonesia, karena mereka memahami Undang-undang sebagai aturan negara yang diterapkan secara efektif seperti di Jerman.
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS
Foto: AP
7 foto1 | 7
Namun nyatanya 11 tahun setelah pengesahan UU-Anti Pornografi dan Pornoaksi, hingga kini tidak terhitung penyanyi musik dangdut yang tampil di atas panggung dengan busana minim dan goyangan pinggul yang menggoda para penonton. Simak saja penampilan kedua penyanyi, Sintya Riske atau Desy Tata di Youtube.
Seseorang tidak bisa begitu saja menulis tentang UU-Anti Pornografi atau sejenisnya tanpa mempertimbangkan fenomena dangdut koplo misalnya, jika ingin membuat laporan yang berimbang dan membangun pengertian terhadap kerumitan sosial kultural bangsa multietnis yang besar ini.
Namun pemberitaan media dewasa ini tidak lagi tertarik mengemban misi tersebut. Terlalu menggiurkan alur cerita yang sederhana; bahwa Indonesia yang dulu toleran, moderan dan menjadi contoh kecocokan antara Islam dan Demokrasi, kini menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya dan segalanya menjadi lebih buruk. Kata kuncinya adalah Perda Syariah.
Alur semacam ini menawarkan pembenaran kilat atas pandangan pribadi, meski pembaca tidak banyak mengetahui tentang dinamika kontradiktif masyarakat Indonesia dan segala sesuatu yang menggerakkan manusia dalam dunianya yang sangat berbeda satu sama lainnya. Maka semakin mudah pula orang melupakan fakta.
April silam, sesaat menjelang Pemilihan Umum Kepresidenan, mingguan die Zeit menurunkan laporan panjang tentang Indonesia. Di bagian akhir penulis membubuhkan paragaraf sesat:
Aceh memang mengganjar hukuman cambuk bagi sejumlah delik moral, namun hukum rajam atau potong tangan tidak pernah ada atau tidak akan ada di masa depan. Meski Syariah Islam di Aceh bisa dinilai sebagai perkembangan yang mengerikan dan mengkhawatirkan, seorang editor harus tetap berpegang pada fakta. Namun dalam urusan Syariah Islam berlaku sebuah moto: bahwa semakin buruk penggambarannya, maka pasti semakin benar pula beritanya.
Spiegel Online saat itu melaporkan, "hukum Syariah bisa masuk dierapkan di seluruh negeri." Tentunya pembaca akan langsung berpikir tentang Islamic State, dan tentang Aceh, di mana hukum rajam diterapkan seperti yang dilaporkan Die Zeit.
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)
Foto: Reuters/I. A. Mustafa
8 foto1 | 8
Juga Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ) melihat seakan "Islamisme mencatat kemenangan mutlak" di Indonesia, kecuali tentunya mahasiswa yang sibuk berdemonstrasi menentang RKUHP. Jadi pertanyaannya kenapa harus membangun pandangan yang adil terhadap fakta, jika merapal drama kiamat lebih memuaskan untuk persepsi yang cendrung membelah dunia dalam kategori hitam dan putih?
Agak mengherankan jika para koresponden asing d Indonesia atau Asia Tenggara seringkali tidak mengetahui apa yang menggerakkan warga untuk turun ke jalan. Mahasiswa awalnya berdemonstrasi melawan upaya perlemahan Komisi Pemberantas Korupsi, lalu paragraf represif di RKUHP yang juga mengandung aturan baru tentang hubungan seksual, mereka juga memprotes kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan, militerisasi di Papua, persekusi terhadap para aktivis dan banyak hal lainnya.
Model pemberitaan semacam itu bukan tanpa ironinya sendiri. Bahwa justru FAZ yang sering melihat kabar dari Indonesia tidak cukup heboh, menulis "penduduk Indonesia melawan pemberlakukan Islamisme yang disponsori negara." Kalimat tersebut terbukti keliru. Karena mahasiswa tidak turun ke jalan untuk melawan "Islamisme" atau "Hukum Syariah."
Pemberitaan yang terdistorsi dan seringkali keliru ini memperjelas, bahwa pandangan terhadap negara-negara muslim yang secara tidak sadar dipaksakan ke dalam skema persepsi yang hanya mengenal perang antara ideologi "sekuler" dan "Islamis", antara kita dan mereka, akan kesulitan memahami proses sosial di tingkat lokal dan hanya melihat apa yang sesuai dengan kekhawatiran dan harapan sendiri.
Aksi demonstrasi di Indonesia bukan seperti yang diharapkan dunia barat, berkecamuk sebagai pemberontakan melawan Islamisme, melainkan hilangnya kepercayaan lintas ideologi terhadap institusi negara dan perwakilan yang korup.
Juga di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, segala sesuatunya tidak melulu berurusan dengan Islam. Masih ada banyak masalah lain yang dianggap lebih penting oleh masyarakat, meski bertolakbelakang dengan bayangan media-media barat. (rzn/vlz)
Bettina David adalah penulis bagi Qantara.de, situs dialog intelektual antara barat dan islam
Akhir September, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia turun ke jalan memprotes berbagai kebijakan pemerintah. Aksi penyampaian aspirasi di depan Gedung DPR dan berbagai wilayah sering berbuntut kericuhan.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Aksi di berbagai wilayah
Pada tanggal 23-24 September ribuan mahasiswa berdemonstrasi di depan Gedung DPR. Mereka menganggap sejumlah RUU (seperti RUU KUHP dan UU KPK) bermasalah dan menuntut agar dibatalkan. Selain di Jakarta, aksi mahasiswa juga terjadi di berbagai wilayah lain di Indonesia.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Bentrok dengan polisi
Beberapa aksi unjuk rasa mahasiswa berakhir ricuh. Aksi yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Medan di depan gedung DPRD Sumatera Utara pada Selasa (24/09) sore waktu setempat sempat memanas. Mahasiswa tampak mulai kesal karena tidak diizinkan masuk ke gedung dan dua ban bekas pun dibakar.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Adimaja
Ada provokator?
Sementara di Jambi, aksi juga mulai ricuh ketika massa menyerang kantor gedung DPRD dan mengakibatkan pecahnya kaca-kaca di gedung itu. Polisi sempat menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa. Sementara seorang orator mengimbau agar rekan-rekannya tidak terpancing provokator.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Korban jiwa di Sulawesi
Di Sulawesi, demonstrasi mahasiswa menelan korban jiwa. Aksi yang berujung bentrok dengan polisi di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara pada Kamis (26/09) menyebabkan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, meninggal dunia. Yusuf Kardawi meninggal akibat luka parah di kepala, sementara Randy meninggal tertembak peluru tajam.
Foto: Reuters/Antara Foto/A. Abhe
Investigasi kasus di Kendari
Presiden Joko Widodo menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya kedua mahasiwa tersebut. Selain itu ia juga menegaskan dalam penanganan demonstrasi mahasiswa, pihak kepolisian tidak diberikan perintah untuk membawa senjata berpeluru tajam. Jokowi memerintahkan Kapolri untuk menginvestigasi kasus ini dan memeriksa seluruh jajaran kepolisian yang diterjunkan di lokasi pada saat bentrok terjadi.
Foto: Reuters/Antara Foto/I. Eko Suwarso
Aksi demonstrasi juga diikuti pelajar
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof. Koentjoro, aksi pelajar adalah bentuk konformitas dengan kelompoknya dan tidak memiliki tujuan konkrit seperti aksi mahasiswa. “Saya kira enggak, mereka pikirannya belum sampai di situ. Kalau kakak-kakak mahasiswa itu kan sudah punya ... tujuan tertentu. Kalau anak-anak ini mereka kumpul-kumpul bareng saja,” jelasnya seperti dikutip dari Kompas.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Batu dan bom molotov
Di Jakarta, sekitar 500 pelajar dan mahasiswa sempat mendekam di tahanan kepolisian menyusul kerusuhan selama aksi demonstrasi . Dalam beberapa kasus, sejumlah demonstran dikabarkan melemparkan batu dan bom molotov ke arah aparat keamanan.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Pasta gigi lawan gas air mata
Mahasiswa dengan wajah beroleskan pasta gigi menjadi pemandangan lazim pada aksi demonstrasi. Pasta gigi di sekitar mata diyakini bisa meredam efek perih dari tembakan gas air mata aparat keamanan.
Foto: DW/D. Purba
Meriam air andalan polisi
Pada demonstrasi di Gedung DPR RI, Jakarta, gas air mata dan meriam air menjadi andalan polisi anti huru hara untuk memukul mundur demonstran dan membubarkan konsentrasi massa. Demonstran berusaha merangsek masuk ke halaman gedung DPR. (za/hp)