1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tentang Waria, HIV/AIDS, dan ODHA

11 Desember 2017

HIV/AIDS bukan kutukan. Menjadi ODHA bukanlah akhir segalanya. Namun perlu diingat, keliru menyudutkan kaum waria atas hal ini. Opini Rahadian Rundjan.

Thailand Schönheitswettbewerb Transsexuelle
Foto: Getty Images

Pada tahun 2015 lalu, saya berkesempatan menemani seorang jurnalis Perancis menemui Yulianus Rettoblaut di tempat tinggalnya di Jakarta Selatan, sebuah pertemuan hangat yang membuka mata saya mengenai kondisi waria di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Mami Yuli, panggilan akrab Yulianus, juga ketua Forum Waria se-Indonesia yang namanya ternyata sudah cukup dikenal di Perancis, membeberkan kepada kami beragam cerita pilu selama 54 tahun menjalani hidup sebagai seorang waria: penolakan masyarakat umum, romansa dan kekerasan domestiknya, juga kegeramannya terhadap  kaum waria  itu sendiri.

Waria berdarah Papua yang mulai merasakan kewanitaannya bangkit di masa remaja tersebut menyayangkan stigma negatif yang kerap dilabeli secara serampangan kepada kaum waria. Karena itulah, ia bertekad mengubahnya dengan menjadi waria Indonesia terdidik yang pertama. Saat itu dirinya baru saja mendapatkan gelar master di bidang hukum, dan tidak putus di situ, ia juga bertekad untuk segera mengambil gelar doktor. Menurutnya, pendidikan adalah kunci utama untuk mengangkat posisi tawar dan hak-hak kaum waria, serta membangun citra positif mereka di mata publik.

Penulis : Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Harapan suci tersebut realitanya merupakan jalan berbatu, mengingat penolakan terhadap kaum waria, baik berdalih agama maupun kejijikan visual semata, masih begitu kental. Belum lagi ulah para waria bandel yang enggan berbenah dan justru menimbulkan masalah di jalan-jalan, khususnya terkait dengan prostitusi dan aktivitas seks beresiko yang kemudian meningkatkan penyebaran kasus HIV/AIDS di kalangan waria itu sendiri dan orang-orang yang melakukan interaksi seksual dengan mereka. Menurut data terbaru dari aidshealth.org, tercatat setidaknya 20-40% kasus HIV/AIDS di Indonesia dapat ditemukan di kalangan waria.

Edukasi Minim, ODHA Meningkat

Waria dan HIV/AIDS di Indonesia memiliki kedekatan historis. Pada 1983, dokter Zubairi Djoerban, salah seorang tenaga medis Indonesia pertama yang merintis penelitian mendalam terhadap HIV/AIDS, melakukan penelitian pada kalangan waria di Pasar Rumput, Jakarta. Dari 15 orang yang diperiksa, 3 di antaranya memenuhi kriteria diagnosis AIDS, ditandai dengan penurunan kadar sel CD4 dalam tubuhnya, yang menjadi ciri khas orang yang terjangkit virus HIV, atau biasa disebut ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Kasus HIV/AIDS sendiri pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat tahun 1981.

Kasus AIDS di Indonesia dilaporkan pertama kali pada 1987. Korbannya adalah Edward Hop, turis Belanda di Bali. Di tahun itu pula Indonesia menjadi negara Asia ke-13 yang melaporkan kasus AIDS ke organisasi kesehatan dunia PBB, WHO. Sejak itu, tercatat tiap bulannya satu atau dua kasus AIDS baru dilaporkan di berbagai rumah sakit, angka yang kecil namun cukup menjadi alasan bagi Presiden Suharto untuk meneken Keputusan Presiden Nomor 36/1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS pada 1994.

Pengingkaran terhadap HIV/AIDS di awal mula kemunculannya di Indonesia perlahan menjadi penerimaan. Penelitian dan pendataan kasus HIV/AIDS kian digencarkan. Tercatat, jumlah ODHA di Indonesia kian membesar, data terbaru dari aidshealth.org menyatakan setidaknya ada 421.000 ODHA di Indonesia yang terbagi dalam lima kelompok besar, yakni pemakai narkoba suntik, perempuan pekerja seksual, laki-laki pekerja seksual, kaum homoseksual, dan waria. Penyebab melonjaknya angka tersebut bermacam-macam, utamanya buruknya faktor sosial dan ekonomi yang menyebabkan seseorang menjadi ODHA akibat aktivitas seks beresiko dan konsumsi narkoba.

Baca:

Menghentikan Kebencian dan Kekerasan Terhadap LGBT

Mami Yuli sempat memperkenalkan saya seorang temannya, waria yang sudah menikah, juga seorang ODHA. Tidak ada yang menakutkan dari perawakan dirinya, baik sebagai seorang waria maupun ODHA. Virus HIV tidak menular melalui udara dan sentuhan kulit, sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk mengambil jarak dengannya. Sayangnya, masyarakat awam masih cenderung abai terhadap fakta-fakta medis tersebut dan justru mengisolasi para ODHA dari pergaulan sosial. Terlebih kaum waria, yang kian terpojok akibat kian lekatnya stigma waria sebagai pembawa berbagai penyakit seksual.

Apakah keberadaan waria di Indonesia selalu membawa masalah? Tidak selalu, namun eksistensi mereka memang terpinggirkan di berbagai zaman. Baru pada zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, waria dan hak-haknya mulai dirangkul. Istilah ‘banci' dan ‘bencong' yang berkonotasi negatif diganti dengan ‘wadam', singkatan dari wanita adam, yang kemudian berubah menjadi ‘waria', wanita pria. Tahun 1969, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri, yang difasilitasi oleh Ali. Pesan Ali sederhana: waria harus berdaya guna, berpendidikan, bekerja secara halal, dan tidak melacurkan diri di jalan-jalan.

Mami Yuli mungkin sedikit dari waria yang masih mengamalkan pesan Ali, dan kemiskinan serta  HIV/AIDS menjadi momok  bagi waria lain yang kurang beruntung. Saat tahun lalu saya mengunjungi Ruang Carlo, sebuah klinik untuk melakukan tes HIV secara gratis yang terletak di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, seorang suster bercerita bahwa mayoritas orang yang belakangan terdiagnosa AIDS di klinik tersebut pernah melakukan hubungan seksual sesama jenis, termasuk dengan waria. Hal ini terjadi karena minimnya edukasi seks yang aman di kalangan mereka.

Kini bukan waktunya kita semua berdiam diri menanggapi fenomena tersebut, sebuah aksi harus dimulai. Setidaknya dua solusi sederhana dapat kita terapkan: apresiasi dan toleransi.

Baca:

Revolusi Gender

Sibuk Tolak LGBT, Ilmu Pengetahuan Tertinggal

Apresiasi dan Toleransi

Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam menghapus stigma yang berseliweran di seputar HIV/AIDS, waria, dan ODHA, tentu saja dengan cara merancang konseling dan kebijakan tepat sasaran. Misalnya, Peraturan Daerah tentang kewajiban melakukan tes HIV bagi pasangan yang ingin menikah di berbagai daerah dapat menjadi bumerang. Hasil negatif belum tentu bebas HIV, karena virus HIV baru bisa terdeteksi minimal 3 bulan setelah ia menjangkiti seseorang. Artinya, seorang yang tidak sadar dirinya ODHA beresiko menularkan virus HIV kepada istri dan anaknya kelak.

Dan merupakan sebuah kekeliruan untuk menyudutkan kaum waria, sudah saatnya membangun sebuah pengertian, baik secara sosial, ekonomi, politik, HAM, dan lain-lain. Nihilnya pengertian itulah yang menyebabkan kejatuhan harkat dan martabat waria selaku sesama warga negara Indonesia selama ini. Apresiasi itu dapat dilakukan secara sederhana: jangan berprasangka buruk, dan jangan melecehkan secara verbal maupun nonverbal. Isu-isu LGBT positif yang beberapa tahun belakangan berhembus sejatinya merupakan angin segar untuk membangun toleransi terhadap waria, dan juga permasalahan  HIV/AIDS serta ODHA di kalangan mereka.

Hal lain yang harus dilaksanakan adalah membangun opini publik yang mampu menggambarkan bahwa hidup sebagai waria bukanlah kelainan, HIV/AIDS bukan kutukan, dan menjadi ODHA bukanlah akhir segalanya. Memang, ketiga hal tersebut masih kerap dianggap tabu, namun eksistensi Mami Yuli, dan para waria berprestasi lainnya di dunia, merupakan bukti bahwa mereka juga manusia yang dengan kerja kerasnya mampu berkontribusi bagi lingkungannya layaknya orang-orang lain pada umumnya. Bukankah sudah saatnya masyarakat Indonesia lepas landas dalam pemikiran dan menjadi lebih toleran terhadap sesamanya?

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.