HIV/AIDS bukan kutukan. Menjadi ODHA bukanlah akhir segalanya. Namun perlu diingat, keliru menyudutkan kaum waria atas hal ini. Opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Pada tahun 2015 lalu, saya berkesempatan menemani seorang jurnalis Perancis menemui Yulianus Rettoblaut di tempat tinggalnya di Jakarta Selatan, sebuah pertemuan hangat yang membuka mata saya mengenai kondisi waria di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Mami Yuli, panggilan akrab Yulianus, juga ketua Forum Waria se-Indonesia yang namanya ternyata sudah cukup dikenal di Perancis, membeberkan kepada kami beragam cerita pilu selama 54 tahun menjalani hidup sebagai seorang waria: penolakan masyarakat umum, romansa dan kekerasan domestiknya, juga kegeramannya terhadap kaum waria itu sendiri.
Waria berdarah Papua yang mulai merasakan kewanitaannya bangkit di masa remaja tersebut menyayangkan stigma negatif yang kerap dilabeli secara serampangan kepada kaum waria. Karena itulah, ia bertekad mengubahnya dengan menjadi waria Indonesia terdidik yang pertama. Saat itu dirinya baru saja mendapatkan gelar master di bidang hukum, dan tidak putus di situ, ia juga bertekad untuk segera mengambil gelar doktor. Menurutnya, pendidikan adalah kunci utama untuk mengangkat posisi tawar dan hak-hak kaum waria, serta membangun citra positif mereka di mata publik.
Harapan suci tersebut realitanya merupakan jalan berbatu, mengingat penolakan terhadap kaum waria, baik berdalih agama maupun kejijikan visual semata, masih begitu kental. Belum lagi ulah para waria bandel yang enggan berbenah dan justru menimbulkan masalah di jalan-jalan, khususnya terkait dengan prostitusi dan aktivitas seks beresiko yang kemudian meningkatkan penyebaran kasus HIV/AIDS di kalangan waria itu sendiri dan orang-orang yang melakukan interaksi seksual dengan mereka. Menurut data terbaru dari aidshealth.org, tercatat setidaknya 20-40% kasus HIV/AIDS di Indonesia dapat ditemukan di kalangan waria.
Edukasi Minim, ODHA Meningkat
Waria dan HIV/AIDS di Indonesia memiliki kedekatan historis. Pada 1983, dokter Zubairi Djoerban, salah seorang tenaga medis Indonesia pertama yang merintis penelitian mendalam terhadap HIV/AIDS, melakukan penelitian pada kalangan waria di Pasar Rumput, Jakarta. Dari 15 orang yang diperiksa, 3 di antaranya memenuhi kriteria diagnosis AIDS, ditandai dengan penurunan kadar sel CD4 dalam tubuhnya, yang menjadi ciri khas orang yang terjangkit virus HIV, atau biasa disebut ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Kasus HIV/AIDS sendiri pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat tahun 1981.
Kehidupan Waria di Kampung Bandan
Kampung Bandan di Jakarta Utara akan disulap menjadi stasiun megah. Di kampung ini menetap para waria yang hidupnya tergantung pada area itu. Banyak dari mereka mengonsumsi obat anti letih. Simak bagaimana kesehariannya.
Foto: DW/M. Rijkers
Membebaskan diri dari kekangan sosial
Sore hari Kezia sudah selesai merias wajah dan menata rambutnya. Sabtu adalah malam panjang buat waria seperti Kezia. Kezia sudah siap mengamen sebagai pekerjaan utamanya. Lahir sebagai Reza, Kezia memilih menjadi waria dan tinggal di Kampung Bandan, kawasan padat penduduk miskin meski ayahnya tergolong mampu dan sudah membelikan rumah untuk anak laki-lakinya di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.
Foto: DW/M. Rijkers
Berjalan jauh dengan hak tinggi
Gaun, tas dan sepatu hak tinggi merupakan andalan Darno yang mengubah namanya menjadi Vera, dalam meraup rupiah. Dari jam 19 hingga 2 pagi, Vera menelan sirup obat batuk merek tertentu sebanyak 30 bungkus per hari agar kuat berjalan jauh, mengamen. Pilihan lain.,obat penenang atau pereda sakit yang dibeli dari apotek secara diam-diam. Pemakaian obat secara berlebihan bisa berakibat fatal.
Foto: DW/M. Rijkers
Ruang hidup di kamar sempit
Di kamar kontrakan berukuran 1,5 x 2,5 meter seharga 400 ribu rupiah sebulan ini, Ella dan Dede tinggal bersama. Pasangan ini sudah hidup bersama selama tujuh tahun. Dede bekerja menyewakan alat mengamen untuk para waria dengan ongkos lima puluh ribu rupiah seminggu.
Foto: DW/M. Rijkers
Komitmen pada kesetiaan
Ella bekerja mengamen tanpa kencan dengan pria lain karena ia sudah berkomitmen setia pada Dede. Sama seperti Vera, Ella mengaku memerlukan obat-obatan agar tidak letih berjalan kaki.
Foto: DW/M. Rijkers
Terbiasa hidup dengan obat anti letih
Kosmetik termasuk kebutuhan utama para waria. Alas bedak, bedak dan umumnya setiap waria bisa dandan sendiri. Namun ada kalanya para waria saling bantu merias wajah teman. Seperti yang lainnya, merekapun mengkonsumsi obat anti letih.
Foto: DW/M. Rijkers
Siap mencari nafkah
Butuh waktu minimal dua jam untuk merias wajah, mengubah raut muka pria menjadi perempuan. Selain rias wajah, rambut palsu atau wig menjadi pelengkap andalan para waria.
Foto: DW/M. Rijkers
Operasi payudara di Singapura
Christine operasi payudara di Singapura pada tahun 2015 silam. Butuh biaya 12 juta rupiah untuk menambah silikon padat seberat 100 cc. Christine mengaku bekerja sebagai PSK di Taman Lawang. Sama seperti Vera dan Ella, Christine mengaku mengonsumsi obat-obatan agar kuat berdiri dan tidak lekas lelah.
Foto: DW/M. Rijkers
Ketika mereka sakit...
Emak tinggal di kamar berdinding tripleks di lantai atas sebuah kamar kontrakan di Kampung Bandan. Sewa kamar sempit ini 250 ribu rupiah sebulan. Hari itu Emak sedang sakit di bagian kanan perut dan rongga dadanya sehingga ia tidak mengamen.
Foto: DW/M. Rijkers
Layanan kesehatan gratis belum diperoleh
“Saya baru mau periksa dokter nanti kalau pulang ke Cikarang,” tutur Emak sendu. Layanan kesehatan gratis bagi warga belum bisa diakses oleh kelompok marjinal ini.
Foto: DW/M. Rijkers
Aktif ikuti kegiatan rohani
Dian waria tertua di Kampung Bandan. Usianya sudah 67 tahun. Ia menjadi waria ketika berusia 19 tahun. Karena sudah tua, Dian cuma mengamen 2 kali seminggu. Waria kerap dinilai tak peduli soal keimanan. Namun Dian, yang baru memeluk agama Kristen, mengaku cukup relijius. Dian aktif mengikuti kegiatan rohani serta datang beribadah setiap Minggu di gereja. Saat beribadah ia memakai pakaian pria.
Foto: DW/M. Rijkers
Akan disulap menjadi stasiun
Terletak di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, Kampung Bandan dikenal sebagai kampung waria. Saat ini ada sekitar 27 waria yang tinggal di sini, area padat penduduk di pinggir rel kereta api. Biaya sewa kamar bervariasi mulai dari 200 ribu hingga 400 ribu rupiah sebulan.
Foto: DW/M. Rijkers
Tantangan dari luar
Beberapa kalangan warga Kampung Bandan tidak menolak kehadiran para waria. Tantangan sebagai waria justru datang dari kelompok ormas keagamaan yang kerap menyerang waria jika bertemu di kendaraan umum atau di jalanan. Jika kampung ini berubah wajah menjadi stasiun modern, bagaimana nasib mereka nanti?(Monique Rijkers/ap/vlz)
Foto: DW/M. Rijkers
12 foto1 | 12
Kasus AIDS di Indonesia dilaporkan pertama kali pada 1987. Korbannya adalah Edward Hop, turis Belanda di Bali. Di tahun itu pula Indonesia menjadi negara Asia ke-13 yang melaporkan kasus AIDS ke organisasi kesehatan dunia PBB, WHO. Sejak itu, tercatat tiap bulannya satu atau dua kasus AIDS baru dilaporkan di berbagai rumah sakit, angka yang kecil namun cukup menjadi alasan bagi Presiden Suharto untuk meneken Keputusan Presiden Nomor 36/1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS pada 1994.
Pengingkaran terhadap HIV/AIDS di awal mula kemunculannya di Indonesia perlahan menjadi penerimaan. Penelitian dan pendataan kasus HIV/AIDS kian digencarkan. Tercatat, jumlah ODHA di Indonesia kian membesar, data terbaru dari aidshealth.org menyatakan setidaknya ada 421.000 ODHA di Indonesia yang terbagi dalam lima kelompok besar, yakni pemakai narkoba suntik, perempuan pekerja seksual, laki-laki pekerja seksual, kaum homoseksual, dan waria. Penyebab melonjaknya angka tersebut bermacam-macam, utamanya buruknya faktor sosial dan ekonomi yang menyebabkan seseorang menjadi ODHA akibat aktivitas seks beresiko dan konsumsi narkoba.
Mami Yuli sempat memperkenalkan saya seorang temannya, waria yang sudah menikah, juga seorang ODHA. Tidak ada yang menakutkan dari perawakan dirinya, baik sebagai seorang waria maupun ODHA. Virus HIV tidak menular melalui udara dan sentuhan kulit, sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk mengambil jarak dengannya. Sayangnya, masyarakat awam masih cenderung abai terhadap fakta-fakta medis tersebut dan justru mengisolasi para ODHA dari pergaulan sosial. Terlebih kaum waria, yang kian terpojok akibat kian lekatnya stigma waria sebagai pembawa berbagai penyakit seksual.
Waria Menyatu Dalam Panggung Ludruk
Selain ketoprak dan wayang kulit, ludruk merupakan seni budaya tradisional yang lama mengakar dalam masyarakat Jawa Timur. Kehadiran waria menjadi bagian dari seni itu sendiri.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tak lekang dimakan zaman
Berbagai jenis kesenian modern terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Namun pertunjukan ludruk masih terus bertahan. Selain menampilkan hikayat, kisah-kisah yang diangkat dalam ludruk tak lepas dari cerita keseharian masyarakat. Cerita dan tari gemulai yang dibumbui lawakan yang diiringi dengan alunan musik gamelan ini jadi tontonan yang banyak ditunggu penggemarnya.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Meraih penghargaan
Salah satu kelompok ludruk yang terkenal di Mojokerto, Jawa Timur adalah Ludruk Karya Budaya. Kelompok kesenian ini lahir tanggal 29 Mei 1969. Dalam kiprahnya di dunia kesenian tradisional, kelompok Ludruk Karya Budaya Mojokerto telah mengantungi banyak perhargaan. Tahun 2010, grup ini mendapat penghargaan dari gubernur Jawa Timur karena dianggap memperhatikan kesejahteraan anggotanya.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Karena tak boleh sepanggung
Pada awalnya seluruh pemain dalam kelompok seni ini adalah laki-laki. Dalam risetnya "Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan", Ganisa Rumpoko menulis, kehadiran waria dalam ludruk, berawal dari aturan di pesantren Jawa Timur—yang melarang lelaki dan perempuan sepanggung. Maka, ludruk diisi oleh pria yang berdandan layaknya perempuan, untuk menggantikan peran perempuan asli.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kehadiran waria
Antropolog AS James L. Peacock yang meneliti ludruk menyebutkan ludruk sudah ada sejak abad ke-13, pada masa Kerajaan Majapahit. Namun data soal saksi mata pertama yang menonton pertunjukan ludruk ditemukan tahun 1800-an. Saksi mata menggambarkan tokoh ludruk berupa pemain dagelan dan waria. Waria yang tampil dalam panggung ludruk terus berlanjut hingga ke bentuknya yang mendekati teater.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tantangan isu LGBT
Berikut Neni Wijaya sebelum bersiap pentas dan siap pentas. Ia menjadi penari dalam panggung ludruk. Tahun 2016, tentangan terhadap keberadaan lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT) semakin menguat. Meski demikian, para waria yang tergabung dalam ludruk tetap menunjukan totalitasnya dalam berkesenian.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Mandiri secara ekonomi
Yang ini, Pur sebelum pentas dan saat bersiap naik panggung. Para waria yang tergabung dalam kelompok ludruk mendapatkan perhatian khusus untuk tetap mandiri secara ekonomi adalah melalui penguatan keterampilan feminin seperti menjahit, salon, dan wirausaha, demikian dikutip dari hasil penelitian yang diterbitkan Universitas Airlangga.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Memasuki usia senja
Berdandan, berganti kostum, kembali naik panggung, demikian rutinitas mereka dalam berkarya. Kini meski banyak yang memasuki usia senja, tak berarti mengurangi totalitas mereka dalam berpentas. Banyolan dan polah mereka masih menghibur penonton hingga terpingkal-pingkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Waria bagian dari ludruk
Waktu menggerus zaman, seni modern berdampingan dengan seni tradisional. Namun seiring berjalannya waktu, kehadiran waria kemudian tak terpisahkan dalam kesenian ludruk. Editor : ap/vlz
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
8 foto1 | 8
Apakah keberadaan waria di Indonesia selalu membawa masalah? Tidak selalu, namun eksistensi mereka memang terpinggirkan di berbagai zaman. Baru pada zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, waria dan hak-haknya mulai dirangkul. Istilah ‘banci' dan ‘bencong' yang berkonotasi negatif diganti dengan ‘wadam', singkatan dari wanita adam, yang kemudian berubah menjadi ‘waria', wanita pria. Tahun 1969, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri, yang difasilitasi oleh Ali. Pesan Ali sederhana: waria harus berdaya guna, berpendidikan, bekerja secara halal, dan tidak melacurkan diri di jalan-jalan.
Mami Yuli mungkin sedikit dari waria yang masih mengamalkan pesan Ali, dan kemiskinan serta HIV/AIDS menjadi momok bagi waria lain yang kurang beruntung. Saat tahun lalu saya mengunjungi Ruang Carlo, sebuah klinik untuk melakukan tes HIV secara gratis yang terletak di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, seorang suster bercerita bahwa mayoritas orang yang belakangan terdiagnosa AIDS di klinik tersebut pernah melakukan hubungan seksual sesama jenis, termasuk dengan waria. Hal ini terjadi karena minimnya edukasi seks yang aman di kalangan mereka.
Kini bukan waktunya kita semua berdiam diri menanggapi fenomena tersebut, sebuah aksi harus dimulai. Setidaknya dua solusi sederhana dapat kita terapkan: apresiasi dan toleransi.
Wajib Militer: Mimpi Buruk Transgender di Thailand
Dalam antrian perekrutan pria yang harus ikut wajib militer di Thailand selalu tampak sosok-sosok feminin. Mereka dari kelompok transgender yang tetap harus ikut wamil jika tak punya surat pembebasan.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Wajib milter semua pria di atas 21 tahun
Semua pria di Thailand yang telah berusia 21 tahun, diharuskan ikut wajib militer. Para transgender juga tak terkecuali. Thailand tak memperbolehkan warganya mengganti identitas jenis kelamin di kartu tanda penduduk, transgender yang tercatat lahir sebagai laki-laki tetap diwajibkan ikut wajib militer.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Mereka yang disebut 'kathoey'
Data Univesitas Hong Kong yang dikutip PRI menulis 1 dari 165 pria di Thailand menjadi transgender. Beberapa tahun silam, militer Thailand menganggap transgender mengalami gangguan kejiwaan. Namun setelah proses hukum di pengadilan, kini militer anggap tubuh mereka tidak konsisten dengan jenis kelamin mereka saat lahir. Kaum transgender bisa meminta surat pembebasan wamil.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Sertifikat bebas wamil
Pengecualian dari wajib militer ini hanya bisa diperoleh transgender yang sudah memiliki sertifikat pembebasan wajib militer yang diurus melalui proses hukum. Masalahnya tidak semua transgender memiliki surat pembebasan tersebut. Para aktivis hak asasi manusia terus berjuang agar transgender memperoleh pengakuan dari negara.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Tetap wajib hadir
Meski punya sertifikat pembebasan dari wajib militer, kaum transgender tetap harus datang di hari penyaringan wajib militer dan menunjukan surat pembebasan itu. Barulah para petugas percaya dan mereka tak harus ikut dalam penyaringan wamil. Sementara yang tak punya surat itu, tetap harus ikut dalam proses penyaringan.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Bersama-sama dengan pria
Penentuan wajib militer biasanya diadakan tiap bulan April. Karena banyaknya transgender di Thailand, sudah biasa terlihat para transgender yang tak punya surat pembebasan, berada di jejeran para pria yang antri dalam pemeriksaan kesehatan untuk ikut wajib militer. Sejumlah trangender mengaku sangat stres dengan kewajiban tersebut.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Pemeriksaan kesehatan
Banyak kaum transgender yang panik dalam penyaringan itu, antara lain karena dalam pemeriksaan kesehatan, pakaian mereka harus dilucuti. Seorang dokter akan membawa mereka ke ruangan tertutup atau di balik dinding. Dokter akan melihat apakah kaum transgender itu mengalami banyak perubahan fisik atau tidak.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Dipilih lewat lotre
Pendaftaran wajib militer di Thailand dilakukan dengan sistem undian. Di dalam guci tertutup mereka harus mengambil kartu. Ada dua jenis kartu di dalamnya. Kartu merah dan kartu hitam. Jika mendapat kartu merah, artinya mereka langsung langsung diproses untuk ikut wamil, sedangkan jika mendapat kartu hitam, mereka tak harus ikut wajib militer di tahun itu.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Dua tahun jalani tugas militer
Setiap tahunnya jumlah pria yang ikut wajib militer di Thailand sekitar 100 ribu orang. Mereka menjalani wajib milter selama dua tahun. Setelahnya, warga bisa kembali menjalani kehidupan biasa. Seorang warga dalam foto ini histeris, ketika berhasil lolos tidak harus menjalani wamil tahun ini.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Perjuangan mendapatkan pengakuan
Kanphitcha Sungsuk memegang foto masa kecilnya. Para pegiat HAM di Thailand terus berusaha agar transgender mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Jika perjuangan mereka berhasil, maka negara gajah putih itu akan mengikuti jejak India, yang 2014 telah memberi pengakuan pada jenis kelamin ketiga.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Hentikan diskriminasi !
Ronnapoom Samakkeekarom pegiat HAM Transgender Alliance for Human Rights menyerukan semua pihak agar berhenti memperlakukan transgender sebagai bahan lelucon, termasuk saat mereka antri wamil. Menurutnya para trangender ini merasa tertekan karena kerap didiskriminasi, dilecehkan dan mengalami tindak kekerasan. Ed: ap/as(bbg sumber)
Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam menghapus stigma yang berseliweran di seputar HIV/AIDS, waria, dan ODHA, tentu saja dengan cara merancang konseling dan kebijakan tepat sasaran. Misalnya, Peraturan Daerah tentang kewajiban melakukan tes HIV bagi pasangan yang ingin menikah di berbagai daerah dapat menjadi bumerang. Hasil negatif belum tentu bebas HIV, karena virus HIV baru bisa terdeteksi minimal 3 bulan setelah ia menjangkiti seseorang. Artinya, seorang yang tidak sadar dirinya ODHA beresiko menularkan virus HIV kepada istri dan anaknya kelak.
Dan merupakan sebuah kekeliruan untuk menyudutkan kaum waria, sudah saatnya membangun sebuah pengertian, baik secara sosial, ekonomi, politik, HAM, dan lain-lain. Nihilnya pengertian itulah yang menyebabkan kejatuhan harkat dan martabat waria selaku sesama warga negara Indonesia selama ini. Apresiasi itu dapat dilakukan secara sederhana: jangan berprasangka buruk, dan jangan melecehkan secara verbal maupun nonverbal. Isu-isu LGBT positif yang beberapa tahun belakangan berhembus sejatinya merupakan angin segar untuk membangun toleransi terhadap waria, dan juga permasalahan HIV/AIDS serta ODHA di kalangan mereka.
Hal lain yang harus dilaksanakan adalah membangun opini publik yang mampu menggambarkan bahwa hidup sebagai waria bukanlah kelainan, HIV/AIDS bukan kutukan, dan menjadi ODHA bukanlah akhir segalanya. Memang, ketiga hal tersebut masih kerap dianggap tabu, namun eksistensi Mami Yuli, dan para waria berprestasi lainnya di dunia, merupakan bukti bahwa mereka juga manusia yang dengan kerja kerasnya mampu berkontribusi bagi lingkungannya layaknya orang-orang lain pada umumnya. Bukankah sudah saatnya masyarakat Indonesia lepas landas dalam pemikiran dan menjadi lebih toleran terhadap sesamanya?
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Israel Rayakan Miss Waria Berdarah Arab
Sebelas perempuan transseksual saling adu bakat dan kecantikan. Pemenangnya adalah seorang yang mewakili minoritas ganda di Israel, Arab dan Transseksual. Bersama mereka memperjuangkan pengakuan masyarakat.
Foto: picture-alliance/Pacific Press/L. Chiesa
Mahkota Untuk Semua
"Mahkota tidak terlalu penting," ujar Taalin Abu Chana pemenang ajang Miss Transseksual di Israel. "Kita tidak butuh orang yang menentukan siapa yang cantik di antara kami, kami semua adalah ratu." Pemenang acara unik ini mendapat hadiah voucher sebesar 120 juta Rupiah untuk operasi plastik di Thailand.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Sultan
Panggung Internasional
Taalin Abu Chana seorang warga Kristen Arab dari Nazareth. Sosoknya mewakili dua minoritas yang sering didiskriminasi di Israel, transseksual dan arab. Penari balet berusia 21 tahun ini akan mewakili negaranya dalam ajang "Miss Trans Star" di Barcelona, September mendatang.
Foto: picture-alliance/Pacific Press/L. Chiesa
Perempuan untuk Perubahan
Ajang kecantikan ini mengawali pesta perayaan tahunan untuk kaum Lesbian, Gay, Trans dan Biseksual di Tel Aviv. Kota di tepi laut Tengah itu adalah surga buat kaum LGBT di Timur Tengah. Tahun ini mereka mengusung motto "Perempuan untuk Perubahan".
Foto: picture-alliance/Pacific Press/L. Chiesa
Pengakuan untuk Transseksual
Ajang "Miss Trans" pertama kali digagas oleh Israela Stephanie Lev. Ia sendiri adalah seorang transseksual. Lev berharap acara ini bisa mendorong pengakuan untuk kaum transjender. "Kami ingin persamaan hak," tuturnya.
Foto: picture-alliance/dpa/Abir Sultan
Kelamin Kontra Identitas
Peserta kontes kecantikan ini memiliki pengalaman hidup yang tidak mudah. Mereka dilahirkan di tubuh yang salah, menjalani operasi kelamin dan hidup dengan identitas baru. Sebagian besar kaum transeksual mengalami diskriminasi dan penolakan, tidak cuma di Israel.
Foto: picture-alliance/Pacific Press/L. Chiesa
Penolakan Keluarga
Tidak jarang peserta kontes kecantikan yang memiliki pengalaman buruk. Terutama keluarga menjadi faktor terbesar karena menolak krisis identitas yang dialami dan kemudian operasi kelamin. Kebanyakan kaum transseksual di Israel tidak lagi berhubungan dengan keluarganya.
Foto: picture-alliance/dpa/Abir Sultan
Jalan Kebijaksanaan
Belum jelas apakah acara semacam ini ini bisa mendorong perubahan paradigma di masyarakat Yahudi. Harian liberal Israel, "Haaretz" menulis, "Dalam realitanya, perempuan transseksual masih harus berjuang demi pengakuan dan eksistensinya di masyarakat, maka Miss Trans 2016 melambangkan kebijaksanaan."