Tentara Muslim Jerman Tuntut Adanya Imam di Bundeswehr
8 Februari 2019
Bundeswehr menyediakan pendeta Katolik dan Protestan untuk tentara, tetapi tidak ada penasihat spiritual untuk tentara Muslim. Apa sebabnya?
Iklan
Nariman Reinke, seorang perempuan perwira angkatan laut, adalah satu dari sekitar 1.500 tentara Muslim yang bertugas di Bundeswehr, militer Jerman.
Lahir dari orang tua Maroko pada tahun 1979, Reinke telah berada di militer sejak 2005 dan telah dua kali dikerahkan ke Afghanistan. Tetapi menjadi seorang wanita Muslim di militer Jerman tidak selalu mudah, katanya kepada DW.
Di Bundeswehr Reinke juga bertugas mengintegrasikan anggota militer baru berlatar belakang migran, atau anggota minoritas agama ke dalam militer.
Bundeswehr menyediakan pendeta dan pastor untuk tentara Katolik dan Protestan, tetapi tidak ada penasihat spiritual untuk Muslim. Reinke mengatakan dia telah berusaha mengoreksi kesenjangan ini lebih dari sekali, bahkan menyampaikannya kepada Menteri Pertahanan Ursula von der Leyen, tetapi tidak ada kemajuan selama beberapa tahun ini. Hal yang membuat dia dan rekan-rekan Muslimnya frustasi adalah bahwa sejauh ini tidak ada yang menanggapi tuntutannya, kata Reinke.
"Saya selalu ingat bahwa saya bisa tewas dalam tugas," kata Reinke. Untuk berjaga-jaga, dia sudah mengatur agar dirinya dimakamkan menurut cara Islam, tidak dimasukkan ke dalam peti mati dengan seragam lengkap seperti banyak prajurit. "Selama misi saya di Afghanistan, saya sudah mengatur agar (kalau saya mati) badan saya dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan - saya selalu membawa kain kafan bersama saya dalam tas."
Puasa Dalam Balutan Seragam Serdadu Jerman
Dengan beratnya tugas dan tanggung jawab, tidak mudah bagi serdadu Jerman yang berpuasa untuk menjaga kondisi dan konsentrasi selama bulan Ramadhan. Berikut suka dukanya.
Foto: Ulrike Hummel
Butuh konsentrasi tinggi
Chaouki Aakil bertugas di Batalyon Logistik dan juga bertanggung jawab atas keselamatan para prajurit dalam bertransportasi. Tugas ini menuntut konsentrasi yang tinggi. Jika Ramadan jatuh pada musim panas, menurutnya berarti tantangan berat bagi serdadu Jerman yang beragama Islam.
Foto: Ulrike Hummel
Beratnya tugas di Afghanistan
Chaouki Aakil mengingat pengalamannya dulu saat masih bertugas di Afghanistan. Di sana ia menghadapi beban fisik dan psikis yang sangat berat. Selain itu, ia harus bisa menyesuaikan diri dengan budaya yang sangat berbeda. Puasa atau tidak, serdadu Jerman yang beragama Islam harus mengambil berbagai keputusan di lapangan.
Foto: picture alliance / JOKER
Pengaruh bagi kesehatan
Dalam situasi ekstrim dan sangat sulit, berpuasa bisa berpengaruh pada kesehatan, demikian dijelaskan Michael Faust, dokter di klinik Universitas Köln. "Dalam misi yang panjang, tentara perlu konsentrasi tinggi. Dalam hal ini, minum jadi sangat penting." Menurutnya, orang bisa bertahan tanpa makanan untuk waktu yang lama. Kebutuhan kalori bisa dipenuhi sebelum atau sesudahnya.
Foto: Ulrike Hummel
Mengatur waktu makan
Tidak mudah mengatur waktu makan di Bundeswehr selama puasa. Jadi, masa berbuka puasa harus dibicarakan sebelumnya. Apalagi waktu buka puasa setiap hari bergeser beberapa menit. Jadi pekerja kantin harus bisa beradaptasi. Sejauh ini semuanya berfungsi dengan baik, Militer Jerman menawarkan makanan "halal". Produk sampingan yang tidak halal seperti gelatin tidak digunakan.
Foto: picture-alliance/dpa
Masakan halal
Juru masak di dapur umum menggunakan sendok dan peralatan khusus untuk makanan halal. Mereka juga memperhatikan agar daging babi tidak disimpan tercampur dengan daging yang halal.
Foto: picture-alliance/dpa/K.Jaspersen
Berkumpul dengan keluarga
Jika jadwal kerja memungkinkan, para serdadu berusaha berbuka puasa dengan keluarganya. Bagi banyak pemeluk agama Islam, bulan puasa adalah masa untuk berkumpul dengan keluarga. Berpuasa punya makna sosial. Menjalankan ibadah puasa memupuk rasa solidaritas.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
Konstitusi Jerman "Grundgesetz" menetapkan bahwa semua agama secara resmi diperlakukan sama dan menjamin kebebasan warga untuk mempraktikkan agama mereka tanpa hambatan. Muslim, bagaimanapun, adalah komunitas agama terbesar kedua di Bundeswehr - namun tidak ada imam yang ditunjuk sebagai penasihat spiritual. Ini sebenarnya bertentangan dengan konstitusi Grundgesetz.
'Terima dan hargai'
Menurut Departemen Pertahanan, negosiasi dengan organisiasi Konferensi Islam Jerman (DIK) sedang berlangsung. Namun perwakilan dari DIK mengatakan, pemerintah masih enggan terlibat dalam masalah ini.
Burhan Kesici, kepala Dewan Islam Nasional, kelompok payung beberapa organisasi Muslim, mengatakan Bundeswehr menghubungi memang DIK dan meminta daftar orang yang dapat bergabung dengan komisi penasihat tentang pengadaan imam di militer Jerman, tetapi kemudian tidak pernah menindaklanjuti permintaan tersebut. "Sepertinya mereka tidak ingin membuat kemajuan dalam masalah ini," kata Kesici.
Pendeta Kristen dan Katolik memang ditempatkan di militer melalui pengaturan formal dengan gereja-gereja Katolik dan Protestan secara resmi. "Untuk alasan-alasan teologi dan tradisi, umat Islam di Jerman diorganisasikan sangat berbeda dari gereja-gereja," kata Fritz Felgentreu, jubir Partai SPD (sosial demokrat). Dia menambahkan, ada banyak kelompok Islam yang berbeda di Jerman, sementara untuk kalangan gereja, hanya ada satu kontak dan itu memudahkan. Itulah sebabnya pemerintah Jerman tidak bisa begitu saja meniru model yang digunakan dengan gereja-gereja Kristen dan Katolik, kata Felgentreu.
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap
Foto: DW
11 foto1 | 11
Cari imam
Sampai beberapa tahun yang lalu, otoritas Jerman menganggap organisasin Uni Islam Turki untuk Urusan Agama DITIB sebagai mitra terpenting dalam hal-hal yang berkaitan dengan umat Muslim di Jerman. Namun, hubungan antara pemerintah Jerman dan Turki telah memburuk belakangan, dan ada kecurigaan yang berkembang bahwa Presiden Recep Tayyip Erdogan menggunakan DITIB untuk tujuan politik luar negerinya. Akibatnya, pemerintah Jerman menghentikan kerja sama dengan DITIB. Kanselir Angela Merkel dan Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer sekarang mengatakan, para imam harus dididik di Jerman.
Perwira Angkatan Laut Nariman Reinke mengatakan, konflik politik antara pemerintah Jerman dan Turki seharusnya tidak mencegah Bundeswehr mendapat akses ke penasihat agama Islam. Banyak teolog Islam telah dilatih di universitas-universitas Jerman dalam beberapa tahun terakhir, katanya.
Misalnya, para imam yang dididik di Universitas Osnabrück tidak punya hubungan dengan pemerintah asing. "Dapat dipastikan, mereka bisa dilatih dan dipekerjakan seperlunya," kata Reinke. (vlz/hp)
Pemakaman Muslim di Jerman
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, tahun 2016 sebuah pemakaman Muslim pertama yang dikelola yayasan-yayasan Islam di Jerman akan didirikan di Wuppertal.
Foto: picture-alliance/Rainer Hacken
Harmoni di Wuppertal
Di kota ini warga hidup berdampingan dan saling menghormati tradisi agama masing-masing. Di Wuppertal harmonisasi agama punya tradisi panjang. Jadi tidak sulit menemukan lahan untuk mendirikan perkuburan Islam, di antara perkuburan Yahudi dan Kristen.
Foto: picture-alliance/Rainer Hacken
Muslim di Wuppertal
Di Wuppertal ada sekitar 340.000 warga muslim. Banyak warga muslim di sini yang ingin menguburkan keluarganya yang meninggal di sebuah pekuburan Islam dengan tata cara Islam.
Foto: DW
Salah satu alasan
Di perkuburan umum, lahan kuburan disewakan untuk jangka waktu 25 tahun. Tapi jika pekuburan itu menjadi milik komunitas Islam, kuburan bisa digunakan untuk seterusnya. Maka dari itu, warga muslim di Wuppertal ingin membeli lahan pekuburan sendiri.
Foto: picture-alliance/dpa
Tiga keyakinan berdampingan
Yang menarik, tempat peristirahatan akhir ini, tidak hanya terletak di dekat kuburan orang-orang Kristen, tetapi juga di dekat dengan pemakaman Yahudi.
Foto: DW/C. Ignatzi
Generasi baru
Orang tua Samir Bouaissa berasal dari Maroko. Keluarganya sudah tinggal selama dua generasi di Wuppertal. Dia bekerja di Balai Kota Wuppertal sebagai Ketua Dewan Pegawai. Generasi orang tuanya dulu masih sering berkunjung ke Maroko. Tapi dia dan keluarganya sudah jarang, mungkin empat atau lima tahun sekali.
Foto: DW/C. Ignatzi
Mengelola bersama
Samir Bouaissa menunjuk ke arah kawasan yang ingin dibangun. Ada 15 mesjid yang sekarang menyatakan bersedia mengelola pekuburan itu dan mengurus pembiayaannya. Gelombang generasi pertama imigran Turki yang mayoritasnya memeluk agama Islam, 80 persennya dimakamkan di tanah airnya. Pada generasi kedua, sudah ada 30 sampai 40 persen yang dikuburkan di Jerman.
Foto: DW/C. Ignatzi
Pemakaman Friedhof am Hallo di Essen
Di kota-kota lain di Jerman juga terdapat pekuburan Islam. Di pemakaman Friedhof am Hallo di Essen, terdapat pemakaman bagi umat Muslim, sejak tahun 1972. Sudah seribuan warga Muslim dikuburkan di sini. Makam imigran Turki berdampingan dengan makam warga keturunan Bosnia.
Foto: DW
Kuburan Sehitlik di Berlin
Di Berlin terdapat ratusan ribu warga Muslim. Kuburan Islam juga bisa ditemukan di samping Mesjid Sehitlik, Berlin. Sekarang, di kuburan itu hanya dilaksanakan upacara penguburan. Jenazah kemudian dimakamkan di kuburan lain atau dibawa ke negara asalnya.
Foto: DW
Peristirahatan Terakhir di Köln
Tanah pemakaman Muslim Westfriedhof di Köln terletak di Bocklemünd. Dalam upacara pemakaman, seorang imam membaca doa dan Al Qur’an. Tetangga dan teman-teman akan menyiapkan makanan kecil di sekitar pelayat. Menurut warga keturunan Turki, biaya pemakaman di Jerman jauh lebih tinggi daripada di Turki.