1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KriminalitasLaos

Terbuai Janji Manis, Warga Rwanda Jadi Pekerja Paksa di Asia

Alex Ngarambe
12 Mei 2025

Pekerja asal Rwanda menjadi korban perdagangan manusia dan terjebak di Asia Tenggara. Mereka berhasil meminta bantuan seorang influencer medsos di negara asal mereka. Beberapa sudah bisa kembali.

Gambar simbol
Gambar ilustrasi melawan perdagangan manusiaFoto: NIC BOTHMA/EPA/dpa/picture alliance

Pihak berwenang Rwanda turun tangan setelah sekumpulan warganya yang terdampar di Asia Tenggara mencari jalan keluar melalui jejak-jejak digital.

Setelah merasa mendapat perlakuan buruk di negara-negara tujuan, akhirnya mereka menghubungi Richard Kwizera, seorang influencer media sosial asal negeri itu, untuk memohon bantuan.

Kepada Kwizera, para warga Rwanda tersebut, yang terjebak di Myanmar dan Laos setelah terbuai harapan palsu di negeri orang, berbagi kisah duka mereka.

Dengan pengaruh besarnya sebagai seorang influencer,  Kwizera menandai akun  pemerintah di platform media sosialnya, agar mendapat perhatian dunia. Alhasil, sepuluh warga Rwanda akhirnya bisa dipulangkan ke tanah air mereka.

"Ada puluhan warga negara Rwanda yang telah menjadi korban perdagangan manusia di negeri-negeri Asia Tenggara, khususnya Myanmar dan Laos. Mereka memohon kepada kita, dan pemerintah Rwanda, untuk membantu mereka kembali pulang," ujar Kwizera dalam wawancaranya dengan DW. Mereka ini adalah korban dari penipuan pencarian kerja  yang merajalela.

Perdagangan manusia merajalela?

Di tanah Rwanda, kejahatan perdagangan manusia semakin mengerikan. Penipu yang berkeliaran menawarkan janji pekerjaan dan kesempatan hidup lebih baik di luar negeri. Sering kali para penipu meminta uang dari orang-orang yang naif dan tak menyadari bahwa mereka tengah digiring ke dalam jebakan tukang tipu.

Beberapa penipu mengiming-imingi beasiswa untuk menuntut ilmu di Eropa, Amerika, Kanada, atau Australia. Beberapa bahkan memiliki kantor di ibu kota, Kigali, atau di tempat-tempat yang disebut "kantor koper".

Kaum muda dari Afrika Timur, yang berkelana ke Asia dan Timur Tengah untuk mencari peruntungan, sering kali terpaksa menghadapi kenyataan yang pahit: Dijebak untuk jual diri  sebagia pekerja seks atau pekerjaan berbahaya lainnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Meski pemerintah Rwanda belum mengungkapkan angka pasti mengenai jumlah warganya yang terlibat dalam program repatriasi, mereka mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas apa yang disebutnya sebagai perekrutan ilegal dan perdagangan manusia yang semakin merajalela.

Di platform X, juru bicara pemerintah, Yolande Makolo, menanggapi seruan Kwizera pada 3 Mei, mengatakan, "Pemerintah telah bekerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Pekan lalu, kami berhasil memulangkan 10 korban perdagangan manusia dari Myanmar."

Ia menambahkan, "Kami mengetahui ada lima orang lainnya yang masih terjebak di sana, dan kami sedang berusaha sekuat tenaga untuk membawa mereka pulang."

Tiada alat komunikasi

Di tengah keputusasaan itu, Kwizera melanjutkan kisahnya. Beberapa warga Rwanda terjebak di Asia Tenggara tanpa cara untuk berkomunikasi dengan dunia luar. "Saat mereka tiba di bandara negara-negara itu, ponsel dan paspor mereka disita. Mereka tak hanya terasing dari tanah air, tetapi juga berada dalam bahaya besar," ujar Kwizera kepada DW.

Meskipun pihak DW belum dapat menjalin komunikasi dengan mereka yang baru dipulangkan atau mereka yang masih terperangkap, warga Rwanda dan penduduk lokal di Myanmar serta Laos ini diduga mengalami eksploitasi.

Konfederasi Serikat Pekerja Rwanda (CESTRAR) mengungkapkan bahwa mereka tidak mengetahui situasi ini secara mendalam. "Kami lebih fokus untuk mengadvokasi hak-hak pekerja di tanah air," kata , Sekretaris Jenderal CESTRAR Afracain Biraboneye. "Masalah ini baru pertama kali kami dengar, dan saya perlu mencari informasi lebih lanjut sebelum bisa memberi tanggapan yang lebih jelas,” ungkapnya.

Data terbaru dari Institut Statistik Nasional (NSIR) menyebutkan angka pengangguran di Rwanda mencapai 14,9% pada tahun 2024, menurun sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya.

Meski ada penurunan, kenyataan perdagangan manusia dan kerja paksa yang melibatkan warga Rwanda di belahan dunia lain tetap menjadi masalah besar yang mengintai.

Warga Sierra Leone ini adalah pekerja migran domestik di Lebanon, dan dipulangkan pada bulan September 2020 (foto arsip)Foto: Aline Deschamps/Getty Images

Selama lima tahun terakhir, Rwanda terus diselimuti kabut gelap tentang perdagangan manusia, dengan laporan mengenai eksploitasi dalam berbagai sektor mulai dari rumah tangga, seks paksa, hingga sektor pertanian, pertambangan, dan jasa.

Anak-anak menjadi korban yang paling rentan, digunakan sebagai tenaga kerja di bidang pertanian, penambangan ilegal, dan konstruksi. Pedagang manusia juga menjebak kaum dewasa muda untuk bekerja di sektor-sektor seperti hotel, bar, atau restoran melalui kontrak pernikahan palsu.

Pada tahun 2018, Rwanda memberlakukan undang-undang untuk mencegah serta menghukum kejahatan perdagangan manusia. Meski negara tersebut telah berupaya keras, kenyataannya Rwanda masih belum memenuhi standar internasional dalam pemberantasan eksploitasi ini.

Dalam Laporan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri AS 2024, disebutkan bahwa meskipun ada pelatihan bagi petugas penegak hukum dan pembentukan komite antiperdagangan manusia, Rwanda masih hanya memenuhi standar minimum dalam memberantas kejahatan ini.

Mengidentifikasi dan memerangi kerja paksa di Rwanda menjadi tantangan besar, karena norma budaya dan hak pekerja yang terabaikan sering kali menutupi realitas yang terjadi. 

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

Editor: Yuniman Farid

 

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya