Meski Indonesia merupakan negara pluralistik, diskriminasi dan isu rasial masih menjadi momok yang menghantui masyarakat. Berikut tulisan Yusi Pareanom menyentil isu perbedaan itu.
Iklan
Sampai saya kelas lima SD, atau 1979, salah seorang teman terbaik saya adalah Wan, anak lelaki sepantaran yang tinggal tepat di sebelah timur rumah saya di Semarang. Saya tak pernah tahu nama lengkapnya dan saya kira ia pun demikian kepada saya. Kami belajar di sekolah yang berbeda.
Wan anak bungsu dari keluarga besar, kebanyakan kakaknya perempuan dan mereka cantik—saya masih terlalu ingusan untuk menyadarinya saat itu. Ini tak mengherankan karena ibu Wan berparas menarik. Ibu Wan perempuan Jawa, ayahnya Cina. Mereka berdagang kelontong di Pasar Langgar.
Keluarga Wan beberapa kali mendatangkan kegembiraan bagi kampung kami. Mereka pernah memutar film Charlie Chaplin di halaman samping rumah mereka dengan proyektor dan layar sederhana. Ada fim yang diputar ulang karena sambutan sangat meriah. Kegembiraan lain, kehadiran Enny Koesrini, penyanyi keroncong terkenal masa itu, pada acara keluarga Wan. Enny, yang kebetulan kakak ibu Wan, datang dan menyanyi. Orang kampung kami kagum: ada orang yang sudah masuk televisi kok mendadak ada di depan mereka.
Keluarga Wan juga "berperan" saat jalan kampung kami dicor beton oleh seorang laki-laki kulit putih paruh baya bertubuh besar yang kami panggil “Si Om”. Ia memacari Ci Sek, kakak Wan. Kebaikan hati Si Om tak cuma itu. Kepada warga di sebelah timur kali yang jalanannya tidak ia cor, ia memberikan puluhan ekor bebek. Ia juga disenangi anak-anak karena sering sekali mengajak mereka putar-putar kota dengan mobil bak terbukanya.
Ayah Wan meninggal dunia ketika Wan masih kelas 4 SD. Ia punya penyakit darah tinggi. Kalau kumat, ia sering main tangan sehingga istri dan anak-anaknya mengungsi ke rumah saya. Ayah saya Ketua RT yang cukup disegani, termasuk oleh orang yang sedang terkena serangan darah tinggi.
Pada masa itu, hampir setiap hari saya dan Wan bermain bersama. Karena Wan beberapa kali diberi orang tuanya karcis bebas yang bisa dipakai menonton film kapan saja, ia sering mengajak saya. Ajakan ini tak pernah saya lewatkan sekalipun saya juga sering menonton bersama keluarga. Biasanya kami menonton film-film silat produksi Shaw Brothers. Kami memuja Ti Lung, David Chiang, Fu Shen, Chi Kuan Chin, Wang Yu, Meng Fei, dan lain-lainnya. Setelah menonton, sepanjang perjalanan pulang kami menirukan jurus mereka dan tak jarang pura-pura berkelahi. Memukulnya sungguh-sungguh, tapi tak ada niatan jahat.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Setiap kali menonton ada teman lain yang ikut diajak. Tapi, karena untuk setiap tiket bebas hanya berlaku untuk empat lembar karcis, banyak anak yang tak kebagian kesempatan. Saya selalu diajak karena teman Wan paling dekat. Dari sinilah petaka bermula.
Anak-anak yang tak pernah diajak mulai mengejek saya sebagai babu Cina. Ejekan itu terus terlontar tiap kali saya bermain bersama Wan. Mula-mula saya membiarkannya. Ketika beberapa kerabat ikut mencemooh, saya tak tahan. Saya mulai menjauhi Wan. Tapi, ini tak cukup bagi bagi anak-anak lain. Maka, saya pun mulai ikut-ikutan meneriaki anak-anak yang masih bermain dengan Wan dengan ejekan yang dulu dilontarkan kepada saya: babu Cina.
Saya tahu Wan terluka dan marah. Tapi, tekanan untuk memusuhinya sedemikian besar sehingga suatu hari saya akhirnya mengajaknya berkelahi. Kami berkelahi hebat di depan anak-anak lain. Perkelahian berakhir dengan saling melempar batu sekepalan tangan. Untung sama-sama tidak kena. Belum pernah saya berkelahi semarah dan sesedih itu. Saya kira Wan juga demikian. Ibu Wan yang melerai kami juga menangis sedih dan marah. Sejak itu kami benar-benar tak bertegur sapa dan saling menghindar. Ia bisa dengan mudah menghindari saya karena rumahnya menghadap dua arah, kampung kami dan jalanan yang lebih besar. Tak lama setelah perkelahian kami, orang tuanya mulai membangun tembok tinggi sehingga rumah mereka hanya menghadap jalanan yang lebih besar.
Toleransi Beragama di Jerman
Toleransi beragama semakin digalakkan di Jerman. Itu diwujudkan antara lain dengan perayaan religi bersama, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, juga aktivitas kebudayaan lain.
Foto: picture-alliance/ZB
Merasa Anggota Masyarakat
Seorang perempuan muslim di Jerman mengenakan sebagai hijab sehelai bendera Jerman, yang berwarna hitam, merah, emas untuk menunjukkan keanggotaannya dalam masyarakat Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Poetry Slam Antar Agama
Perlombaan ini digelar 17 Agustus 2013 di Berlin. Pesertanya : penulis puisi dari kelompok agama Islam, Yahudi dan Kristen. Mereka membacakan sendiri karyanya. Pelaksananya yayasan Jerman, Friedrich Ebert Stiftung.
Foto: Arne List
Jurusan Teologi Yahudi
Jurusan ini diresmikan 19 November 2013 di Universitas Potsdam. Pada semester pertama, jurusan yang berakhir dengan gelar Bachelor ini memiliki mahasiswa 47 orang dari 11 negara. Jurusan ini juga terbuka bagi orang non-Yahudi, yang berniat mempelajari teologi Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Hari "Open Door" Mesjid 2013
"Tag der offenen Moschee" diadakan setiap tahun di Jerman, pada tanggal penyatuan Jerman, 3 Oktober. Pelaksanaannya dikoordinir berbagai perhimpunan Islam di Jerman. Lebih dari 1.000 mesjid di Jerman menawarkan ceramah, pameran, brosur informasi dan acara pertemuan serta tur di dalam mesjid. Setiap tahun lebih dari 100.000 warga menggunakan kesempatan untuk lebih mengenal Islam itu.
Foto: DW/R. Najmi
Mencari Informasi dan Berkenalan
Pengunjung pada hari "open door" di Mesjid Sehitlik, Berlin. Sebanyak 18 mesjid di Berlin, setiap tanggal 3 Oktober membuka pintunya bagi semua orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Saling Menerima
Suster dari tiga ordo Katolik mengunjungi mesjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim, pada "Hari Katolik" ke-98, tanggal 17 Mei 2012. Bertepatan dengan Hari Katolik tersebut, mesjid Yavuz Sultan Selim mengadakan hari pembukaan pintu.
Foto: picture-alliance/dpa
Pelajaran Agama Islam di Sekolah Jerman
Guru Merdan Günes berdiri bersama murid-murid di sekolah dasar kota Ludwigshafen-Pfingstweide, pada pelajaran agama Islam. Foto dibuat 09.12.2010. Pelajaran agama Islam mulai dilaksanakan di sebuah sekolah di negara bagian Rheinland Pfalz sejak tahun ajaran 2003/2004, dan sejak itu semakin diperluas.
Foto: picture-alliance/dpa
Belajar Toleransi
Guru Bülent Senkaragoz dalam pelajaran agama Islam di sekolah Geistschule di kota Münster. Foto dibuat 25/11/2011. Senkaragoz mengatakan, "Tugas saya bukan mengajarkan kepada murid, bagaimana cara sembahyang yang benar bagi seorang Muslim." Murid-murid di sini belajar tentang pentingnya toleransi. Pelajaran agama Islam dimulai di negara bagian Nordrhein Westfalen sejak 1999.
Foto: picture-alliance/dpa
"Mein Islambuch"
"Mein Islambuch“ (buku pelajaran Islam saya). Ini adalah buku pelajaran agama Islam baru untuk sekolah dasar. Ditulis oleh Serap Erkan, Evelin Lubig-Fohsel, Gül Solgun-Kaps dan Bülent Ucar. Di sebagian besar negara bagian yang dulu termasuk Jerman Barat, pelajaran agama Islam sudah termasuk kurikulum sekolah.
Berjalan Bersama
Buku pelajaran lain berjudul "Miteinander auf dem Weg" (bersama dalam perjalanan). Tokoh utama dalam buku itu hidup di dalam masyarakat, di mana pemeluk agama Kristen, Yahudi dan Islam hidup bersama dengan hak-hak sama. Seperti tampak pada salah satu ilustrasinya.
Foto: Ernst Klett Verlag GmbH, Stuttgart/Liliane Oser
Guru Agama Islam Orang Jerman
Annett Abdel-Rahman adalah guru pelajaran agama Islam di sekolah tiga agama di Osnabrück. Guru perempuan ini mengenakan jilbab, sementara rekannya yang Yahudi memakai kippah. "Bagi saya penting untuk memaparkan persamaan agama-agama Samawi kepada para murid," kata Annett Abdel-Rahman.
Foto: DW
Buka Puasa Bersama
Sebelum buka puasa bersama, para tamu membeli makanan dan manisan khas Turki, di Lapangan Kennedy di kota Essen. Dalam kesempatan ini umat berbagai agam bisa menikmati makanan bersama. Selama bulan puasa, hingga 500 orang, terdiri dari warga muslim dan non muslim datang ke tenda besar di lapangan tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Sama-Sama Warga Kota
Di bawah moto ”Wir sind Duisburg” (kitalah Duisburg), penduduk sekitar rumah tempat tinggal warga Roma di kota Duisburg dan sejumlah ikatan masyarakat serta persatuan warga Roma mengundang imigran untuk bersama-sama menyantap sarapan.
Foto: DW/C. Stefanescu
Pekan Antar Budaya
Seorang perempuan Senegal berdiri di lapangan pusat kota Halle an der Saale, di sebelah gambar gedung pemerintahan Rusia, Kremlin. Dalam "Interkulturellen Woche Sachsen-Anhalt" diadakan berbagai pesta, pameran, ceramah di negara bagian itu. Tujuannya mengembangkan toleransi bagi warga asing dan pengungsi. Pekan budaya ini adalah inisiatif gereja Jerman, dan diadakan akhir September setiap tahun.
Foto: picture-alliance/ZB
14 foto1 | 14
Saya ingat pernah menegur Wan sekali ketika kami sudah duduk di bangku kelas 2 SMA. Kami berpapasan tak sengaja. Tapi, itu pun sebatas "hai" yang tipis sekali. Rasanya itu terakhir saya bertemu dengannya karena kemudian saya kuliah di Jogja dan ia kuliah di Australia. Beberapa tahun kemudian Wan dan keluarganya pindah, saya tak tahu ke mana.
Kita tahu bahwa kaum Tionghoa menjadi korban utama pada 1998. Setelah Reformasi, ada perbaikan di sana-sini. Namun, sentimen anti-Cina masih ada dan sering dimainkan untuk kepentingan politik. Contoh paling gampang dilihat adalah bagaimana orang menyerang Ahok, Gubernur Jakarta, karena etnisnya, bukan karena kualitasnya memimpin. Bukan itu saja. Kelompok minoritas lain semacam jamaah Ahmadiyah dan penganut Islam Syiah yang dulu bisa hidup tenang sekarang malah semakin sering diusik. LGBT? Aduh, tak kurang-kurang kebencian yang ditujukan kepada mereka. Tengok saja sembarang media sosial. Media sosial pula yang membesarkan tekanan lingkungan seperti yang saya alami pada masa kecil untuk memusuhi kelompok lain.
Menyambut peringatan Hari Penghapusan Diskriminasi Rasia tahun ini, saya teringat Wan. Kalau sempat bertemu lagi, saya ingin mengajaknya ngopi, bertanya tentang kabar kakak-kakak perempuannya yang cantik, dan minta maaf.
Tentang penulis:
Yusi Avianto Pareanom merupakan penulis beberapa buku fiksi dan nonfiksi. Buku fiksinya adalah kumpulan cerita Rumah Kopi Singa Tertawa (2011), A Grave Sin No. 14 and Other Stories (2015, terbit dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman), Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (2016). Ia juga menerjemahkan dan menyunting karya penulis-penulis asing ke dalam bahasa Indonesia.
*Setiap konten yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.