Gagasan Multatuli dalam Max Havelaar berisi perlawanan terhadap korupsi, pembodohan, pemiskinan, dan kesewenangan. Begitu pula tulisan Pramoedya Ananta Toer. Seorang penulis menginspirasi 1000 pembaca. Opini Anton Kurnia
Iklan
Oktober 2016 silam, di ujung musim gugur yang dingin, saya berkesempatan mengunjungi Pekan Buku Frankfurt yang masih dianggap sebagai pekan buku tertua dan terbesar di dunia. Para pemangku kepentingan dalam dunia perbukuan dari berbagai latar belakang profesi (penulis, penerbit, penyunting, penerjemah, kritikus, agen, pembaca) dan berbagai negara hadir di sana. Mereka yang berasal dari negara-negara maju berdiskusi terbuka dengan mereka yang berasal dari negeri-negeri bekas jajahan. Beraneka manusia dari beragam bangsa berbaur tanpa membedakan ras dan agama.
Tahun ini yang menjadi Tamu Kehormatan di Pekan Buku Frankfurt adalah Belanda dan Flanders (wilayah Belgia yang berbahasa Belanda). Saat mengunjungi stan Belanda seusai acara pembukaan, saya teringat salah satu pengarang mereka yang pernah saya baca karyanya, yakni Eduard Douwes Dekker (1820-1887) yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli. Dalam bahasa Latin, kata itu berarti "Yang Banyak Menderita”.
"De plicht van een mens is mens te zijn,” tulis Multatuli suatu kali. Artinya kurang lebih: tugas manusia adalah menjadi manusia. Lelaki Belanda mantan Asisten Residen di Lebak, Banten, pada masa Hindia Belanda itu memang seseorang yang memuliakan manusia melalui karya tulisnya. Dia dihormati banyak orang terutama karena novelnya, Max Havelaar (1860), yang mengisahkan penindasan dan ketidakadilan penguasa kolonial dan pribumi terhadap rakyat kecil di Lebak, Banten.
Salah satu pengagum terbesar Multatuli adalah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sastrawan terkemuka kita yang pernah diasingkan belasan tahun di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru, tapi namanya gemilang di mata dunia dan berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra. Mengutip Pramoedya, "Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme, humanitas secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus kejam. Pertama, karena dia tidak kenal sejarah Indonesia. Kedua, karena dia tak mengenal peri kemanusiaan.”
Bagi Pramoedya, Multatuli amat layak kita hargai. Itu dia sampaikan antara lain dalam wawancara dengan Kees Snoek di buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008). Menurut Pramoedya yang pernah menulis biografi Multatuli, tapi tak pernah diterbitkan karena naskah itu hilang saat dia ditangkap militer dan rumahnya dijarah massa pada 1965, pengarang Belanda itu adalah salah satu faktor penting dalam pembentukan kesadaran nasional para intelektual bangsa kita pada masa kebangkitan nasional di awal abad ke-20.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Pesan pengabdian untuk rakyat
Pada masa itu, atas jasa politik etis, Multatuli dipelajari di HBS - setingkat SMA sekarang. Siapa yang tak mengenal Multatuli akan dianggap orang yang tertinggal. Mungkin dia "well educated, tapi tidak wellcultured". Dampaknya, membaca Multatuli menyadarkan mereka bahwa mereka tengah dijajah oleh bangsa asing, bahwa mereka sesungguhnya punya tanah air, dan bahwa ada seorang Belanda yang justru menentang perlakuan tidak adil terhadap bangsanya itu. Maka, timbullah kesadaran sebagai bangsa yang terjajah dan ditindas. Kesadaran itu pada gilirannya melahirkan pergerakan yang berujung pada kemerdekaan.
Max Havelaar, novel Multatuli yang amat berpengaruh itu, masih relevan dibaca hingga kini meski telah berumur lebih dari satu setengah abad sejak kali pertama lahir. Saya sendiri untuk kali pertama membaca buku itu dalam terjemahan H.B. Jassin semasa SMA sekitar 25 tahun silam.
Saya kira, buku yang telah berkali-kali diterbitkan ulang edisi terjemahan bahasa Indonesianya oleh berbagai penerbit itu penting dibaca oleh para politikus kita agar memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk mengabdi kepada rakyat saat berkuasa, bukan malah menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan korupsi gila-gilaan dan bersekongkol dalam kejahatan tak ubahnya segerombolan pencuri. Ada sebagian yang bernasib sial dan telah masuk bui, banyak pula yang masih bebas berkeliaran menyalahgunakan kekuasaan.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.
Foto: DW/M. Ridwan
13 foto1 | 13
Gagasan melawan korupsi, pembodohan, pemiskinan dan kesewenangan
Simaklah lirik berikut ini: Seratus pencuri membuat fraksi di tanahku ini/Sepuluh penipu, mereka bersatu di tanahku ini/ Dapatkah Anda membayangkan kini?
Kalimat-kalimat tajam itu adalah lirik yang ditulis mendiang Harry Roesli 38 tahun silam dalam lagu "Fraksi Pencuri” di album Jika Hari Tak Berangin sebelum dia bertolak ke Belanda untuk belajar musik di Rotterdam Conservatorium. Kata-kata musisi bengal yang juga aktivis itu terasa lugas, gamblang, dan menohok. Ironisnya, layaknya suara Multatuli dalam Max Havelaar, lirik yang diciptakan puluhan tahun lampau itu masih saja relevan dengan situasi kita sekarang.
Gagasan Multatuli dalam Max Havelaar berisi perlawanan terhadap korupsi, pembodohan, pemiskinan, dan kesewenang-wenangan. Begitu pula apa yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novelnya, seperti tetralogi Pulau Buru, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang juga dipamerkan di stan Indonesia di Pekan Buku Frankfurt tahun ini. Buku yang satu menginspirasi lahirnya buku-buku yang lain. Seorang penulis menginspirasi seribu pembaca.
Bagi kita kini, membaca dan memaknai buku-buku itu adalah bagian dari upaya lperlawanan terhadap pembodohan dan kesewenang-wenangan yang masih saja terjadi di tanah air kita hingga hari ini—baik itu atas nama kuasa politik, kuasa budaya, maupun kuasa agama.
Anton Kurnia, penulis dan pembaca, Direktur Penerbit Baca(ap/hp)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Perpustakaan Paling Indah di Dunia
Perpusatakaan telah menopang peradaban manusia sejak lebih dari 4000 tahun. Bentuknya kini bisa bermacam-macam, ada yang serupa istana, sementara yang lain lebih mirip UFO. Inilah perpusataan paling spektakuler di dunia.
Foto: Imago/imagebroker
Perpustakaan Anna-Amalia, Weimar
Berdiri sejak lebih dari 300 tahun, perpusatakaan Anna Amalia di Weimar, Jerman, terkenal berkat aula berbentuk memanjang yang dibangun dengan gaya Rokoko (gambar). Tahun 2004 sebagian gedung perpusatakaan terbakar dilalap api. Butuh waktu tiga tahun bagi Jerman untuk merestorasi perpusatakaan bersejarah ini ke bentuk aslinya.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Woitas
Universitas Teknik Delft
Perpusatakaan di kompleks Universitas Teknik Delft, Belanda, terlihat mencolok berkat desain atapnya yang modern dan ditumbuhi rumput. Atap unik itu menjadi tempat beristirahat pada mahasiswa di musim panas. Kubah berbentuk kerucut yang menjulang di tengah gedung memiliki tinggi 42 meter dan menyimpan rak buku setinggi empat lantai.
Foto: Nicholas Kane/Arcaid/picture alliance
Biblioteca Joanina, Coimbra
Harian Inggris "The Daily Telegraph" pernah membaptis perpusatakaan di Coimbra, Portugal, ini sebagai salah satu yang paling spektakuler di dunia. Adalah raja Johann V. yang memerintahkan pembangunannya. Setiap rak pada perpustakaan ini dibuat dengan kayu mawar dan kayu hitam. Kini Biblioteca Joanina menjadi bagian Fakultas Hukum Universitas Coimbra.
Foto: picture-alliance/akg-images/H. Champollion
Bibliotheca Alexandrina, Alexandria
Perpusatakaan paling terkenal di dunia ini pernah habis terbakar 2000 tahun silam. Hingga saat itu Bibliotheca Alexandrina adalah wadah terbesar ilmu pengetahuan di dunia dengan lebih dari 490.000 lembar papirus. Tahun 2002 silam pemerintah Mesir merenovasi perpusataakaan ini dengan dana sekitar 220 juta Dollar AS.
Foto: picture-alliance/Arco Images GmbH
Klosterbibliothek St. Gallen
Sejak lebih dari 1300 silam berdiri perpusatakaan biara di St. Gallen, Swiss. Istana pengetahuan ini tidak cuma menyimpan buku, tetapi juga mengoleksi sejumlah mumi dan artefak kuno asal Mesir. Aula perpustakaan (gambar) termasuk yang paling indah di dunia. Perpustakaan ini terdaftar sebagai Warisan Budaya UNESCO sejak 1983.
Foto: picture-alliance/Stuart Dee/robertharding
Perpustakaan Filologi, FU Berlin
Lantaran bentuknya yang menyerupai kepala manusia, perpusatakaan Filologi di Free University Berlin ini mendapat julukan "otak." Gedungnya didesain oleh arsitek ternama Inggris, Norman Foster dan tuntas dibangun tahun 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Andree/Helga Lade
Library of Congress, Washington
Perpustakaan nasional ini dibangun 1800 silam dan habis terbakar 14 tahun kemudian. Presiden ketiga AS, Thomas Jefferson lalu menawarkan perpustakaan pribadinya yang memiliki koleksi 6500 judul buku. Bagian paling spektakuler dari Library of Congress adalah aula utamanya yang didesain dengan gaya Renaissance.
Foto: picture-alliance/JOKER/H. Khandani
Trinity College Library, Dublin
Memanjang sejauh 64 meter dan lebar 12 meter, aula utama perpusatakaan Trinity College ini pantas dijuluki "Long Room." Awalnya ruangan ini cuma memiliki atap datar yang terbuat dari gipsum. Tahun 1858 sejumlah arsitek meninggikan ruangan perpustakaan dan membangun atap melengkung dengan kayu Oak.
Foto: Imago/imagebroker
National Library of China, Beijing
Dengan koleksi lebih dari 30 juta judul buku, perpustakaan nasional Cina termasuk tujuh perpustakaan terbesar di dunia. Dibangun tahun 1809, perpustakaan ini dulu bernama "Perpusatakaan Ibukota." Sejak tahun 1928 namanya diubah menjadi "Perpustakaan Beijing." Baru tahun 1998 pemerintah Cina mengizinkan nama perpustakaan diubah menjadi yang sekarang.
Foto: Getty Images/AFP/W. Zhao
El Ateneo Grand Splendid, Buenos Aires
Gedung ini bukan perpustakaan, melainkan toko buku. "Ateneo" di Argentina memiliki sejarah panjang. Dibangun 1919, awalnya gedung ini berfungsi sebagai gedung teater. Pada dekade 1920an pemiliknya menyulap Ateneo menjadi bioskop. Baru pada tahun 2000 pemiliknya mengubah gedung bersejarah ini menjadi toko buku yang dilengkapi dengan kedai kopi dan aula membaca.