Terkenal karena tingginya biaya hidup, Hongkong juga bukan tempat yang murah untuk mati. Kota ini kehabisan tempat untuk menyimpan sisa abu kremasi jenazah. Harga satu unit berkisar dari Rp 4 juta hingga 2 miliar.
Iklan
Meski luas totalnya hanya sekitar 1.100 kilometer persegi, Hongkong adalah rumah bagi 7,3 juta jiwa. Keadaan ini membuat kota pusat keuangan di Asia ini menjadi tempat hidup yang paling padat dan mahal di dunia.
Malah sudah lima tahun belakangan ini Hongkong terus menyandang predikat sebagai "kota paling tidak terjangkau sedunia."
Menurut riset sebuah institut di Amerika, Demographia, seseorang dengan pendapatan bulanan rata-rata butuh waktu 19 tahun untuk mengumpulkan gajinya secara utuh supaya bisa membeli tempat tinggal. Itu berarti belum dipotong pajak maupun pengeluaran rutin lainnya.
Bukan hal yang aneh jika menemukan beberapa keluarga hidup berjejalan dalam satu flat sempit yang dibagi lagi menjadi beberapa bagian.
Hunian yang dikenal dengan nama “bilik peti mati” ini berupa ruang dengan dinding sekat kayu berukuran tidak lebih dari tempat tidur untuk dua orang.
Kondisi ini sangat kontras bila dibandingkan dengan citra Hongkong sebagai kota metropolitan yang makmur seperti yang sering muncul di berita internasional.
Keterbatasan tempat ini tidak hanya berimbas kepada manusia yang masih hidup, tetapi juga yang sudah mati.
Mau Makan Malam? Itu Ada di Sana, Dekat WC
Bisakah Anda membayangkan memasak makan malam langsung di depan toilet Anda? Ini tidak terjadi di negara dunia ketiga. Fotografer Benny Lam mendokumentasikan sekelumit situasi hidup di Hong Kong.
Foto: Benny Lam & SoCo
Ayo siapkan makan malam
Bebek peking dan kangkung untuk makan malam tergeletak ada di atas meja, hanya beberapa sentimeter dari toilet. Taoge disajikan dalam mangkuk diletakkan di atas meja di depannya, berdekatan dengan penanak nasi, teko dan peralatan dapur lainnya. Di banyak apartemen di Hong Kong, mulai dari memasak hingga buang air besar, semua kegiatan dapat dilakukan di ruang kecil ini.
Foto: Benny Lam & SoCo
Dapur dan toilet bergabung
Dengan populasi hampir 7,5 juta orang dan hampir tidak ada lahan tersisa yang bisa dikembangkan, harga apartemen dan perumahan di Hong Kong meroket menjadi yang termahal di planet ini. Beberapa orang di metropolitan ini tidak memiliki pilihan lain selain menghuni ruang-ruang mini, di mana setiap ruangan bergabung dalam ruang terbatas.
Foto: Benny Lam & SoCo
Mereka yang 'Terjebak'
Fotografer Kanada, Benny Lam menangkap gambaran rumah dan kehidupan komunitas tersembunyi ini di Hong Kong dalam serial foto 'Trapped', yang berisi rangkaian foto yang dia hasilkan dalam bekerja sama dengan SoCO, Society for Community Organization, sebuah organisasi nirlaba yang bekerja untuk mengurangi kemiskinan dan mendukung hak-hak sipil.
Foto: Benny Lam & SoCo
Kehidupan yang tak tertahankan
Menurut SoCO, berdasarkan laporan Sensus dan Statistik Departemen Hong Kong, 200.000 orang tinggal di 88.000 apartemen kecil yang tidak memadai ini. Warga dipaksa untuk kreatif dalam menyimpan barang-barang di ruang sempit mereka yang terbatas dan mengatur kegiatan sehari-hari mereka di sini.
Foto: Benny Lam & SoCo
Harga apartemen meningkat dua kali lipat
Menurut statistik pemerintah, harga apartemen di jantung Hong Kong telah berlipat ganda antara 2007 dan 2012, menjadi rata-rata 108.546 dolar Hong Kong hampir 200 juta rupiah per meter persegi. Beberapa penduduk flat kecil ini kadang sampai takut pulang ke rumah. Banyak penyewa mengatakan, hal yang paling sulit tinggal di rumah bagai peti mati ini adalah tidak bisa menghirup udara segar.
Foto: Benny Lam & SoCo
Selamat datang di apartemen berukuran kasur
Seorang penyewa makan sekaleng kacang sambil menonton televisi di apartemen berukuran kasur. Karena berpenghasilan rendah dan kemiskinan, tampaknya tidak ada alternatif selain hidup di ruang-ruang hidup yang tertutup rapat ini. Hanya di mini flat semacam ini, mereka dapat beristirahat, mereka tidak dapat duduk tegak atau berbaring lurus. Kecoak dan serangga menjadi 'teman'.
Foto: Benny Lam & SoCo
Menanti dan menanti
Banyak penyewa telah tinggal di sana selama bertahun-tahun. Lima tahun adalah waktu tunggu rata-rata untuk mendapatkan perumahan sosial. Untuk beberapa orang lajang di bawah usia 65 tahun, hal itu tidak terjadi. Beberapa dari orang-orang ini harus menunggu lebih dari satu dekade. Orang terjebak dalam kondisi kehidupan yang buruk lebih lama dari waktu rata-rata.
Foto: Benny Lam & SoCo
Amat beresiko pada keselamatan dan keamanan
Flat berventilasi buruk, menimbulkan risiko keselamatan dan kesehatan. Didorong oleh kenaikan harga yang melonjak, puluhan ribu orang tidak memiliki pilihan lain selain tinggal di mana ruang keluarga, kamar tidur dan dapur dengan susah payah digabungkan jadi satu dalam flat ini.
Foto: Benny Lam & SoCo
Apa solusinya?
Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap kehidupan seperti ini sebagai mimpi buruk dan "merendahkan martabat manusia". Pemerintah setempat mengatakan akan terus mencari solusi dari masalah kekurangan tempat tinggal. Beberapa perusahaan menawarkan alternatif seperti membangun apartemen dari kontainer dan bahkan pipa air.
Foto: Benny Lam & SoCo
Berharap hidup lebih baik
Talenan, toilet, kompor, dan semua makanan berdekatan satu sama lain. SoCO terus berkampanye untuk standar hidup yang lebih baik di salah satu tempat yang paling padat penduduknya di Bumi ini. Pemerintah mengatakan, 280.000 apartemen publik baru akan dibangun pada 2027, tetapi menurut SoCO, sementara itu ada banyak upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi orang-orang ini.
Foto: Benny Lam & SoCo
Sebuah rumah sempit yang dikelilingi inding logam
Gedung-gedung tinggi, fasad memesona, toko-toko mewah di pusat bisnis dunia, berdiri sangat kontras dengan banyak rumah sempit yang ditempati oleh orang-orang paling miskin di kota besar ini. Di ini mereka hidup, setiap hari, selama berbulan-bulan, atau mungkin selama bertahun-tahun. Ini mungkin bukan hanya kehidupan sementara. Inilah hidup mereka. Foto: Benny Lam, Penulis A. Purwaningsih (vlz)
Foto: Benny Lam & SoCo
11 foto1 | 11
Bayar mahal atau tunggu empat tahun
Hongkong kini juga menghadapi masalah kekurangan ceruk kolumbarium, yaitu tempat untuk menyimpan guci penyimpanan abu jenazah.
Diprediksikan akan ada sekitar 1,1 kali kremasi dalam 20 tahun mendatang. Sementara pemerintah hanya mampu menyediakan 800.000 thingga 900.000 tempat penyimpanan guci baru. Namun ini juga tergantung apakah masyarakat nantinya akan setuju dengan lokasi yang dipilih sebagai tempat kolumbaria.
Ceruk kolumbarium untuk umum dikenakan biaya $330 (sekitar Rp 4,7 juta) per unitnya. Namun dengan angka kematian yang mencapai 43.000 orang per tahun selama sepuluh tahun terakhir, dan hanya tersedia 500 tempat per tahun, para keluarga yang ditinggalkan harus menunggu setidaknya empat tahun untuk mendapatkan satu ceruk.
Banyak yang tidak punya pilihan lain selain beralih kepada kolumbarium yang dikelola swasta. Namun kurangnya suplai telah membuat harga kian meningkat.
Harga untuk satu unit kolumbrium pribadi saat ini yaitu sekitar $10,000 (Rp 144 juta). Harga juga tergantung dari lokasi dan perhitungan feng shui (ramalan Cina). Di kolumbaria yang paling mahal, satu unit ceruk bisa dibanderol Rp 2,2 miliar.
Peraturan perijinan baru
Hingga akhir 2016 terdapat 133 pengelola kolumbaria swasta yang menyediakan 365.000 ceruk. Kebanyakan terletak di dekat pemukiman penduduk dan menimbulkan keresahan terhadap orang-orang yang tinggal di dekatnya.
Dijual Murah: Rumah Berhantu di Hongkong
01:29
“Jasa pelayanan pemakaman dan kematian dianggap tabu dalam budaya Cina. Banyak penduduk merasa tidak nyaman tinggal di dekat kolumbaria,” juru bicara Aliansi untuk Kepedulian atas Kebijakan Kolumbarium, Pius Yum Kwok-Tung, mengatakan kepada DW.
Untuk menghindari hal ini, pemerintah membuat peraturan baru yang mesti dipatuhi oleh para pengelola kolumbaria. Diantara peraturan tersebut misalnya tidak membuat kolumbaria di lantai dasar bangunan hunian.
Peraturan ini akan berdampak kepada para operator pengelola kolumbaria yang ada sekarang karena banyak yang terletak di wilayah padat seperti di Hung Hum. Jika operator ini tidak diberikan ijin baru, maka ribuan ceruk akan harus direlokasi dan memaksa lebih banyak lagi orang untuk mencari tempat penyimpanan abu jenazah.
Hal ini membuat banyak orang kecewa karena tidak mampu menyediakan tempat beristirahat yang tenang bagi keluarga mereka – yang adalah hal penting dalam budaya Cina.
Metode penguburan alternatif
Menyadari bahwa membuka tempat baru untuk kolumbaria bukanlah solusi yang berkelanjutan untuk populasi di Hongkong yang kian menua, pemerintah setempat mengupayakan adanya metode penguburan alternatif. Saat ini sudah ada sebanyak sebelas taman memorial yang dikelola oleh pemerintah dimana publik bisa menyebarkan abu jenazah orang-orang yang mereka cintai.
Penduduk Hongkong juga disarankan untuk menebarkan abu ke laut yang saat ini sudah dibuka tiga titik untuk melakukannya.
Namun selain penguburan seperti itu, Yum juga menyarankan agar pemerintah menyediakan banyak alternatif.
"Kami berharap pemerintah juga akan mempromosikan manik-manik permata (dimana abu sanak keluarga diubah menjadi manik-manik yang dapat disimpan dalam wadah kaca." kata dia.