Terpidana Mati asal Pakistan Meninggal Dunia di Jakarta
31 Mei 2018
Zulfiqar Ali meninggal dunia setelah mengidap kanker hati. Meski demikian pihak keluarga akan tetap memperjuangkan pengampunannya lewat istana negara. Zulfiqar meyakini vonis hukum atas dirinya merupakan peradilan sesat
Iklan
Terpidana mati asal Pakistan yang sejak lama dikabarkan sakit akhirnya meninggal dunia, tidak lama setelah aktivis Pakistan mendesak pembebasannya atas dasar kemanusiaan. Zulfiqar Ali ditangkap pada 2004 dan didakwa menyelundupkan narkoba sebelum divonis mati meski hanya dituntut hukuman seumur hidup.
Menurut Jurubicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan Ham, Rika Apriyanti, Zulfiqar meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra. Jenazahnya saat ini telah diserahkan kepada keluarga dan siap diterbangkan kembali ke Pakistan.
Harian Pakistan, Dawn, melaporkan Zulfiqar yang berusia 54 tahun mengidap penyakit kanker hati dan telah dirawat sejak Desember 2017. Ia meninggalkan seorang isteri dan lima orang anak. Menurut organisasi kemanusiaan Pakistan, Justice Project Pakistan (JPP), Zulfiqar sempat dialihkan ke Unit Perawatan Intensif sebelum meninggal dunia.
Zulfiqar ditangkap setelah kedapatan memiliki 300 gram heroin. Selama proses persidangan ia mengklaim benda tersebut bukan miliknya, melainkan milik rekan sekamar.
Dia sedianya dijadwalkan menghadap regu tembak pada Juli 2016 bersama 13 narapidana mati lainnya. Namun eksekusinya ditangguhkan di menit-menit terakhir. Kejaksaan Agung saat itu berdalih ketentuan hukum untuk bisa mengeksekusi mati terpidana belum terpenuhi dengan sempurna.
Meski demikian JPP tetap akan memperjuangkan pengampunan Zulifqar dari Istana Negara. Presiden Joko Widodo dikabarkan sempat menyanggupi permintaan keluarga korban untuk meninjau ulang kasus Zulfiqar atas dasar kemanusiaan. Namun hingga akhir hayatnya, Zulfiqar yang mengaku tidak bersalah dan sebab itu tidak ingin meminta maaf, masih mengemban status terpidana mati.
Kepada harian Dawn, Direktur Eksekutif JPP Sarah Belal mendesak pemerintah Pakistan agar meminta pengampunan dari Jokowi. "Kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya, tapi kami bisa mencabut vonis sesat terhadap dirinya agar dia bisa meninggal sebagai manusia bebas. Janji tetap janji," kata Belal.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.